Kinerja dan profesionalisme aparat penegak hukum kembali menjadi sorotan publik, khususnya Polres Gorontalo kota dan Pengadilan Negeri di Gorontalo. Dugaan salah tangkap terhadap MP yang telah divonis 8 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Gorontalo karena kasus pencabulan anak dibawah umur menjadi tanda tanya besar bagi pihak keluarga terdakwa dan tim pengacara (YLBHIG).
Menurut keluarga terdakwa, kasus ini bermula dari laporan keluarga korban, pihak kepolisian langsung menangkap terdakwa tanpa adanya surat panggilan, penangkapan dan penahanan. Penyidik bahkan tidak memberikan hak terdakwa untuk didampingi pengacara padahal ancaman hukuman diatas 5 tahun penjara.
Ini diperparah lagi dengan tindakan penyidik (Fitri Soleman) Polresta Gorontalo kota yang memaksakan dan mengintimidasi terdakwa untuk menandatangani BAP yang isinya sangat janggal dan dibuat-buat. Walaupun akhirnya ditandatangani, BAP ini kemudian dibantah mentah-mentah oleh terdakwa saat dipengadilan. Kesan mempersulit keluarga terdakwa makin dirasakan ketika meminta hasil visum korban tapi tidak diberikan oleh penyidik.
Intimidasi
Penderitaan keluarga MP yang termasuk miskin ini rupanya belum cukup, upaya intimidasi oleh pihak-pihak tertentu mulai dilakukan. Usaha kantin mereka yang berlokasi di area Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang merupakan satu-satunya sumber ekonomi mereka kini telah dibongkar dengan alasan kantin bermasalah. Keluarga MP hanya terima dengan ikhlas dan memaklumi karena kedua orangtua saksi korban adalah dosen di UNG. Kini keluarga MP ini hidup dengan menumpang di rumah kerabat yang bersimpati dengan mereka.
Menurut LE, ibu dari terdakwa, mereka hanya pasrah namun tetap berdoa dan berusaha untuk mendapatkan keadilan bagi anak mereka ini. “Kami memang miskin namun Tuhan tidak buta, Dia pasti mengirim orang-orang yang bersih dan jujur untuk memberikan keadilan bagi anak kami”, pungkasnya.
Objektifitas hakim dipertanyakan
Objektifitas para hakimpun menjadi tanda tanya bagi keluarga terdakwa dan tim pengacara, karena banyaknya kejanggalan dalam penanganan kasus ini ditambah fakta-fakta persidangan yang jelas-jelas membuktikan bahwa terdakwa MP tidak bersalah tapi diabaikan oleh majelis hakim. Para hakim yang terdiri dari hakim ketua Chysni Isnaya Dewi, S.H serta hakim anggota M. Hambali, S.H dan I Gede Purnadita, S.H. tak urung menjadi buah bibir masyarakat.
Bahkan tanpa 2 alat bukti proses peradilan tetap dilanjutkan dengan alasan korban adalah orang beriman dan bertaqwa.
Beberapa fakta persidangan yang menjadi dasar putusan hakim yang terlihat sangat janggal, antara lain;
- Menurut hakim terdakwa MP mengakui perbuatannya padahal tidak pernah.