Rindu. Ya, hanya kata itu yang selalu terbesit di setiap hela napasku. Kata itu yang selalu terbesit saat lelah manyapaku. Aku rindu ya Allah. Aku rindu beliau. Rindu akan hangatnya pelukan, marahnya tanda sayang dan bawelannya tanda perhatian.
Kini aku tak mampu lagi merasakan itu semua. Ya, tak akan pernah bisa lagi. Ini karena takdir yang telah memisahkan kita. Takdir yang tak mungkin bisa dielakkan lagi sebagai kuasa Tuhan.
Harus kah setiap detik hidupku dihanyutkan oleh air mata yang tak mungkin bisa terbendung. Sungguh tak bisa terbendung air mataku saat rindu itu menghampiri.
Terlebih, ketika melihat sosok wanita yang mencoba menjelma sebagai pengganti kamu, ibu. Tak akan pernah bisa. Ya, sangat sulit bagiku untuk menukar sosok ibu sepertimu. Karena ibuku cuma satu, ia yang telah dipanggil Allah terlebih dahulu.
Terlebih lagi, ketika melihat dua sosok makhluk kecil. Mukanya yang polos semakin membuatku rindu kepadamu, ibu. Mereka yang tanpa dosa harus hidup tanpa kasih sayangmu. Di setiap malam ketika mereka terlelap tidur selalu ku pandangi muka polosnya. Kasihan. Ya, sungguh kasihan. Tertidur pulas dengan dinginnya malam tanpa selimut kasih sayang seorang ibu.
Semoga engkau tenang di sana.
Hanya kata rindu yang bisa terucap.
-Di sudut kamar dengan teriknya matahari, 23 Januari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H