[caption id="attachment_366840" align="aligncenter" width="300" caption="Lisa Virgiano (tengah) saat menerima Penghargaan akhir 2014 lalu (Dok.Sumarti Saelan)"][/caption]
“Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil, tapi yang menyedihkan ketahanan pangannya sangat lemah. Kebutuhan pangan hampir semua import, dan saya melakukan ini demi terwujudnya cita-cita menjadikan masyarakat Indonesia memiliki kedigdayaan dalam sumber pangan”
Kalimat yang langsung membuat terpana takjub. Kedigdayaan sumber pangan atau ketahanan pangan adalah hal yang sangat krusial dan penting, terutama untuk negara sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk yang tidak sedikit. Masuk 5 besar dunia. Bahkan isu “ketahanan pangan” adalah salah satu isu penting di seluruh dunia dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di seluruh muka bumi. Namun tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah pangan.
[caption id="attachment_366856" align="aligncenter" width="300" caption="Kegiatan USD Azanaya (Foto dok. Lisa V)"]
Kalimat di atas adalah sepotong dari deretan panjang sambutan kemenangan seorang perempuan cantik yang sangat inspiratif di sebuah panggung penghargaan di akhir tahun 2014 lalu. Dengan anggun namun beraura kuat dan tegas penuh keyakinan, menunjukan citra cantiknya sebagai perempuan Indonesia yang kuat, Lisa Virgiano berdiri di atas panggung sebagai salah satu penerima penghargaan sebagai seorang perempuan yang isnpiratif dengan segala kegiatan yang dilakukannya.
[caption id="attachment_366857" align="aligncenter" width="300" caption="Aktifitas USD (Foto dok. Lisa V)"]
Lahir di Jakarta 5 September 1981, peraih gelar master Komunikasi di sebuah Universitas di Swedia ini menyebut dirinya Pelayan Budaya Makanan Nusantara.
Kecintaanya pada jalan-jalan dan kuliner Indonesia, membuatnya tergerak mendirikan Azanaya pada 2009. Sebuah bisnis sosial yang berfungsi sebagai sarana promosi budaya dan kuliner Indonesia ke level internasional dengan tetap berpegang dalam menghargai keaslian bahan baku, citarasa, dan nilai lokal.
[caption id="attachment_366858" align="aligncenter" width="300" caption="Sang Pelayan Budaya Masakan Nusantara, Lisa Virgiano (dok.Lisa V)"]
Menggelar berbagai kegiatan kreatif untuk mempromosikan kuliner dan budaya Indonesia salah satunya Underground Secret Dining (USD), yaitu sebuah kegiatan menikmati makanan bersama-sama dengan jumlah peserta yang dibatasi untuk menjaga interaksi tetap terjalin. Siapa saja bisa berpartispasi, dengan membayar harga makanan yang akan disajikan. Yang unik, peserta biasanya tidak tahu akan menikmati makanan atau minuman apa hingga hari H acara USD tiba. Tempat juga baru diinfokan sekitar dua hari sebelum acara.
Makanan yang disajikan diolah tidak hanya oleh ahli masak profesional, tapi juga kalangan Ibu rumah tangga biasa, dengan keyakinan bahwa masakan terbaik adalah masakan rumahan, yang mana saat mengolahnya para Ibu biasanya akan mencurahkan segala perhatiannya dalam memasak karena untuk orang-orang tercinta. Bahkan tidak akan menggunakan bahan-bahan yang tidak berkualitas.
Yang spesial lagi adalah menu diolah dengan bahan asli Indonesia bahkan yang sebagian sudah hampir punah atau sulit untuk dikebangbiakan. Contohnya jamur kulat yang harga perkilonya mancapa satu juta rupiah. Jamur yang hanya tumbuh di bawah pohon Pelawan. Tujuan utamanya untuk mengajak kritis dan memahami bahwa makanan tidak sekedar tentang perut kenyang tapi juga tentang citarasa, berbagi hasrat akan makanan, membangkitkan sejarah serta budaya yang ada di balik kekayaan kuliner Indonesia.
