Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu... -

Mencari dan mencari terus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membenahi Dunia Pendidikan

22 Desember 2015   13:14 Diperbarui: 22 Desember 2015   13:14 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan satir, “Ganti menteri ganti kurikulum”. Ungkapan ini mengandung makna luas bukan hanya terkait kurikulum. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan telah membuat beberapa kebijakan baru. Dua kebijakan yang mendapat perhatian luas; penundaan implementasi Kurikulum 2013 dan menjadikan Ujian Nasional (UN) bukan sebagai penentu kelulusan.

Dua kebijakan Mendikbud itu lebih merupakan respons atas gejolak publik terhadap berbagai persoalan terkait kebijakan pemerintah/menteri era sebelumnya yang terkesan dipaksakan. Implementasi Kurikulum 2013 misalnya, banyak sekolah yang belum siap. Hal ini terkait dua faktor, sumber daya manusia (terutama guru) dan sarana prasarana. Dimana kompetensi mayoritas guru masih rendah dan kebanyakan sekolah belum memiliki sarana prasarana yang memadai.

Seperti diketahui, pada tahun pelajaran 2013/2014 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh telah menerapkan Kurikulum 2013 pada 6.221 sekolah percontohan. Terdiri dari 2.598 SD, 1.437 SMP, 1.165 SMA, 1.021 SMK yang tersebar di 295 kabupeten dan kota seluruh Indonesia. Sementara jumlah total sekolah di seluruh Indonesia (SD/SMP/SMA/SMK), yaitu 208.000 sekolah. Kemudian tahun pelajaran 2014/2015 Kurikulum 2013 diterapkan di semua sekolah seluruh Indonesia.

Demikian pula untuk memenuhi standar isi pendidikan, pemerintah menjadikan UN sebagai penentu kelulusan. Faktanya banyak dikeluhkan pihak sekolah maupun masyarakat. Selain kemampuan sekolah tidak merata terkait sumber daya manusia dan sarana prasarana, juga kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat berbeda-beda. Belum lagi intervensi politik, untuk menaikkan citra pemerintah daerah UN diwarnai kecurangan yang justru merusak pendidikan sebagai pembentuk karakter generasi muda.

Namun, langkah Mendikbud Anies Baswedan mendapat tanggapan beragam. Tidak semua komponen masyarakat termasuk insan-insan pendidikan menanggapi positif. Sebagian menilai Mendikbud tidak tegas, kebijakannya ambigu dan membingungkan. Misalkan, Kurikulum 2013 bukan dianulir tetapi cuma ditunda. Begitu pula nilai hasil UN bukan fokus untuk pemetaan, tetapi masih menjadi syarat untuk mendaftar ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Hal ini masih berpotensi menimbulkan kecurangan pula.

Sebenarnarnya, langkah Mendikbud Anies Baswes adalah upaya pembenahan dunia pendidikan di Tanah Air. Bukan sekadar menganulir kebijakan yang lama dan mengganti dengan kebijakan baru. Contoh, sudah ada Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 tentang Ketentuan Masa Orientasi Peserta Didik (MOPD). Tetapi, Mendikbud menegaskan lagi dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) dan melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah sekolah. Karena, agar MOPD lebih bersifat menyenangkan dan terarah. Bukan menggunakan pola-pola perpeloncoan yang jauh dari nilai-nilai edukasi seperti berlangsung selama ini.

Masalah SDM

Jika dicermati benang merah dari berbagai persoalan di dunia pendidikan adalah masalah sumber daya manusia terutama guru sebagai ujung tombak pendidikan. Dua persoalan besar menyangkut guru, yaitu kompetensi yang masih rendah dan distribusi yang belum merata. Jika kompetensi guru bagus dan distribusinya merata (proporsional), sistem apapun yang digunakan akan terimplementasi secara baik.

Lembaga yang terlibat dalam meningkatkan kompetensi guru, antara lain perguruan tinggi pencetak calon guru atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dipisahkannya kementerian yang menaungi perguruan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tujuan awalnya diantaranya agar lebih intensif meningkatkan mutu perguruan tinggi, termasuk LPTK dalam mencetak calon guru.

Selain LPTK adalah organisasi professi guru. Namun, organisasi profesi guru yang ada bukan giat membantu meningkatkan kualitas guru, malah kerap dijadikan mesin politik untuk mendulang suara dalam setiap pemilihan kepala daerah. Sehingga pola pikir guru terbawa ke arah pragmatis, berlomba mendukung calon kepala daerah yang berpotensi terpilih agar “menyelamatkan” mereka bahkan mendongkrak karir mereka di dunia pendidikan.

Belajar pada gebrakan dalam meluruskan dan memantau pelaksanaan MOPD yang salah kaprah, diharapkan Mendikbud Anies Baswedan juga membenahi kiprah organisasi profesi guru. Kendati secara struktural organissi profesi guru bukan di bawah Kemdikbud, setidaknya langkah antisipatif memproteksi guru agar tak terjadi friksi-friksi yang berakibat mengganggu tugas meredka. Mengingatkan agar organisasi profesi guru tidak dijadikan alat pengerahan massa dan terseret ke ranah politik atau mengutamakan ego sektoral.[*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun