Digitalisasi telah menjadi bagian penting dalam melakukan aktivitas kita sehari-hari, terutama bagi Generasi Z yang tumbuh dan berkembang di era teknologi informasi yang memudahkan berbagai aspek kehidupan kita sehari-hari.
Dengan adanya akses internet, media sosial menjadi platform utama bagi generasi ini untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan mengekspresikan diri, terutama melalui media sosial yang memberikan ruang bagi seseorang agar dapat berinteraksi dengan mudah, cepat, dan luas.
Meskipun digitalisasi ini membawa banyak sekali manfaat, seperti aksesbilitas informasi dan kemudahan komunikasi, namun tanpa disadari adanya digitalisasi ini juga membawa sejumlah tantangan, terutama dalam penerapan Bahasa Indonesia dan etika berbahasa.
Pertama, Generasi Z memilih  bahasa gaul, singkatan, dan penggunaan istilah asing untuk  berkomunikasi di media sosial. Misalnya, istilah seperti "LOL" (laught out loud) atau "gengs" menjadi bagian dari komunikasi sehari-hari.  Penggunaan istilah ini meskipun praktis, namun dapat menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi secara formal, terutama ketika mereka harus menggunakan bahasa Indonesia yang baku di lingkungan akademik atau profesional.
Selain itu, Pengaruh budaya asing khususnya bahasa Inggris seperti istilah dan ungkapan yang diadopsi tanpa terjemahan, Â dapat menggeser penggunaan istilah bahasa Indonesia yang sepadan, sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman kosakata. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kemampuan berbahasa formal di kalangan Generasi Z.
Kedua, di era digital etika berbahasa menjadi semakin penting, namun etika berbahasa juga semakin terabaikan. Terutama dalam bermedia sosial, di mana interaksi berlangsung dengan cepat dan sering kali tanpa filter yang cenderunh lebih agresif dan kurang memperhatikan sopan santun dalam berkomunikasi.
Dalam kebebasan berekspresi di media sosial, Generasi ini seringkali  memberi komentar yang kasar bersifat menghina, provokatif, dan bahkan lebih parahnya  menyebarkan kebencian yang sering  kali di anggap hal yang wajar. Lingkungan komunikasi yang kurang etis ini tidak hanya merusak kualitas diskusi, tetapi juga menciptakan ketidaknyamanan, ketegangan yang dapat memicu terjadinya perselisihan dan perpecahan antar individu maupun kelompok.
Ketiga, semakin mudahnya akses informasi dan komunikasi melalui media sosial menyebabkan penyebaran informasi yang salah atau hoaks menjadi lebih mudah. Banyak generasi Z yang lebih fokus pada sensasi daripada kebenaran, menggunakan bahasa yang dramatis untuk menarik perhatian. Hal-hal seperti ini berpotensi merusak pemahaman masyarakat tentang isu-isu penting dan menciptakan kepanikan dan perselisihan.
Keempat, dengan adanya fenomena "cancel culture" atau tekanan sosial yang berkembang di media sosial menambah ketidakpastian dalam berbahasa. Cancel culture dapat mengganggu etika berbahasa dan kualitas komunikasi di media sosial. Penting bagi Generasi Z untuk memahami pentingnya diskusi yang terbuka dan toleran dengan tetap menghargai perspektif orang lain.
Dengan adanya berbagai tantangan dalam digitalisasi ini, penting untuk kita menyadari bahwa bahasa bukanlah hanya alat komunikasi, tetapi juga merupakan cerminan budaya dan identitas bangsa. Dalam konteks ini, upaya untuk menjaga kualitas bahasa Indonesia dan etika berbahasa sangat diperlukan agar tetap hidup dan relevan di tengah perkembangan teknologi.