Keadilan adalah kulit-kulit padi; Hitam terbakar bersama jerami; Lalu hilang dibawa derasnya hujan yang mengalir
Kematian Afif Maulana, seorang pelajar SMP berusia 13 tahun, telah mengguncangkan seluruh media massa sebagai kasus yang memuat besar spekulasi terjadinya brutalitas dan dorongan akan citra busuknya non-profesionalitas "oknum" Kepolisian Republik Indonesia.Â
Dikenal sebagai individu yang ceria oleh teman-temannya, adalah sebuah tragedi bagi seluruh masyarakat ketika mendengar apa yang telah terjadi kepada Afif dan bagaimana kondisinya saat ditemukan; penuh dengan luka lebam, tulang rusuk patah, hingga paru-paru robek dengan jasad yang tergeletak di bawah jembatan Sungai Batang Kuranji.
Luka-luka dan tanda fisik yang hadir pada tubuh Afif menjadi katalis penolakan keterangan bahwa Afif meloncat dari jembatan untuk menghindari sanksi polisi, melainkan semakin menguatkan mosi bahwa Afif tewas sebab dianiaya dan disika oleh pihak polisi. Sebuah mosi yang didukung oleh beragam pihak tanpa sembarang pengutaraan.
Satu atau lebih eye witness melihat brutalitas yang dilakukan oleh polisi kepada Afif secara langsung, seperti digebuk, dihantam, dan disiksa tanpa ampun. Dan ketika jasad Afif diotopsi, tidak ditemukan bekas atau luka lompatan dari jembatan itu. Cukup aneh untuk seseorang yang dinyatakan tewas karena lompat, tidak? Tergesa-gesa kah dalam menyimpulkan sebab kematian?
Begitu pula dengan serangkaian "ketidaktepatan" yang dilakukan oleh pihak polisi dalam menangani kasus ini. Yang tidak dapat dipungkiri telah mencoreng noda pada nama intansi kepolisian dengan ketidakpercayaan yang kian bertubi hari demi hari.
Sebagian besar dari 18 pemuda yang ditahan oleh pihak polisi telah memberikan kesan pada media bahwa mereka telah mengalami perlakuan yang sangat tidak etis ketika dalam tahanan polisi. Bahkan, salah satu teman Afif sempat menyatakan bahwa ia dan sejumlah pemuda lainnya mengalami paksaan untuk berciuman, lalu berguling-guling hingga muntah.
Polda Sumbar mengakui bahwa hanya terjadi aksi pemukulan, bukan siksaan, bukan penganiayan, oleh 17 anggota polisi. Namun, apakah keseluruhan dari 18 pemuda yang ikut ditahan itu berbohong karena mengaku telah diludahi, disundut oleh rokok, ditendang, dan dipukul tanpa belas kasih?
Brutalitas polisi merupakan sesuatu yang hampir dianggap lazim oleh masyarakat, hanya karena yang dihabisi adalah penjahat atau pelarang asusila. Kekerasan yang dilakukan oleh seorang polisi sama sekali tidak boleh dinormalisasi ataupun dibenarkan. Kami selaku masyarakat tidak boleh kehilangan hati nurani dan buta akan pelecehan hak kita.Â
Tidak melupa pula sejumlah keteledoran yang dilakukan oleh pihak kepolisian, seperti acuh dalam mengamankan rekaman CCTV bekas tragedi itu yang akhirnya kehapus tanpa sisa secara otomatis. Begitu pula dengan pemasangan police tape yang malahan baru dilakukan 20 hari setelah jasad ditemukan tergenang di permukaan air. Alhasil terjadinya obstruksi pada area TKP.
Lalu dimana letak transparansinya bila media massa saja harus miniskul dalam memberitakan tragedi ini. Dimana titik puncak ke-bajingan pihak kepolisian adalah justru menyibukkan diri dalam mencari dalang yang "memviralkan" kasus Afif ini.Â