Tanggal 30 September merupakan salah satu kalender keramat di Indonesia yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Isu tentangnya menjadi semakin hangat ketika hari semakin mendekatinya. Banyak tokoh publik dan pejabat negara yang turut berkomentar mengenainya. Baik dari sudut pandang sejarah, politik, ekonomi, pendidikan, atau lainnya. Bahkan, beberapa stasiun televisi juga menayangkan secara eksklusif program yang mengulas seluk beluk peristiwa 30 September ini.
Bukan karena aksi heroik yang menjadikan tanggal tersebut terasa berbeda, melainkan peristiwa nista nan memalukan akibat polah Partai Komunis Indonesia (PKI). Tragedi yang terjadi pada tahun 1965 tersebut sebenarnya lebih konyol dari pada penjajahan kolonial. Pasalnya, PKI yang notabenenya adalah orang Indonesia, melakukan pembantaian terhadap saudara sendiri, warga sebangsa setanahairnya.
Hari itu, tepat 55 tahun silam, PKI melakukan aksi nekad berupa kudeta. Di bawah komando Letnan Kolonel Untung, partai durjana tersebut melangsungkan kup yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September PKI (G30SPKI) atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Kebiadaban mereka mengakibatkan enam orang perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa orang lainnya tewas. PKI menculik, menyiksa, dan membunuh mereka dengan brutal. Lebih luas lagi, PKI sebelumnya juga melakukan pembantaian terhadap ulama dan orang-orang yang kontra terhadap komunisme.
Seperti tahun sebelumnya, konsentrasi bangsa Indonesia hari ini juga terfokus pada PKI. Semua sepakat bahwa Gestapu adalah terkutuk, dan PKI adalah partai terlarang. Namun perbedaan pendapat kerap terjadi saat membahas tentang urgensi penayangan film dokumenternya. Kubu pertama berpandangan bahwa film tersebut harus ditayangkan secara konvensional. Mereka kekeh dengan itu agar bangsa Indonesia selalu waspada akan potensi kebangkitan kembali komunisme.
Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa penayangan tersebut tidak perlu. Alasannya, hal itu justru akan menimbulkan dendam yang berkepanjangan terhadap anak cucu eks PKI, padahal mereka saat itu tidak tahu menahu ulah orang tuanya. Dalam hal ini, sebenarnya keluarga PKI juga termasuk korban.
Kubu ketiga adalah kelompok yang netral. Mereka tidak ngotot, tidak pula menolak diadakan penayangan film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI tersebut. Kategori ini didominasi anak muda yang belum begitu maklum, juga bukan dari kerabat korban atau keluarga pelaku pembantaian.
Untuk kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, tentu pendapat ketiganya tidak serta-merta dapat diterima. Dikhawatirkan justru akan menjadi benih pemecah belah bangsa. Bukannya nilai nasionalisme yang tersampaikan tapi malah sikap benci buta yang semakin mengakar. Alhasil, publik akan memandang miring keturunan PKI. Seolah mereka harus menanggung dosa orang tuanya. Maka butuh solusi cerdas yang betul-betul mempertimbangkan aspek keadilan sosial. Ibarat memancing, ikan tertangkap tanpa harus memperkeruh kolam.
Pertama, tentu kita sepakat bahwa G30SPKI merupakan aksi yang terkutuk. Sejarah kelam Indonesia tersebut mutlak harus disampaikan kepada seluruh rakyat, terutama generasi muda agar kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI tetap terjaga.
Kedua, diperlukan metode yang bijaksana agar pesan sejarah tersampaikan dengan tetap memperhatikan aspek keadilan sosial. Harus diakui bahwa dengan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, publik akan semakin mengetahui sejarah. Tapi apakah pengetahuan itu sampai kepada pemaknaan dan penghayatan? Terutama kalangan muda yang belum begitu melek sejarah, di mana mereka akan disuguhkan adegan-adegan brutal PKI. Hal ini justru akan menambah kesan negatif terhadap anak cucu PKI. Sekali lagi, haruskah keturunan PKI menanggung dosa orang tuanya?
Sejatinya, yang prinsipil bukanlah penayangan film, melainkan penyampaian pesan sejarah yang terkandung di dalamnya. Ulasan dan penjelasan yang obyektif akan lebih berguna untuk kemaslahatan bangsa. Bahkan, cuplikan pendek saja, jika disertai dengan ulasan yang tepat akan lebih efektif untuk membangkitkan jiwa nasionalisme bangsa. Terlebih dalam sesi tersebut dapat menghadirkan narasumber dari kubu keluarga pelaku dan kerabat korban. Dengan demikian, substansi kesejarahan akan tersampaikan dengan tetap menjunjung tinggi jiwa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H