Kolektivitas Tim Piala Eropa dan Kolektivitas Pemerintahan SBY
Oleh Sumadi (Penekun Masalah Kenegaraan dan Keagamaan)
(Dimuat pada Opini Politik di Koran Pikiran Rakyat, 25 Juni 2012 dengan judul Kolektivitas Tim Piala Eropa dan Politik Kita)
Atmosfer Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina mulai memasuki fase yang makin panas, yaitu perempat final, semi final, dan puncaknya final. Mulai perempat final seluruh pertandingan menjadi area knock out. Artinya siapa yang kalah, maka langsung tersingkir. Mencermati perjalanan putan final piala Eropa 2012, sangat menarik mencermati kegagalan Tim Orange Belanda yang gagal total di fase penyisihan grup. Datang ke Polandia-Ukraina sebagai tim unggulan. Para pengamat memprediksi Belanda bakal menjadi kandidat kuat jawara di Piala Eropa 2012. Sebab modal yang sempurna dengan menjadi pemuncak grup pada penyisihan, finalis Piala Dunia 2010, dan berisi pemain-pemain terbaik yang manggung di liga-liga elit Eropa. Sebut saja Robin Van Persie striker Arsenal yang rajanya gol di liga Inggris, Arjen Robben winger dan kreator pengatur serangan terbaik dunia, Jan Huntelar pemain yang termasuk top skor di Bundes Liga Jerman, WesleySneijder play maker Inter Milan klub terbaik liga Italia, Van Der Vaart dan lain-lain.
Tapi ternyata sebaliknya, justru menjadi tim yang tidak mendapat nilai satupun.Menjadi tim juru kunci di fase grup sekaligus menjadi sejarah terburuk Belanda. Jawabannya kolektivitas permainan tidak dimiliki oleh tim Belanda. Dua bomber terbaik liga-liga di dunia Van Persie dan Huntelar sulit untuk disatukan. Dalam beberapa pernyataan sebelum pertandingan misalnya Van Persie secara terbuka menyatakan tidak bisa bekerjasama dengan Huntelar dan lebih suka dengan Ibrahim Afellay . Padahal sang pelatih inginya dua kekuatan bersatu menjadi dua penyerang yang mematikan. Oleh karena itu ketika dua-duanya dipasang oleh sang pelatih, maka justru yang terjadi adalah ego individual yang masing-masing pemain ingin mencetak gol. Artinya segudang pemain berkualitas sulit melakukan kerja kolektif dan akhirnya hancur.
Masih masalah kolektivitas pada fase yang saat ini sedang berjalan, menarik mencermati tim Ayam Jantan Perancis yang baru saja dikalahkan dengan dua gol oleh Spanyol juga karena dirundung kolektivitas antara pelatih dan pemain. Tim Ayam Jantan Perancis yang sebetulnya lebih beruntung dibanding Belanda, sebelum bertanding melawan Spanyol usai dikalahkan Swedia 0-2 Pelatih Kepala Perancis beradu mulut dengan para pemain. Strategi pelatih dianggap tidak sesuai dengan keinginan para pemain sehingga kalah dari Swedia. Akibatnya terasa betul saat tim Perancis bermain melawan Spanyol kehilangan ruh kolektivitas yang sangat vital antar pemain dan pelatih.Bayangkan jika pimpinan tertinggi dan anak buah tidak sejalan dalam sebuah pertempuran pasti hasilnya hancur lebur.
Bercermin dari prolem kolektivitas tim pada Piala Eropa Polandia-Ukraina 2012, dunia politik dan manajemen kenegaraan kita salah satu akar masalahnya adalah masalah kolektivitas. Dengan kemiskinan kolektivitas inilah era kepemimpinan jilid kedua Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dari awal pemerintahan hingga kini yang tinggal dua tahun ke depan begitu sulit keluar dari berbagai kegaduhan politik.Sebetulnya tidak ada yang kurang modal SBY melenggang untuk kedua kalinya sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini. Menang mudah dengan satu putaran pada Pilpres 2009, Partai yang dibinanya yaitu Demokrat menang dalam perolehan suara di Pemilu, koalisi di Parlemen dengan jumlah dukungan mayoritas, dan kualitas sumber daya manusia yang memadai.
Pemerintahan SBY seperti nasib tim Belanda modal sejumlah bintang (the dream team) tetapi miskin kolektivitas. Indikatornya baru saja SBY dan Boediono dilantik, langsung dihajar masalah Century. Celakanya yang menghajarnya adalah teman koalisinya. Dan hampir satu tahun pertama SBY sibuk menghadapi serangan koleganya di koalisi yang hampir mematikan kinerjanya memimpin negara dan pemerintahan dalam melayani rakyat.Setelah Century selesai SBY dihadapakan kinerja para menteri yang memble sehingga SBY harus bongkar pasang terus komposisi pembantunya. Gaduh pun berlanjut dengan polemik kenaikan BBM yang lagi-lagi tidak ada kolektivitas koalisi yang dipimpinnya. Konflik sosial pun kemudian semakin menunjukan tempatnya. Dan yang paling parah justru yang terjadi saat ini adalah konflik internal partai Demokrat. Sebagai partai yang memimpin pemerintahan Demokrat dalam posisi yang mengkhawatirkan. Indikasi konflik Anas sebagai Ketua Demokrat dan SBY sebagai Dewan Pembina mulai menampakan indikasinya. Akarnya adalah sejumlah elit penting Demokrat melakukan tindakan korupsi. Akhirnya SBY juga dihadapakan pada masalah kolektivitas partainya. Jika sisa waktu dua tahun kedepan SBY tidak mampu membenahi kolektivitas dalam memimpin bangsa ini, maka nasibnya akan sama dengan tim Belanda yang pada tahun 2010 dipuja saat ini dicaci karena hanya dapat nilai nol. Ayo bangun kolektivitas SBY. Saat ini padamu kami berharap!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H