[caption id="attachment_366860" align="aligncenter" width="300" caption="Memperjuangkan Kesejahteraan Petani Kopi (dok. Lisa V)"]
Kegiatan lain yang digagas Lisa bersama Azanaya, Baralek Rendang di tahun 2012 dengan menggandeng sound designer dari London untuk memromosikan rendang ke dunia Internasional.
Tidak hanya makanan, USD juga sering mengangkat tema khusus seperti Apresiasi Teh dan Kopi Indonesia.
[caption id="attachment_366861" align="aligncenter" width="300" caption="Makanan tidak sekedar tentang kenyang, tapi juga sebuah bahasa pemersatu, yang bisa menjembatani tali persaudaraan, membangun pemahaman antar manusia lewat interaksi sosial yang tercipta lewat citarasa (dok.Lisa V)"]
Lisa Virgiano percaya makanan adalah bahasa pemersatu yang mampu membangun interaksi sosial lewat citarasa yang ada, meski kita menikmatinya dengan orang yang belum kita kenal sebelumnya. Dan makanan yang lezat tidak hanya dihasilkan dengan teknik memasak yang baik saja, tapi diperlukan juga pemahaman tentang karakteristik bahan pangan (master of inggredients) secara geografis, biologis, kimiawi serta sosial budaya.
Saat ini banyak orang yang menikmati makanan tapi tidak paham dengan bijak makna dan ruang lingkup yang mempengaruhi makanan tersebut dihasilkan. Seperti kenapa rasa daging sapi lokal lebih manis dibanding daging impor. Bahwa makanan masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat pedalaman, baik cara pengolahan dan asal bahan bakunya, sehingga menghasilkan citarasa yang berbeda meski masakan yang diolah sama. Kapan kopi Papua Wamena dipanen, siapa dan bagaimana alpukat mentega ditaman. Dan berbagai makna lain yang tak pernah terpikirkan oleh banyak orang. Bahwa makanan juga mencerminkan sejarah peradaban sebuah bangsa
Dengan menelusuri makna sosial dan budaya yang terkandung dalam makanan, Lisa menjadi yakin bahwa makanan adalah POLITIK!
“kita tidak boleh lupa bahwa salah satu penyulut perang selama 350 tahun adalah kekayaan rempah-rempah Indonesia yang mengahsilkan citarasa makanan luar biasa” ucapnya.
Dari kegiatan ini, Lisa Virgiano akhirnya mengalami titik balik dalam hidupnya pada pertengahan 2013. Meletakan jabatannya di sektor Komunikasi Korporat yang dalam pekerjaannya mengharuskannya sering berkeliling negara Asia Pasifik. Yang bagi sebagian orang adalah posisi impian yang sangat ingin dicapai.
Tapi Lisa Virgiano lebih memilih “mengasingkan diri” ke sebuah tempat yang dianggapnya surga, karena citarasa dirayakan sukacita setiap harinya yaitu lereng Merapi. Membangun kehidupan baru sesuai passionnya, bertani, beternak dan membaur, belajar lebih dekat dengan produsen-produsen pangan berkualitas.
Membaur dengan mereka, mendapingi mereka dan memperkenalkan konsep taste of origin pada para petani dan peternak. Bahwa kehebatan mereka perlu mendapatkan pengakuan dan pengukuhan. Membagi cerita luar biasa mengenai rasa dan tanggung jawab akan sebuah karya yang penuh etika. Perjuangan mereka pada sikap penolakan akan bahan kimia pestisida, urea, herbisida, dan ketergantungan impor patut dihargai setinggi-tingginya, dan bukan bualan semata kalau produk pangan yang mereka hasilkan memiliki rasa yang luar biasa. Itulah yang sekarang dilakukannya.
Hobi dan kecintaannya pada kopi, membuatnya memutuskan mengabdikan diri mendapingi petani-petani kopi secara sukarela di Lereng Merapi untuk menjaga tanaman kopinya untuk mendapatkan hasil maksimal. Ditanam dengan mempertahankan kearifan lokal. Menbantu mereka mencapai hidup yang lebih sejahtera dengan memahami apa dan bagaimana menjaga apa yang ditanam, untuk terwujudnya ketahanan pangan.
