Batik Nusantara terbentuk dari budaya internal suku-suku yang hidup di kawasan negeri maupun akibat dari berbagai keterlibatan bangsa negara lain. Â Bangsa Eropa pada masa Penjajahan Belanda dalam kurun waktu yang lama telah menorehkan pengaruh cukup membekas sampai saat ini. Â
Bangsa Tiongkok datang ke Pulau Jawa  pada akhir tahun 1992, ketika angkatan perang Mongol berjumlah seribu kapal dikirim untuk menyerang Singosari karena duta besar mereka dipermalukan oleh Kerajaan Singosari dibawah raja Kertanagara. (Batik Filosofi,2013: 249)
Kaum Wanita keturunan Tionghoa mengadopsi pakaian ibu mereka berupa kain batik dan kebaya. Awalnya kain batik yang mereka pakai adalah buatan pendusuk setempat dan merupakan batik petani. Sejak abad ke- 18, keturunan Tionghoa dan Arab memperdagangkan batik-batik rumahan yang diperoleh dari kampung-kampung. Â
Saat ini, batik tersebar luas diberbagai daerah nusantara dengan ciri khas motif dari daerah tersebut. Â Hal itu membuktikan bahwa batik sangat diminati oleh para konsumen dalam negeri ataupun luar negeri. Ekonomi kreatif meningkat dengan pesat dengan banyaknya industri kreatif baru yang bersegera bersaing dipasar nusantara. Â
Permintaan pasar membuat banyak industri menggunakan jalan pintas dalam misi produksi massal. Produksi cap semakin semarak diberbagai industri batik saat ini. Â Printing bermotif batik pun yang bukan tergolong batik telah ditawarkan untuk dijual dengan nama batik. Â
Lalu.... Bagaimana dengan nasib batik tulis? Â Batik tulis yang setiap titik prosesnya adalah wujud seni. Miris mengetahui semaraknya Printing dikatakan Batik. Â
Batik yang diakui UNESCO adalah kain dengan hiasan bermotif dan dibuat dengan teknik Wax Resist Dyeing. Â Proses penggunaan malam batik dan pewarnaan menjadi apresiasi warisan budaya ini.