[caption id="attachment_214450" align="alignnone" width="415" caption="from google-image"][/caption]
Mengapa Perempuan di Perkosa?
(Postingan dari FB Mbak Lies Marcoes/
Aktivis Perempuan, Pengurus Yayasan Rumah Kitab. alumni IAIN/UIN)
Pengantar
Tulisan ini, pernah saya muat di FB  tahun 2010 untuk menanggapi menaggapi Bupati Aceh Barat soal alasan mengapa ia membuat perda kewaiban menutup aurat. Baru baru ini, perda serupa juga keluar dari Taksimkalaya saya merasa perlu untuk meluncurkan kembali tulisan ini. Perda yang mengatur cara perepuan berpakaian menggambarkan cara pandang yang menyalahkan perempuan dalam terjadinya perkosaan.  Gubernur DKI Fauzi Bowo menyalahkan perempuan yang diperkosa di angkot yang menurutnya gara-gara berpakaiannya atau kegiatannya di malam hari. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Surya Dharma Ali ketua PPP dan Marzuki Ali yang sama-sama meyakini penyebab perkosaan adalah karena rok perempuan yang terlalu pendek. Uraian ini menjelaskan bara berpikir seperti itu dungu belaka...
Selamat membaca.
Lies Marcoes
Setidaknya ada dua pendekatan untuk memahami  persoalan ini.Keduanya berimplikasi beda dalam pencegahan atau penangan perkosaan. Pandangan pertama, menganggap perempuan diperkosa karena salahnya sendiri. Cara pandang Bupati Aceh Barat yang sedang menuai protes hari-hari ini termasuk dalam kategor ini. Menurutnya perempuanyang berpakaian ketat atau minim mengundang untuk diperkosa. Cara pandang in iberangkat dari asusi bahwa sumber masalah perkosaan ada pada prilaku perempuan. Lanjutan dari cara pandangini adalah bahwa lelaki memperkosa sebagai sesuatu yang wajar akibat diundang perempaun. Selaras dengan cara pandang ini adalah  bahwa watak dasar lelaki adalah pemerkosa.
Cara pandang kedua, perkosaan hanya terjadi manakala relasi antara pelaku dan korban dalam posisi timpang. Karenanya pakaian, prilaku bukan faktor penting dalam menentukan terjadinya perkosaan. Seorang pekerja TKW meskipun pakaiannya terbungkus dari ujung kaki ke ujung rambut jauh lebih rentan diperkosa majikannya yang masih remaja  daripada perempuan yang berpakain minim namun punya posisi sosial politik setara dengan ayah sang pemerkosa TKW. Seorang santri seperti Ulfa, rentan terhada perkosaan "syech"Puji meskipun Ulfa menggunakan pakaian tertutup sebaga imana santri putri di pesantren. Di masa konflik di Aceh, perempuan Aceh jauh lebih rentan perkosaan meskipun mereka telah menggunakan pakaian bernuansa Syariah dibandingkan perempuan lain di luar wilayah konflik  meskipun mereka tak menggunakan pakaian tertutup.
Dua pandangan ini mendominasi cara berfikir masyarakat tentang sebab musabab perkosaan. Tetap iimplikasi atas cara pandang ini akan sangat berbeda. Undang-undang anti Pornograf ipada dasarnya berangkat dari cara pandang pertama. Berusaha melindungi perempuan dengan menyalahkan prilaku perempuan. Karenanya yang diatur adalah tingkah laku perempuan: tidak boleh bergoyang di depan umum, tidak menampakkan hal hal yang dapat mengundang syahwat lelaki. Dalam pandangan ini, diakui bahwa pada dasarnya akal lelaki begitu payah dan tak punya kesanggupan untuk mengontrol syahwatny sendiri. Lelaki sama sekali dianggap tak punya kesalehan dan kewarasan. Dan atas kelemahan itu , kesadaran peremuan diminta untuk tidak mengusik syahwat lelaki. Cara pandang Bupati Aceh Barat, pada dasarnya berangkat dari cara pandang serupa itu. Dan manakala pandangan serupa itu dijadikan program kerja bupati, maka bentuknya kira-kira  melakukan razia pakaian, membagi-bagikan rok panjang dan jilbab, atau jika lebih ekstrim lagi, melarang peremuan ke luar rumah, atau memisahkan ruang gerak lelaki dan perempuan. Hal yang sama, kini terjadi dengan Perda serpa yang baru diluncurkan di Tasikmalaya.
Cara pandang pertama mengabaikann faktor lain di luar isu auruat yang dianggap sebagai pemicu perkosaan. Lalu pertanyaannya jika benar bahwa penyebab perkosaan perempuan disebakan cara perempuan berpakaian, mengapa fakta menunjukkan bahwa: perkosaan  menimpa perempuan dari usia  bayi 2 tahun sampai 70 tahun. Perkosaan lebih sering terjadi di dalam rumah dan oleh orang yang dikenal dari pada di luar rumah oleh orang yang baru dikenal. Perkosaan terjadi pada anak-anak -dilakukan oleh lelaki dewasa. Perkosaan oleh mereka yang punya hubungan kekuasaan dengan yang dikuasainya (buruh ole hmajikan, murid oleh guru, rakyat di daerah konflik oleh militer).
Cara pandang kedua melihat bahwa penyebab perkosaan adalah rendahnya relasi kuasa  korban dihadapan pelaku dan sistem berpikir relasional dan bukan karena cara berpakaian.
Dengan cara pikir seperti itu, penanganan perkosaan bukan  dengan menata cara perempuan berprilakumelainkan dengan mengatur hal-hal yang memungkinkan terjadinya kerentanan perempuan dalam posisi sosial dan politiknya. Bukan memaksa perempuan menutup aurat misalnya, tetapi menghukum seberat-beratnya lelaki memperkosa serta menyiapkan sistem keamanan yang memadai.
Harus diakui,cara candang pertama memang jauh lebih populer bukan saja karena cara pandang keagamaan  menyumbang dalam konsep aurat perempuan, namun cara pandang ini juga tak membutuhkan kecerdasan untuk  mencari akar masalah perkosaan.  Persoalannya, cara pandang pertama ini  takkan pernah bisa mengurangi apalagi mengakhiri perkosaan meskipun bisa digunakan untuk alat kampanye. Satu hal yang pasti, cara pandang serupa itu pasti dapat digunakan untuk membuktikan betapa naifnya seseorang untuk tidak dikatakan betapa dangkal cara berpikirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H