Lisa Virgiano, seorang perempuan yang mampu mendobrak “kungkungan pola pikir” bahwa bicara pertanian, peternakan dan perkebunan bukan hanya dominasi kaum pria. Perempuan membahas kopi tidak sekedar tentang duduk manis di sebuah cafe mewah. Tapi berjuang menunjukan kepada mayoritas generasi muda yang mulai jenuh menanam kopi dan memilih hijrah merantau ke kota besar karena dianggap bukan pekerjaan bonafit dan hasilnya sedikit. Padahal dalam hitung-hitungannya bersama teman-teman petani kopi “hanya memiliki lahan 10 ha, bila kita membuat kopi spesialti, bisa buat profil sangrai sendiri dan punya warung kopi kecil-kecilan, untung bersih per tahun bisa 800 juta!”
“Jangan pernah lupa, Belanda bisa membayar hutang perang dengan tanam paksa kopi di Indonesia” terangnya
Permasalahan budidaya kopi di Indonesia memang sangat kompleks, dan sudah bukan berita baru kopi Indonesia terkenal di seluruh dunia tapi petani kopinya masih jauh dari sejahtera. Mulai dari minimnya peremajaan pohon-pohon kopi, minimnya pengetahuan petani mengenai sistem rotasi tanaman dengan kombinasi banyak tanaman pelindung kopi untuk membangun ekosistem yang sehat, masalah infrastruktur pengairan, khususnya di daerah Indonesia Timur, hingga minimnya rumah proses di sentra-sentra produksi sehingga mengakibatkan petani menjual borongan kepada tengkulak (tangan kesekian) dengan harga murah.
Dengan pendampingan intensif, Lisa ingin petani kopi Indonesia memiliki integritas, percaya diri dan tanggung jawab dalam pengembangan potensi kopi-kopi spesialti dan mereka bisa bicara di forum internasional tentang paradigma-paradigma alternatif mengenai pembangunan berkelanjutan kopi. Karena selama ini negara produsen masih sedikit sekali memiliki akses dan kesempatan untuk menyatakan sikap dan pendapat. Justru teori lebih deras dari negara konsumen kopi.
Sedangkan melalui USD, Lisa berharap generasi muda mau peduli dengan potensi-potensi pangan Indonesia dan produk olahannya. Cermat dan kritis tentang asal muasal makanan yang dimakan dan berperan serta dalam membangun pondasi yang kuat untuk agrikultur berkelanjutan dan kuliner Indonesia.
Namun perjuangannya bukan tanpa kendala, terutama dalam hal pendidikan akademis yang tidak terkait sama sekali dengan kegiatannya saat ini. Tidak pernah belajar masak secara khusus, tidak memiliki restoran, bukan hotelier. Hingga terkadang sulit baginya menjelaskan apa pekerjaannya kepada banyak orang yang memiliki pola pikir bahwa “urusan kuliner adalah urusan restoran dan atau juru masak”. Namun itu adalah tantangan yang menurutnya harus ditaklukan. Sukses menjalani sesuatu yang dikuasai adalah kewajaran, namun sukses di luar bidang yang dikuasai adalah kejaiaban.
Karena itu Lisa sangat terinspirasi dan mengagumi pemikiran Hugh Fearnley-Whittingstall, dari Inggris yang menjadi perbincangan dunia dengan River Cottage-nya. Seorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa, tidak memiliki pendidikan chef dan pernah dipecat saat menjadi juru masak.
Begitu juga saat pertama kali memulai pendekatan kepada petani-petani kopi, bukanlah hal mudah. Apalagi untuk seorang perempuan, namun Lisa perjuang melalui pendekatan sosial.
