Nikah Siri dan Keluarga Berkesetaraan Islami
Oleh Lilis Nurteti
(Dosen Institut Agama Islam Darussalam Ciamis, Bergiat pada Pusat Studi Perempuan IAID Ciamis)
Kabar Nikah siri yang dilakukan oleh Bupati Garut yang pada awalnya menjadi headline media Kabar Priangan kini telah menjadi headline media nasional baik yang online maupun media cetak dan elektronik. Secara online ribuan media membahas topikpernikahan siri Bupati Garut (silahkan browsing misalnya di google.com atau yang lainnya). Bahkan Presiden SBY juga telah memberikan perintah kepada Mendagri agar kasus Garut dicermati. Sebagaimana dikabarkan di berbagai media tentang perkawinan siri Bupati Garut yang hanya bertahan empat hari dan dilakukan dengan seorang gadis atau masyarakat populernya menyebut dengan ABG.
Dalam berbagai media Bupati Garut telah memberikan klarifikasi tentang pernikahan siri yang dilakukannya, yaitu ia menganggap masalah itu telah selesai beberapa bulan yang lalu dan ia dalam posisi yang benar. Tentu akal sehat siapapun (apalagi sebagai perempuan) berbagai klarifikasi dan bukti otentik tersebut meneguhkan tentang kepastian pernikahan siri yang ia lakukan. Secara hukum negara dan bahkan fiqih sekalipun bagi saya sebetulnya nikah siri adalah bentuk tindakan yang salah. Berkaca pada kasus nikah siri atau dalam ilmu sosial disebut nikah di bawah tangan yang dilakukan pejabat publik atau orang biasa sebetulnya secara prinsip terdapat masalah yang rumit terkait persepsi terhadap perempuan dan relasi antara suami istri dalam sebuah rumah tangga.
Konstruksi Perempuan di Masyarakat
Untuk mrenggambarkan bagaimana perempuan dipersepsi di lingkungan masyarakat saya punya beberapa gambaran. Ada sebuah kisah pasangan suami istri muda yang bertengkar tentang masalah yang dihadapi oleh keduanya. Sang suami yang posisinya sebagai kepala keluarga berbicara dengan nada suara yang keras kepada istrinya. Sang suami menyampaikan sejumlah solusi dan keinginan yang menurut dia harus diikuti dan ditaati oleh istrinya. Akan tetapi dari keinginan dan solusi yang ditawarkan oleh sang suami dianggap oleh sang istri tidak rasional dan tidak sejalan dengan keinginannya. Akhirnya sang istri menyampaikan sejumlah keberatannya. Sang suami karena merasa diri sebagai pemimpin keluarga yang harus ditaati tidak mau menerima saran-saran dari sang istri. Konflik ada mulut akhirnya tidak terhindarkan. Sang mertua dari pihak istri yang kebetulan mendengarkan cek cok atau pertengkaran anak dan menantunya ikut-ikutan memberikan nasehat pada anak perempuannya. “Hai Neng seorang perempuan, seorang istri harus taat kepada suami. Teu sae nembalan ka pameget(tidak baik usul atau menentang laki-laki). Dengan terpaksa dan suasana batin yang masih galau, akhirnya sang istri mengalah dengan hanya diam. Sementara sang suami yang justru mendapat pembelaan dari mertuanya merasa menang dan senang.
Kisah lain masih terkait dengan sebuah relasi dalam keluarga. Ada seorang istri yang berniat melanjutkan studi pada jenjang Program Pascasarjana (S2). Dengan penghasilan yang ia miliki sendiri tanpa bantuan dari suaminya ia berhitung sanggup untuk membiayai kuliahnya di tangan kaki sendiri. Ia kemudian mendaftar untuk studi dengan sejuta harapan dapat meningkatkan ilmu, pengalaman, dan gelar agar kelak menjadi perempuan yang lebih berdaya dan bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Tetapi pandangan dari suaminya berbeda. Ia dilarang untuk menuntut ilmu pada jenjang yang lebih tinggi. Negosiasi antara keduanya menemui jalan buntu. Dengan dalih dan argumentasi apapun yang diberikan oleh seorang istri dianggap tidak memenuhi standar statusnya sebagai istri yang sepenuhnya harus taat dan mengabdi pada suaminya. Akhirnya sang istri harus mengubur dalam-dalam sejuta asa yang diimpikannya. Ia menerima keputusan suami yang tidak menigizikannya studi dengan keterpaksaan dan rasa kecewa yang mendalam.
Kisah-kisah seperti ini hampir menjadi pemandangan yang dapat dijumpai dalam berbagai konflik keluarga yang menempatkan perempuan dalam posisi yang teropresi dan tanpa hak untuk memilih walaupun sebuah kebaikan. Apalagi terkait yang “katanya” hak suami seperti poligami dan nikah siri yang dalam beberapa pandangan agamawan tidak perlu ijin istri. Kadang-kadang masyarakat juga memiliki pemahaman yang kurang tepat dengan menempatkan pihak perempuan pada posisi yang salah. Pantas ada bererapa laki-laki yang menganggap jika perempuan memberikan respon yang berbeda dengan kepentingan atau keinginan laki-laki dianggapnya “awewe calutak”. Sebuah ungkapan yang menempatkan superioritas atas jenis kelamin tertentu. Sekaligus juga sebuah anggapan yang menempatkan perempuan baik dalam rumah tangga atau di tengah-tengah masyarakat dengan posisi yang inferior dan rendah.
Keluarga Berksetaraan
Bagaimana sejatinya Islam memandang sebuah bangunan relasi dalam sebuah ikatan keluarga?Merujuk pada pedoman umat Islam yaitu al-Qur’an tentang dasar dari sebuah relasi pernikahan dibangun adalah “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar-Rum[30]:21).