Mohon tunggu...
Sumarti Saelan
Sumarti Saelan Mohon Tunggu... Freelancer - FREELANCE

FREELANCE

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bhineka Tunggal Ika Dulu, Kini & Nanti Dalam TMII

31 Maret 2015   23:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_358493" align="aligncenter" width="300" caption="foto dok.pri"][/caption]

Dulu saat masih duduk di bangku SMA dan masih tinggal di Kalimantan, saya iri melihat beberapa sahabat saya yang pergi ke Jakarta untuk mengikuti lomba menari se Indonesia. Event ini sendiri diadakan di TMII. Saat pulang, salah satu sahabat dekat saya Ari Yustalawati memberi saya oleh-oleh berupa kaos warna putuh bertuliskan TMII.

Saya iri bukan karena dia menari, tapi melihatnya bisa jalan-jalan ke Jakarta dan TMII. Saat menerima kaos tersebut saya sempat bertanya “TMII itu seperti apa sih Ri?” dan di jawab singkat “Tempat wisata yang isinya rumah-rumah adat seluruh provinsi di Indonesia” yang pada tahun itu 1997 Indonesia terdiri dari 27 Provinsi. Hanya itu jawaban yang saya dapat. Dan benar-benar membuat sya semakin penasaran, seperti apa sih TMII?

Tapi dari berita-berita yang sering muncul dan sliweran di TV yang paling menonjol dan sering muncul adalah keberadaan Masjid Attin. Masjid ikonik di TMII yang sering dijadikan akad nikah banyak orang terkenal, terutama keluarga besar Almarhum Presiden ke 2 Indonesia Bapak Soeharto.

Hal ini bisa dimaklumi, karena TMII adalah salah satu karya yang idenya muncul dari pemikiran cemerlang seorang Ibu Tien Soeharto pada awal tahun 1970 an. Sebuah ide yang cukup cemerlang di masa itu, merangkum Indonesia dengan berbagai Budaya dan adat istiadat yang beragam terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Rangkaian adat dan budaya yang tidak mungkin bisa dijelajahi hanya dalam waktu satu hari saat kita ingin mengenalnya.

[caption id="attachment_358494" align="aligncenter" width="300" caption="Istana Anak (dok.pri)"]

14278202811586635744
14278202811586635744
[/caption]

Hingga tahun 2006, tahun pertama saya jadi perantau di Jakarta tentu saja setiap ada waktu luang saya selalu menyempatkan diri jalan-jalan ke berbagai tempat wisata di Jakarta. Dan TMII adalah salah satu yang tak ketinggalan saya datangi. Masih ingat dalam pikiran saya, meski lupa tanggalnya pertama kali saya menginjakan kaki di TMII pada Desember 2006. Tapi sayang waktu itu HP saya belum canggih dan belum punya kamera jadi tidak punya dokumentasi. Hanya 2 foto bersama keponakan dengan membyara jasa foto cetak langsung yang tersebar di TMII.

Jadi ceritanya kakak dan keponakan saya benar-benar sebagai guide saya hari itu, yang sangat penasaran dengan TMII. Kami menyusuri setiap anjungan. Melihat beberapa anjungan Provinsi yang didalamnya berisi berbagai gambaran tentang daerah tersebut. Suku yang ada, berbagai adat istiadat daerah tersebut dan beberapa miniatur benda-benda khas daerah sesuai anjungan masing-masing. Patung berbusana pakaian adat. Bahkan beberapa anjungan ada stand penjual oleh-oleh khas derah masing-masing. Saat itu saya sempat beli accesoris kayu buatan pengrajin Jawa tengah di anjungan Jawa tengah tentunya.

Karena sangat banyak dan luas, kami hanya sanggup menjelajah sekitar 12 anjungan Provinsi. Hingga tiba saatnya sholat, kami berjalan menuju masjid.

Dan yang sangat berkesan untuk saya pertama kali menginjakan kaki ke TMII adalah saat menuju Masjid Pangeran Diponogoro yang berada di dalam kawasan TMII, ternyata masjid ini berjejer dengan tempat ibadah agama lain yang ada di Indonesia. Ada gereja Khatolik & Protestan, Wihara, Pura. Saat itu belum ada  Klenteng yang baru hadir pada 2010.

Saya langsung mengucapkan “wow...” takjub. Dan sempat terlibat obrolan serius dengan kakak saya saat itu, betapa menakjubkannya konsep ini. Di saat banyak masyarakat mempermasalahkan perbedaan, TMII tidak hanya tempat wisata di sebuah Kota Metropolitan yang hadir sebagai pelepas lelah dan penat masyarakat dari kepungan kesibukan. Atau sekedar tempat wisata ikonik bagi wisatawan Asing dan domestik untuk tahu kebesaran Indonesia, tapi juga memberi contoh bahwa “Bhineka Tunggal Ika” itu sebenarnya nyata. Bukan hanya sekedar tulisan di selempang patung penghias dinding lambang Negara. Bahwa Indonesia itu SATU, dengan beragam “isi” yang sangat menarik dengan keunikan masing-masing yang terbentang se Nusantara.

Hingga saat ini sudah tak terhitung berapa kali saya menginjakan kaki ke TMII. Termasuk saat acara Kompasianival 2014 yang mengangkat tema “Aksi Untuk Indonesia” dan dari tema ini bisa dipahami kenapa team Kompasiana memilih TMII. Bertempat di Sasono Langen Budoyo, sebuah bangunan yang hanya dengan sekali pandang langsung bisa tahu itu identik dengan bangunan Joglo, salah satu tempat yang sangat ikonik juga yang bisa dijadikan tempat berbagai pertunjukan seni dan budaya Indonesia seperti festival tari, tempat pernikahan (jadi langsung ingat Dude & Alisya :P), acara-acara umum perudahaan, komunitas, seperti Kompasianival dan lain-lain.

14278205191791157669
14278205191791157669

Dan mengantar Putri saya Manasik Haji TK di Masjid Attin pada pertengahan Desember 2014, yang dilanjut berwisata ke Istana Anak-anak.

Seiring perkembangan jaman yang terus maju dan mengalami perubahan, TMII juga ikut “Membuka diri” dengan terus menghadirkan “isi” yang menggambarkan kemajemukan Indonesia baik itu kemajemukan masyarakatnya (manusia) yang terdiri dari berbagai suku, budaya, agama dan adat istiadat dan kamajemukan alam (flora dan fauna), TMII mengahdirkan berbagai museum, taman, gedung pertunjukan Teater Tanah Airku, Teater Imax Keong Mas, Sarana Rekreasi. Yang menggambarkan manusia yang berbudaya adalah yang terus maju dan berkembang menjadi lebih baik tanpa melupakan “akar” asalnya yaitu Satu Indonesia. Semaju apapun perkembangan jaman, manusia tidak bisa melupakan sejarah masa lalu yang merupakan pembentuk kehidupan masa kini.

Keberadaan museum menggambarkan manusia terbentuk dan terdiri dari beragam budaya dari dulu hingga sekarang. Meski sekarang budaya sudah berbeda dan terus mengalami perubahan, terus memperbaiki diri untuk survive dalam kehidupan tapi melalui TMII kita tidak boleh lupa, bahwa kita adalah Satu Inodnesia yang BerBhineka.

Dalam satu TMII kita bisa melihat “Apa itu Bhineka Tunggal Ika” yang sering kita sebut tapi terlupakan makna yang sesungguhnya. Di TMII kita bisa melihat, orang beribadah berdampingan itu adalah keindahan. Berbagai suku, adat dan budaya beraktifitas berdampingan itu adalah keindahan.

Melalui rangkaian museum menggambarkan “Jaman” terus berubah semakin maju, dengan teknologi terkini yang membantu kemudahan kehidupan manusia, akan sangat indah saat kita ingat bahwa “ini tak lepas dari sejarah masa lalu” yang menjadi pelajaran penting untuk memperbaiki masa depan.

Dengan beragam keunikan flora dan fauna yang tumbuh subur dan hidup aman serta nyaman di alam Indonesia, dan hadir di beberapa taman di TMII kita harus tahu inilah keanekaragaman Hayati Indonesia yang merupakan terbesar kedua di dunia yang bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kehidupan yang lebih baik.

Melalui sarana rekreasi moderen, TMII ingin menyampaikan dan menghadirkan konsep “kekinian” yang tetap bisa berdampingan dengan budaya asli masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahwa sebagai manusia kita harus terus maju dan berkembang tanpa melupakan asal muasal kita. Bahwa dalam kemajemukannya, Indonsia tetap terbuka dengan moderenitas yang disesuaikan dengan kenbutuahn masyarakatnya.

Inilah Taman Mini Indonesia Indah, sebuah tempat wisata dengan konsep Budaya Indonesia yang akan selalu hadir dengan berbagai inovasinya tanpa melupakan asal muasalnya, yaitu Satu Indonesia. Taman budaya yang selalu menggambarkan kerekatan budaya Indonesia dalam keanekaragamannya. Tempat wisata yang selalu menunjukan kemajemukan Indonesia yang kaya tapi tetap dalam satu wadah, Indonesia. Indonesia yang Ber “Bhineka Tunggal Ika”, dulu kini, nanti dan selamanya. Meski berbeda-beda tetapi tetap satu juga.

Dan ini semua bisa kita lihat di TMII. Yang salah satu Museum di dalamnya yaitu Museum Indonesia dibangun dan dikembangkan dengan filosofi Tri Hita KiranaÂyaitu filosofi yang menerangkan tiga sumber kebahagiaan manusia yaitu “Hubungan antar manusia dan manusia, manusia dengan Sang Pencipta dan manusia dengan lingkungannnya”. (Refrensi dari sini)

Jadi mari menghargai perbedaan, karena kita adalah Satu Indonesia.

Sumber Refrensi : http://www.tamanmini.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun