Mohon tunggu...
Sulthon Hanif Ghoozi Fathoni
Sulthon Hanif Ghoozi Fathoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Saya mahasiswa jurusan S1 Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya. Hobi yang sering saya lakukan untuk mengisi waktu luang saya ialah olahraga, seperti workout dan juga bermain game.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Disabilitas Bukan Cacat

19 Desember 2023   21:15 Diperbarui: 19 Desember 2023   22:16 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernahkah kamu memerhatikan keberadaan para penyandang disabilitas di sekitar mu? Mungkin tidak semua dari kita telah berinteraksi dengan mereka, karena di Indonesia mereka masih termasuk dalam kelompok yang terpinggirkan. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk beraktivitas, bahkan memperoleh pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan menjadi tantangan yang tidak mudah. Penting untuk diakui bahwa penyandang disabilitas seharusnya memiliki hak asasi yang setara dengan manusia lainnya, hak yang tidak boleh dikurangi, dibatasi, dihalangi, apalagi dicabut atau dihilangkan oleh siapapun. Dalam konteks suatu negara, penyandang disabilitas seharusnya dianggap sebagai bagian integral dari warga negara, dan hak-hak asasinya harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.

Istilah disabilitas juga berbeda dengan istilah cacat, bahkan adanya istilah disabilitas untuk menggantikan istilah cacat yang bermakna negatif dan sudah identik dengan kata rusak atau tidak normal. Selain itu istilah cacat fokus dengan cara pandang medis, yaitu menilai hambatan yang dialami seseorang adalah karena kondisi fisiknya. Misalnya seseorang yang terhambat untuk naik ke lantai 2 suatu bangunan adalah karena fisiknya yang menggunakan kursi roda, sedangkan disabilitas memandang hambatan yang dialami seseorang adalah karena lingkungan atau fasilitas yang tidak aksesibel. Misalnya tidak bisanya pengguna kursi roda naik ke lantai 2 bukan karena fisiknya, namun karena bangunan tersebut kurang melengkapi fasilitas dengan bidang landai atau lift yang menjadikannya dapat diakses oleh semua orang termasuk penyandang disabilitas. Dengan menggunakan istilah cacat yang fokus kepada fisik seseorang maka muncul anggapan fisik yang normal dan tidak normal, dimana penyandang cacat masuk dalam kategori tidak normal.

Dalam pasal 5 ayat 2 UU 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, kecacatan dianggap sebagai salah satu aspek permasalahan sosial, sementara dalam konteks disabilitas, kendala yang dihadapi oleh seseorang tidak terletak pada kondisi fisiknya, melainkan dipengaruhi oleh hambatan dalam melakukan aktivitas akibat ketidakaksesibilitan lingkungan atau fasilitas. Oleh karena itu dalam konsep disabilitas semua manusia dianggap sama dengan berbagai keunikannya dan keunikan itulah yang harus mampu diakomodasi oleh lingkungan di sekitarnya.

Dalam konteks penyelesaian masalah, pandangan mengenai cacat cenderung berfokus pada perlunya perubahan terhadap kondisi fisik individu agar dapat beradaptasi dengan lingkungan atau fasilitas yang sudah ada. Pemikiran ini didasarkan pada anggapan bahwa penyandang cacat dianggap tidak normal, sehingga solusinya lebih mengandalkan rasa belas kasihan dari orang lain. Pendekatan ini hanya bergantung pada bantuan sosial semata, yang diterapkan jika kebutuhan dasar telah terpenuhi, bahkan keberlanjutannya mungkin tergantung pada alokasi anggaran yang bersifat sukarela.

Sedangkan dalam konsep disabilitas, penyelesaian dilaksanakan dalam semua aspek kehidupan manusia, dan pelaksanaannya dianggap sebagai komponen utama karena tidak melakukan perbedaan dalam pemenuhan hak antara penyandang disabilitas dan non disabilitas. 

Misalnya dalam pembangunan di bidang transportasi armada angkutan umum harus memiliki desain yang ramah terhadap disabilitas, seperti memiliki bidang landai untuk akses masuk dan keluar serta memiliki sistem pengumuman yang berbentuk audio, visual dan taktual. Begitupula dalam sektor pekerjaan, pelatihan kerja harus aksesibel terhadap para penyandang disabilitas dan mampu mengarahkan penyandang disabilitas bekerja sesuai dengan minat dan bakatnya. Contoh lain yang menggambarkan perbedaan antara disabilitas dan cacat dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemui dalam sektor pendidikan. Penyelenggara pendidikan seringkali masih menolak penerimaan siswa penyandang disabilitas karena kurangnya fasilitas belajar. Akibatnya, mereka seringkali langsung diarahkan ke Sekolah Luar Biasa(SLB). 

Seiring waktu, pemahaman terhadap SLB pun berubah menjadi sekolah khusus bagi penyandang cacat, dengan hanya mempertimbangkan kondisi fisik seseorang, seperti ketidakmampuan memiliki kaki, tangan, menggunakan kursi roda, atau tunanetra. Sedangkan dalam cara pandang disabilitas semua siswa diperlakukan sama, sehingga selama siswa memenuhi syarat kemampuan untuk mengikuti kurikulum nasional akan diarahkan pada sekolah umum/reguler. Adapun kendala fasilitas seharusnya disediakan oleh pemerintah sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas pendidikan bagi warga negara dengan disabilitas. Dengan bersekolah di sekolah umum maka akan ada interaksi antara siswa penyandang disabilitas dan non disabilitas, dari interaksi itu akan timbul rasa saling memahami akan keunikan masing-masing siswa dan hal itu sangat baik untuk mengajarkan toleransi dalam berinteraksi sosial.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Pertama, setelah memahami konsep disabilitas, maka tidak ada lagi alasan untuk menggunakan istilah cacat dalam menyebut penyandang disabilitas, dengan begitu setidaknya menghindarkan penggunaan istilah negatif untuk menyebut kelompok masyarakat tertentu. Kedua, mari periksa bersama apakah fasilitas dan pelayanan di sekitar sudah ramah bagi penyandang disabilitas? apakah sudah ada bidang landai atau lift sebagai alternatif penggunaan tangga? 

Apakah pusat informasi atau pengumuman sudah dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang aksesibel seperti bentuk audio visual dan taktual? dan apakah para pemberi layanan umum sudah memahami konsep disabilitas dan tahu cara menghadapi penyandang disabilitas? Apabila belum mari layangkan atau bahkan tuntutan kepada pihak terkait untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Ketiga, Hentikanlah penggunaan ejekan atau pernyataan yang menciptakan stereotip negatif terhadap para penyandang disabilitas. Misalnya, hindarilah mengolok-olok seseorang yang mengalami gangguan jiwa atau skizofrenia dengan menyebutnya sebagai "orang gila," dan jangan menggunakan istilah autis sebagai ungkapan negatif untuk merujuk kepada seseorang yang tidak memperhatikan lingkungan sosialnya.

Kita harus mulai hentikan dari diri kita sendiri dan mengkritisi bahkan melaporkan kepada Kepolisian apabila ada yang melakukan penghinaan terhadap penyandang disabilitas. 3 Hal itu dapat kita lakukan mulai dari sekarang dan mulai dari kita sendiri. Mari upayakan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. "Perlakukanlah orang dengan disabilitas seperti kita mau diperlakukan oleh orang lain".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun