Di tengah aksi demonstrasi secara besar-besaran di Jakarta hari ini, dan di tengah kekhawatiran apakah demo itu akan berlangsung tertib atau ricuh sehingga memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono mengundurkan diri, anggota Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Skandal Bank Century DPR masih terlibat tarik-ulur. Kendati masih tarik-ulur, namun kini mulai mengerucut ke dua nama yang harus bertanggung jawab dalam skandal Bank Century yang merugikan keuangan negara hingga Rp6,7 triliun: Boediono dan Sri Mulyani Indrawati. Bila dikerucutkan lagi, Partai Demokrat nampaknya hanya akan memilih Sri Mulyani untuk “dikorbankan”. Sri menjadi tumbal?
Adalah Achsanul Qosasi, anggota Pansus Skandal Bank Century dari Fraksi Partai Demokrat yang menyatakan Sri Mulyani-lah yang paling bertanggung jawab dalam skandal Bank Century ini, di mana ketika kebijakan bail out (dana talangan) kepada Bank Century diputuskan, Sri Mulyani yang Menteri Keuangan itu menjabat Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK). "Dari mulai akuisisi, merger, KSSK, sampai LPS, sama sekali tidak ada keterlibatan Pak SBY. Nah, Pak Boediono jelas. Yang paling bertanggung jawab adalah Ketua KSSK Sri Mulyani," kata Achsanul Qosasi di Jakarta, Selasa (26/1/2010).
Achsanul menilai, penetapan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik ada di tangan KSSK. KSSK jualah yang meneruskan bail out ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). "Pengambilan keputusan tersebut, apakah sistemik atau tidak, ada di tangan Ketua KSSK," jelas Achsanul.
Komisioner KSSK terdiri atas tiga orang, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku ketua, Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono selaku anggota, dan Raden Pardede selaku sekretaris. Kini Boediono adalah wakil presiden.
Haruskah Sri Mulyani dijadikan tumbal untuk menyelamatkan Boediono, bahkan lebih jauh lagi menyelamatkan SBY? Dalam politik, segala kemungkinan bisa terjadi. Dalam politik, tak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Hari ini jadi kawan, esok bisa menjadi lawan. Hari ini jadi lawan, esok bisa menjadi kawan.
Itulah politik yang memiliki logikanya sendiri. Apalagi dalam kondisi kekinian, di mana para aktor politik mulai mengesampingkan etika, tata krama, dan sopan-santun dalam berpolitik. Lihat saja penampilan anggota Pansus Skandal Bank Century dari Fraksi Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang kerap menimbulkan kegaduhan dalam rapat-rapat Pansus.
Nah, Selasa (26/1/2010) lalu, Ruhut dan anggota Pansus lainnya seakan terkena karma ketika menerima perwakilan nasabah Bank Century dari Yogyakarta yang menjadi korban bank yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara itu. Para anggota Pansus dicerca dan dicaki-maki mereka. Pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” pun berlaku di sini. Kalau wakil rakyat yang terhormat saja perilakunya tidak santun, bagaimana dengan rakyat awam?
Kembali ke Sri Mulyani, apakah ia akan ditumbalkan? Dalam politik, sekali lagi, segala kemungkinan bisa terjadi. Lalu, apa itu tumbal? Tumbal adalah sesuatu yang dikorbankan demi menyelamatan sesuatu yang lain. Dalam kepercayaan orang-orang kuno, misalnya ketika mau membangun jembatan supaya berjalan lancar dan tidak diganggu roh jahat, maka mereka memerlukan tumbal untuk dikorbankan bagi roh jahat itu. Tumbal biasanya berupa binatang piaraan seperti ayam, kambing, kerbau, atau sapi. Nah, apakah Sri Mulyani yang manusia ini akan dijadikan tumbal bagi keselamatan Boediono dan SBY?
Melihat proses pemeriksaan Boediono dan Sri Mulyani oleh Pansus, nampaknya keterlibatan kedua pejabat ini dalam skandal Bank Century tak terelakkan lagi. Persoalannya, Pansus mau atau enggak untuk menjadikan keduanya sebagai pihak yang bertanggung jawab, kemudian merekomendasikan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya? Pertanyaan ini sampai sekarang masih menggantung. Apalagi sampai Pansus menjadikan SBY sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, karena dalam hierarki birokrasi pemerintahan, presidenlah pemegang kekuasaan tertinggi. Logikanya, tidak mungkin kebijakan seorang menteri tanpa “restu” bosnya, yakni Sang Presiden.
Inilah antara lain, menurut saya, yang menjadikan ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya hari ini turun ke jalan, berdemonstrasi meminta SBY dan Boediono mengundurkan diri, bertepatan dengan 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono. Keduanya dinilai gagal memimpin Indonesia yang antara lain terlihat dari munculnya skandal Bank Century. Hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menunjukkan, dukungan publik terhadap SBY-Boediono merosot tajam. Apalagi pemerintahan SBY-Boediono ini lebih boros anggaran, antara lain terlihat dari pengadaan mobil dinas bagi para menteri dan pejabat tinggi negara lainnya seharga Rp1,3 miliar per unit. Juga pembelian pesawat very very important person (VVIP) jenis Boeing 737-400 seharga Rp200 miliar sebagai pesawat pribadi Presiden SBY.
Bila dibandingkan alokasi anggaran perjalanan dinas SBY dengan presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri, sungguh jauh berbeda. Alokasi anggaran perjalanan dinas Megawati di dalam negeri dan ke luar negeri pada Tahun Anggaran 2002 hanya Rp48,845 miliar, termasuk untuk menyewa pesawat, bukan pengadaan pesawat. Jadi, anggaran perjalan dinas SBY lebih mahal 150 persen daripada Megawati.
Ironisnya, dalam pengajuan anggaran pembelian mobil dinas dan pesawat kepresidenan ini, pemerintah terkesan selalu melakukan fait accompli terhadap Badan Anggaran DPR, sehingga para anggota DPR pun kerap merasa kecolongan.
SBY juga melakukan renovasi pagar halaman dan pengadaan security system di lingkungan Istana Kepresidenan dan Istana Wakil Presiden seharga Rp22,55 miliar demi menyambut kedatangan Presiden Amerika Barack Obama. Padahal, anggaran Rp22,55 miliar ini akan lebih adil bila digunakan untuk memperluas lapangan kerja (pro employment).
Tidak itu saja, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga membeli kapal Lagoon seharga Rp14 miliar yang dinilai Komisi V DPR tidak sesuai. Dalam APBN 2008/2009, seharusnya dana tersebut dialokasikan untuk perbaikan kapal patroli. Kapal Lagoon seperti kapal layar mewah, sehingga sangat tidak cocok jika dipakai untuk pengecekan terumbu karang.
Saya kemudian merenung, inilah barangkali zaman edan yang dimaksud pujangga Ronggowarsito dalam baris-baris puisinya, “amenangi jaman edan, yen ora ngedan ora keduman. Ning, sak begja-begjane wong edan, isih begja wong kang eling lan waspada.”
Eling lan waspada, ingat dan waspada. Amanat ini jualah yang hendak saya pesankan kepada para demonstran yang hari ini turun ke jalan, baik di Ibu Kota maupun sejumlah daerah di Tanah Air. Selaku wakil rakyat, saya berpesan agar para demonstran yang sedang memperjuangkan idealismenya itu bisa mengendalikan diri, ingat dan waspada, jangan sampai berbuat anarkhis. Sebab kalau anarkhis, tentu kita semua akan berhadapan dengan hukum. Equality before the law.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H