Kampung Kapitan. Sebuah kampung yang ada di kawasan 7 Ulu Palembang. Senangnya, saya bersama putri kesayangan, Fafa dan adik bungsu saya, Dian bisa berkunjung ke sana. Sebagai orang Palembang sebenarnya bukan hal yang membanggakan sih kalau di usia sekarang baru bisa datang langsung ke salah satu tempat cagar budaya Kota Palembang itu. Namun, pepatah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali tampaknya menjadi ajian yang sangat kuat kali ini. :D
Sebelumnya kami yang ke sana dengan menggunakan motor, sempat salah lorong hingga sampai di Dermaga 7 Ulu, tapi usai bertanya dengan penduduk setempat, diketahui bahwa lorong sebelumnyalah yang harusnya dilalui. Tak perlu waktu lama, tak jauh dari pangkal Jembatan Ampera dari sebelah Ulu itu, kami pun menemui kawasan yang dimaksud. Sama, masih sama seperti proses kajian literatur yang sempat saya lakukan dulu untuk keperluan tesis. Saat itu tahun 2012. Namun memang, sebagai warga Palembang, jelas kondisi Kampung Kapitan saat ini sangat memprihatinkan. Tak terawat, hampir roboh. Taman yang ada di bagian tengah kampung itu saja yang menunjukkan tempat ini sempat diperhatikan namun kini tampak terlupakan.
Dipahami bahwa untuk tempat tinggal, dulu, orang Cina di Palembang banyak yang bermukim di atas rakit, terutama di seberang ulu Sungai Musi. Rumah-rumah rakit itu berada di atas air dan berpola linear. Pembagian tata letak pemukiman yang berdasarkan status sosial, pekerjaan dan etnis ini telah terjadi di Palembang sejak keraton Kesultanan Palembang masih berada di Kuta Gawang. Namun, etnis Cina memang selalu ditempatkan di luar keraton. Dari segi kuantitas jumlah rumah rakit ini terus berkurang. Hal ini karena perkembangan jaman yang sekaligus juga perubahan pemerintahan. Mereka lambat laun membentuk pemukiman rumah panggung di tepi Sungai Musi yang kemudian memunculkan pemukiman Cina di 7 Ulu dengan segala sarana dan prasarananya.
Secara kultural, Kampung Kapitan merupakan simbol pembauran antara etnis Cina, Melayu dan kebudayaan Eropa (Belanda). Hal itu dapat dilihat dari bentuk rumah Kapitan sendiri yang merupakan perpaduan arsitektur ketiganya. Pada bagian pilar depan rumah yang berukuran asli 22 x 25 meter ini terbuat dari beton berbentuk silinder yang bagian tengahnya menggelembung layaknya ciri khas bangunan Eropa. Sedangkan bentuk bagian depannya mengadopsi bentuk rumah limas (khas Palembang atau Melayu). Namun, pada bagian tengah rumah terdapat ruang terbuka yang menjadi ciri khas bangunan Cina. Ruang terbuka ini berfungsi sebagai penghawaan dan masuknya cahaya. Di rumah ini juga ada meja altar sebagai tempat pemujaan pada leluhur yang kini sudah terdapat 11 abu keturunan kapiten Tjoa Ham Him.
Dari segi fisik awalnya Kampung Kapitan adalah kelompok 15 bangunan rumah panggung milik etnis Tionghoa di masa kolonial Hindia Belanda. Namun sekarang peninggalan bangunan leluhur etnis Tionghoa yang tersisa adalah dua rumah panggung dari tiga bangunan rumah yang ada. Satu rumah tidak ada lagi karena dijual, akibat masalah ekonomi dan terkikis oleh zaman. Dewasa ini, para pendatang dari Cina tersebut nyatanya telah membaur dengan masyarakat asli Palembang, bahkan sampai menikah dengan penduduk setempat. Muhammad Saleh (74), tetua di Kampung Kapitan, menuturkan, interaksi antara masyarakat keturunan Cina dan masyarakat pribumi berlangsung dengan baik. Banyak warga keturunan Cina, terutama dari keluarga besar Kapitan, yang menikah dengan perempuan pribumi (Adiyanto, 2006).
Well, usai membaca tulisan saya di atas, kamu juga tertarik mengunjungi kampung ini? Silahkan saja, mari kita belajar tentang sejarah kota ini langsung dari peninggalannya yang masih tersisa untuk menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H