Namaku Rakyat marga ku Miskin, warga negeri para jahanam.
Bekerja maksimum untuk upah minimum
Ditemani istri yang setia, namanya Derita.
Ya kami Rakyat Miskin menDerita.
Suaranya adalah suaraku, tak bisa didengar apalagi dilihat,
hanya bisa dirasa oleh nurani yang bersih.
Setiap pagi ku basuh muka dengan air mata.
Menyegarkan jiwa untuk hari yang hampa.
Atas nama cinta, kami sehidup semati,
setengah hidup setengah mati.
Oh ya, saya punya dua anak,
mereka sangat "mungil" dan "lemah lembut" karena biasa menahan lapar.
Nama mereka sungguh indah,
sering kupanggil menahan isak, hai "Busung!" hai "Sekar!"
Duhai sobat, siapakah tak kenal mereka...
Si Busung lapar dan Sekarat? kemanapun selalu bersama.
Hidup di keluarga yang hampir cukup.
Kemarin upahku hampir cukup beli beras…
Hari ini hampir cukup beli obat…
Maklum di negeri ini,
aku dilarang sakit...kecuali sakit hati.
Ah..semoga besok masih cukup untuk hidup.
Konon, dahulu, negeri kami bagaikan dalam mimpi.
Daratan dan lautan adalah rumah yang kaya dan berlimpah.
Lalu datanglah tuan Pram, pengusaha kaya yang katanya dermawan
Menebar parasit di manapun ia suka.
Lautan, daratan, kota dan desa dijarah habis-habisan atas nama pembangunan