Hingga saat ini berbagai prestasi dan pencapaian telah diraihnya, namun yang tak terlupakan adalah menjadi delegasi Indonesia perhelatan internasional www.salonedelgusto.it di Turin, Italia pada tahun 2012 menjadi pembicara di sebuah tasting workshop yang mengambil tema Indigeneous Rice of Asia bersama delegasi dari Korsel, Srilangka dan Filiphina dengan bangga memperkenalkan keanekaragaman beras-beras tradisional yang masih bertahan di tengah kepungan beras-beras hibrida dan rekayasa genetika. Dan paling membanggakan menurutnya saat mendampingi perwakilan desa adat Sinar Resmi, Gunung Halimun untuk berbicara atas nama Indonesia tentang hebatnya sistem tradisional ketahanan pangan kita, banyak negara mengeluh kesulitan-kesulitan mempertahankan bibit-bibit tradisional mereka, Indonesia (setidaknya di Kasepuhan Cipta Gelar) tidak memiliki masalah mengenai gagal panen selama ratusan tahun karena kearifan lokal yang kita miliki.
Dan di acara ini yang sudah sejak lama diimpikannyauntuk bisa hadir, Lisa bertemu idolanya sang pejuang petani India Vandana Shiva yang dalam pertemuan ini mengubah paradigma terhadap makanan dan citarasa.
Namun dengan semua pencapaian yang diraihnya, Lisa Virgiano membuat tersentuh dengan jiwa Citra Cantik Indonesia-nya saat mengungkapkan bahwa salah satu best moment dalam hidupnya adalah menikmati kopi tubruk arabica Bondowoso dengan wet process di ketinggian 1.200 dpl bersama dengan para petani kopi yang bangga menanamnya, sambil berbincang mengenai kopi, aneka masakan dengan bahan baku kopi, dan kebanggaan para petani untuk ekspor langsung ke Swiss tanpa bantuan banyak perantara. Dan menurutnya itulah kopi terenak yang pernah dihirupnya, dengan citarasa bunga-bungaan dan kekentalan yang ringan.
Serta jawaban saat ditanya “Apa yang ingin dikejar dalam hidup?”
“Saya mengejar kehidupan yang sederhana, jauh dari segala kerumitan pikiran dan tuntutan material yang berlebihan. Namun seringkali untuk mencapai kesederhanaan, diperlukan usaha segenap pikiran untuk mengurai kerumitan menjadi sesuatu yang mudah dipahami”
Dan Lisa Virgiano membuktikan dengan memegang teguh idealismenya dengan menyeleksi ketat pihak yang ingin bekerjasama. Seperti menolak produsen bumbu instant, perusahaan rokok dan tetap mengutamakan dan memperjuangkan biaya swadaya.
Dan sebuah pandangan dari Lisa Visrgiano yang cukup menampar bagi saya :
“Sering saya saksikan banyak orang Indonesia mengeluh bahwa negara kita memiliki banyak masalah, tidak bonafid di mata dunia internasional, dan tidak bisa memenuhi impian para warganya akan banyak hal, namun saya berpikir, janganlah kita menjadi bagian dari masalah yang sama. Saya hanya melakukan hal-hal sederhana dari apa yang saya suka, dan dengan tulus saya lakukan”
Dan sudah siapkah kita mengikuti jejaknya untuk menunjukan Citra Cantik kita sebagai perempuan Indonesia dengan melakukan hal-hal kecil yang kita sukai dengan penuh ketulusan dan tidak menimbulkan masalah? Serta bermanfaat untuk orang lain.
Jangan sampai hingga saat ini kita hanya bisa mengeluh, mengeluh dan menghujat akan segala kekurangan negara kita tanpa berkontribusi nyata untuk perubahannya ke arah yang lebih baik.
Dan saya berdoa semoga cita-citanya memiliki centre of excellence di bidang kuliner Indonesia suatu saat nanti akan tercapai. Yaitu sebuah tempat bermuatan budaya bangsa dengan standar internasional dimana banyak juru masak muda dari seluruh dunia akan datang berguru ke tempat itu untuk mengenal budaya kuliner Indonesia, belajar langsung dari para ibu-ibu yang handal mengolah makanan dari daerah mereka masing-masing sambil menikmati indahnya Indonesia.
*Semua foto milik Lisa Virgiano tayang atas ijin langsung dari pemiliknya*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H