Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu... -

Mencari dan mencari terus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Susah Makan

21 Desember 2016   02:22 Diperbarui: 21 Desember 2016   02:32 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini bukan membahas tentang tips mengatasi anak yang “susah makan”. Teman saya berujar, anak jaman dulu susah makan karena memang tak ada yang dimakan. Makan pakai telur aja sudahsangat istimewa. Telur satu didadar dan dipotong jadi empat untuk empat anak. Telur itu bukan emak dapat beli kiloan di warung tetangga, apalagi di super market. Telur tersebut adalah telur ayam kampung yang ngambil dari tempat ayam bertelur yang biasanya terbuat dari jerami kering di pojokan kandang ayam.

Teman yang lain bercerita, dulu, makan nasi liwet yang dimasak di atas tungku dengan penanak nasi terbuat dari tanah liat atau gerabah plus sambel sudah sangat nikmat, bahagia. Kadang pagi hari hanya sarapan gethuk yang dibeli atau bahkan dapat ngutang pada tetangga yang tukang gethuk. Siang baru ketemu nasi dengan sayur sangat sederhana, misalnya batang tales yang disayur bening. Sorenya paling top bertemu singkong rebus.  

Kemudian teman saya itu berujar, di lain sisi, anak sekarang sangat susah disuruh makan. Anak sekarang lebih banyak jajan. Sementara banyak beraneka macam jajanan yang berseliweran di depan rumah, di sekolah, atau dijajakan di warung-warung atau mini market yang terus menyerbu kampung-kampung. Jajanan mulai yang dimasak dengan berbagai cara, berbagai warna, atau jajanan pabrikan dengan bentuk kemasan yang memikat selera anak-anak.

Dari dua sisi tersebut terkait “anak susah makan” menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan anak. Yang akhirnya menimbulkan efek domino, seperti rendahnya tingkat kecerdasan anak, daya tahan anak lemah. Intinya di jaman manapun terdapat persoalan yakni anak susah makan.

Sekali lagi, tulisan ini tak membahas tentang tips bagaimana agar anak doyan makan. Atau menurunkan data berapa tingkat kemiskinan sehingga anak kurang makan. Atau juga berapa anak yang jadi korban akibat menyantap makanan pabrikan.

Sekedar mengingatkan satu telur dadar dipotong jadi empat dan nasi liwet dengan penanak nasi gerabah yang dimasak di atas tungku adalah cerita nostalgia, bagi yang mengalami cukup mengesankan. Dan itu pernah dialami sebagian besar bangsa ini. Karena teman dari suku Jawa cerita begitu, teman dari suku Sunda cerita yang sama, dan dari suku yang lain cerita persis.

Teman-teman yang cerita seperti  itu jelas sekarang sudah menjadi bapak-bapak atau emak-emak. Diantara mereka ada yang sukses karirnya bagus. Kehidupan modern dialami. Jika dulu bantu orang tua angon sapi atau angon kambing, sekarang kerja menggunakan piranti canggih, telepon yang mutahir selalu di tangan, mobil menjadi tunggangan setiap hari, tinggal bukan di kampong dengan jalan becek melainkan di komplek perumahan yang terkesan mewah.

Maka, sekarang yang menanak nasi bukan hanya emak (istri), tapi pembantu. Ketika pembantu ga ada, pulang kampung, bapak atau suami juga bisa menanak nasi. Tinggal tuang beras, kasih air secukupnya colok dan tinggal pergi sebentar, pulang nasi sudah mateng. Lauk-pauk? Ih banyak rumah makan menyediakan berbagai nacam menu masakan.

Nah, orang-orang yang sekarang mengalami “kesuskesan” adalah generasi yang dulu mengalami tempaan kehidupan (serba susah) karena keadaan. Bukan salah orang tua kita dulu, orang tua telah berbuat yang terbaik. Sampai telur satu saja dibagi untuk semua anak-anaknya. Nah, bagaiamna kelak anak sekarang yang hidup dalam keadaan “serba ada?” “Anak yang orang tuanya serba pas-pasan saja walau putus sekolah bisa bergaya, petentang-petenteng ngerokok dengan rambut dimerah-merahin, bisa punya motor, telepon genggam yang canggih karuan waktu minta ngamuk-ngamuk ke orang tua.” YAH!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun