tinggal beberapa hari lagi, lebaran tinggal menyambut di depan mata. Peribahasanya, hanya tinggal mengedipkan mata saja, eh tahu-tahu sudah lebaran. Dan persiapan apa saja yang sudah dilakukan untuk menyambut lebaran?
Pakaian baru? Kue lebaran? bikin list menu saat lebaran? Atau sedang persiapan mudik?
Kalau saya sedang mempersiapkan mudik. Menyiapkan oleh-oleh untuk orang tua, keponakan dan keperluan suami, anak dan saya sendiri pastinya. Beli baju baru, kami juga masih mentradisikan, terutama untuk anak.
Wah, berarti banyak dong pengeluaran? Sebuah kewajaran bukan, setahun sekali dan yang penting masih dalam batas kewajaran. Tapi bagaimana mengatasi kenaikan harga-harga saat ramadhan dan menjelang lebaran? Saya sudah pernah menuliskannya di sini, bagaimana mengatur keuangan agar tidak berasa “bangkrut” saat Ramadhan dan Lebaran. Dan masih tetap saya lakukan dari tahun ke tahun. Konsisten menjaga dompet, tapi tetap happy semua terpenuhi.
Terus bagaimana mengatasi kenaikan harga pangan? Terutama harga daging yang melonjak lumayan di pasaran? Beneran tetap happy?
Hemm...dan saya mulai agak mikir menjawabnya, meski jawaban ini tentu versi saya dan belum tentu sama dengan orang lain. Mari kita bahas pelan-pelan sambil menyiapkan keperluan mudik :D
Setiap awal Ramadhan hingga menjelang lebaran selalu riuh dengan berita kenaikan harga barang, terutama bahan makanan. Penyumbang inflasi yang cukup besar dalam roda ekonomi Indonesia. Permintaan yang meningkat tapi suplay yang tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan puasa hingga lebaran seolah menjadi tradisi wajib yang benar-benar tak bisa dihindari oleh siapapun dengan beragam dampak dari berbagai aspek masing-masing yang megalami.
Baik masyarakat yang menjalani dan merasakan dampak langsung kenaikan harga, maupun pemerintah selaku pemegang dan pengatur regulasi dalam alur distribusi. Yang“rada happy” media, karena punya banyak bahan berita dan nitizen “tukang cela” lewat komen-komennya di sosmed dan berbagai lapak artikel.
Selain harga pangan secara umum naik signifikan, harga daging sapi secara khusus juga menjadi berita dan perhatian khusus banyak orang. Kenaikan mecapai Rp 120 ribu perkilo gram menjadikan daging sapi jadi perbincangan hangat di berbagai media.
Hingga akhirnya sampai ke media warga kita tercinta ini, Kompasiana. Topik daging sapi pun diangkat ke ranah #Nagkring dengan menghadirkan Menteri Perdagangan Bapak Thomas Lembong. Bertempat di Anomali Coffe Menteng (22 Juni 2016) yang aslinya cukup kecil untuk 50 Kompasianer, acara berlangsung lancar.
Dimulai sekitar pukul 17.30 WIB, Bapak Thomas Lembong menjelaskan kondisi dunia perdagingan di Tanah Air. Dan ini kesimpulan dari diskusi #NgobrolDagingSapi dua arah antara Bapak Thomas Lembong dan Kompasianer.
- Harga Jabodetabek cenderung menjadi acuan wilayah lain untuk menentukan harga. Padahal wilayah lain sebenarnya cenderung tidak mengalami kekurangan suplai daging.
- Untuk mengatasi harga yang terus meningkat, Kementrian terkait, Kemendag, Kementan, Kemenkop & UKM dan Kemenperin melakukan kordinasi kerja yang cukup cair untuk menentukan langkah dan solusi terbaik.
- Solusi jangka pendek yang diambil adalah dengan import daging sapi beku dari Asutralia, dilanjut dengan membuka pasar daging murah seharga Rp 80 Ribu di beberapa titik. Harga Rp 80 ribu menurut Bapak Thomas Lembong tidak subsidi, tapi untuk hitungan bisnis tidak bisa dibilang untung meski juga tidak rugi.
- Import ini lebih ditujukan kepada pengadaan daging murah, terjangkau dan merupakan pemenuhan gizi protein masyarakat Indonesia. Terutama untuk pemenuhan gizi anak-anak.
- Dalam hal ini, Pemerintah melalui Kemendag berharap masyarakat tahu dan paham tentang bagian-bagian potongan daging sapi yang berbeda harga setiap bagiannya. Jadi bisa memilih dengan tepat dan benar, sesuai kebutuhan dan kemampuan.
- Harapan ke depan, pemerintah juga ingin masyarakat lebih memilih mengkonsumsi daging beku yang dianggap lebih higienis. Yang dari segi rasa tetap sama dengan daging segar di pasaran. Begitu juga dengan sertifikasi halal, menurut Bapak Thomas Lembong sudah terverifikasi.
- Harus diakui bahwa Indonesia masih sangat tergantung dengan import sapi dari Australia yang sudah lebih maju dalam mengelola industri peternakan sapi untuk distribusi daging. Sedangkan untuk Indonesia, masih banyak peternak yang menjadikan sapi sebagai tabungan.