Mohon tunggu...
Sulung Nofrianto
Sulung Nofrianto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tukang Bikin Website | http://www.aisyahnurwahidah.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesan dari Seorang Bapak

1 Juni 2013   11:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:42 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bismillahirrahmanirrahim PESAN DARI SEORANG BAPAK Saya dilahirkan dari keluarga yang miskin.  Semasa kecil, sampai usia Sekolah Dasar seringkali membayangkan kalau saja dilahirkan dari orang tua yang kaya. Sesekali terbersit barangkali saat ini bapak dan mama saya bukan orang tua asli, yang pada saatnya nanti mereka bicara jujur dan menunjukkan bahwa orang tua saya yang sebenarnya adalah pemilik rumah gedongan yang ada di suatu tempat. Ah, hina sekali pikiran saya, segera saya tepis. Pahitnya merasakan beda perlakuan masyarakat dalam menyikapi antara orang kaya dan miskin saya alami bahkan sampai tumbuh usia dewasa, mulai dari sebagian para tetangga, kehidupan di sekolah sampai kuliah, berkumpul di mushalla dan masjid, serta pada pertemuan lainnya. Sekali waktu saya pernah menggugat tentang kemiskinan keluarga ini. Protes. Mengapa saya dilahirkan sebagai orang yang tak berpunya. Bapak saya suatu saat pernah mengajak berbincang. Padahal saya akui kami tak sering terlibat komunikasi secara intens. Beliau adalah pegawai negeri biasa pada Biro Binagram Pemerintah DKI Jakarta yang sudah bekerja puluhan tahun. Ada salah satu kawan Bapak yang mengajaknya bekerja di sana pada tahun 1970. Namanya Pak Suyanto. Namun pada tahun 2000 Bapak sudah pensiun. “Dulu…”. Bapak saya memulakan diskusi. “Secara tak sengaja Bapak pernah menemukan sebuah karung di bawah meja. Ketika dibuka, ternyata isinya uang semua!”. Beliau melanjutkan. “Setelah termenung beberapa saat, akhirnya uang dalam karung tersebut, utuh diserahkan kepada atasan”. Saksi dari kisah ini adalah Pak Suyanto, termasuk putra-putri Pak Suyanto sendiri. Kabarnya pada era 70’an s.d. 90’an memang banyak sekali uang siluman. Pesan Bapak singkat. Bahkan terlalu singkat. “Kalau bekerja yang jujur”. Pesan ini saya dapati lagi ketika memulai bekerja pada suatu tempat. Dan diulangi lagi untuk yang ketiga kalinya ketika saya berpindah tempat kerja lainnya. Kisah yang hampir serupa ternyata di zaman yang serba berkabut kebohongan ini pernah dialami oleh Pak Agus Chaerudin. Seorang office boy di Bank Syariah Mandiri ini menemukan uang Rp 100 juta di balik tempat sampah kantornya. Dia tidak mengambilnya tetapi memilih mengembalikannya. Subhanallah. Terpujilah beliau. Omong-omong soal jujur, menurut saya, “jujur” hanya terdiri dari lima huruf. Tapi tantangannya tak mudah. Beberapa kali saya tergoda. Di kampus saat ujian, beberapa kawan saya membuat catatan, baik itu di meja ataupun di kertas mungil, sebagian lagi yang bercerita (usai ujian) ada juga yang membuka buku catatan. Ini bukan ujian open book, lho. Ngiri rasanya. Mereka berpeluang mendapat nilai bagus, karena contekannya. Saya menyakinkan diri, bahwa ujian, hasil ujian, dan kelulusan ini semoga barokah, karena saya berusaha semampu yang bisa dilakukan. Beberapa kali ada soal yang tak bisa saya jawab. Misalnya dari 5 soal ujian esai, 2 soal benar-benar tak bisa saya jawab. “Maaf, Pak Dosen, saya sudah berusaha belajar. Saya baca catatan yang saya punya. Tapi untuk soal yang ini tak ada di catatan buku saya, yang barangkali hanya ada di buku paket. Sementara saya tak memilikinya”. Tulisan itu pernah saya cantumkan di soal yang tak terjawab dengan benar dan meyakinkan, kecuali seadanya alias ngarang. Dan, pesan tersirat yang kedua dari Bapak menghapus kegundahan saya selama ini. Boleh jadi kami kaya raya waktu itu, setelah Bapak menemukan sekarung uang. Tapi jelas, hal tersebut bukanlah perilaku yang terpuji. Inilah episode kehidupan yang akhirnya saya renungi dalam-dalam sekaligus saya syukuri. AlhamdulillahiRabbil'alamin... Saya bersyukur keluarga kami masih beruntung, (mohon maaf) dibanding dengan mereka yang ada di pelosok desa tertentu atau yang mengatap rumah di trotoar atau kolong jembatan. Barangkali inilah cara Allah mengenalkan diri-Nya kepada saya. Kami hidup dalam kesederhanaan. Sesekali ditingkahi oleh kepongahan orang-orang yang dititipkan sedikit kemegahan dunia. Saya masih menyimpan satu keinginan kuat untuk menggenggam kekayaan, yang juga sebenarnya lebih kepada sebuah pengujian dan pembuktian, pantaskah berbangga untuk sesuatu yang tak akan kekal?. Allahumma inna nas-alukalhuda wat tuqa wal 'afafa wal ghina, aamiin Ya Basith... [Sulung Nofrianto] http://aisyahnurwahidah.com/pesan-dari-seorang-bapak.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun