Mohon tunggu...
Sulthan HafizhNabil
Sulthan HafizhNabil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya seorang Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya merupakan orang yang ambisius dan kritis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelanggengan Dinasti Sejak Dini

12 Juni 2024   21:27 Diperbarui: 12 Juni 2024   22:46 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HANA SEPTIANA/Kompasiana 

Tangerang, Kompasiana - Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, menjadi sorotan usai bagikan susu dan buku tulis kepada anak-anak SDN V dan VI Margorejo Surabaya pada Kamis, 6 Juni 2024 lalu.  Sekilas membagikan susu dan buku tulis kepada anak SD tidaklah aneh, tetapi yang menjadi perbincangan adalah bagaimana sampul dari buku tulis yang dibagikan Gibran tersebut bergambarkan anaknya, Jan Ethes. Buku tulis tersebut bertuliskan merek Kiky yang basisnya terdapat di Kabupaten Boyolali, dengan gambar sampul yang cukup beragam namun tetap memperlihatkan Jan Ethes sebagai model utamanya. Dalam sampul tersebut Jan Ethes menggunakan baju adat Jawa lengkap dengan blangkonnya, berpose sambil memegang wayang di tangannya. Hal ini menimbulkan asumsi dan subjektivitas yang beragam untuk memaknai tujuan Gibran membagikan buku tulis tersebut. Lantas, apakah ini merupakah langkah awal pengenalan sang "tokoh selanjutnya"?

Pesan-pesan

       Dalam konteks semiotik, sebuah simbol dapat dicurigai akan suatu hal yang lain. Pada kasus ini gambar Jan Ethes pada sampul buku tulis menjadi simbol bahwa ada pesan yang ingin disampaikan kepada publik, yang dalam hal ini seharusnya dilakukan secara sengaja. Pesan yang paling sentimen untuk diasumsikan adalah, penggunaan gambar Jan Ethes tersebut merupakan sebuah sinyal dari perpanjangan dinasti. Perpanjangan dinasti kali ini memang seolah dilakukan dengan cara-cara yang lebih modern dan orientasinya lebih kepada jangka panjang ketimbang cara sebelumnya yang secara gamblang dapat dikatakan menabrak konstitusi sana sini. Karena ketika dipikirkan matang-matang, sebuah buku tulis dapat begitu "impactful"nya pada orientasi anak-anak dalam mengenali sosok Jan Ethes ketika anak-anak sudah sewajarnya sangat dekat dengan buku tulis ketika kehidupan mereka masih berkutat pada pendidikan di sekolah dasar. Anak-anak ini akan setiap saat bersentuhan dengan buku tulis bergambarkan Jan Ethes itu,  Hal ini yang dikatakan menjadi sebuah penanaman ideologi sedini mungkin dan menjadi hegemoni terselubung ketika anak-anak kecil belum memahami arti dari "dinasti", yang mereka tahu buku itu hanya bergambar sesosok anak kecil yang dibalut dengan nuansa kesenian, namun di saat yang bersama sosok Jan Ethes menjadi familiar bagi mereka.

Nubuat

       Maka tidak heran ketika sepuluh sampai dengan dua puluh tahun ke depan generasi anak-anak ini sudah tidak bertanya-tanya siapa sosok Jan Ethes ketika Ia muncul ke permukaan terlepas sebagai apa Ia akan muncul. Wajar jika ini dikatakan sebagai political marketing, atau lebih tepatnya long term political marketing. Karena umunya political marketing hanya dilakukan dalam satu momentum tertentu terlepas dari pada marketing itu menghasilkan keuntungan atau tidak sebagai outputnya, namun pada kasus ini Jan Ethes seolah memang sudah dimarketing sejak usia dini dan kita tidak pernah tau tindakan apa yang akan dilakukan selanjutnya (marketing selanjutnya). Maka pantas untuk mengatakan bahwa ini merupakan long term political marketing ketika sejak umur masih belia saja Jan Ethes sudah dipromosikan, (atau setidaknya diproyeksikan) untuk menjadi sosok tokoh ke depannya, dan sangat mungkin di masa-masa selanjutnya akan ada media promosi yang lain. Miris bagaimana pelanggengan ini membuat pemimpin negara yang sebentar lagi akan turun tahta ini seolah menjadi dewa, Ia tahu  apa yang akan terjadi pada setiap masa yang berjalan maju. Ia tahu, karena mungkin Ia yang membuat satu dan lain hal itu terjadi. 

Dinasti 

       Pada titik ini, tidak heran jika orang-orang sudah setuju dengan satir yang berbunyi "negara ini negara keluarga", bukan berangkat dari asas kekeluargaan maksudnya, tapi berangkat dari seberapa banyak hegemoni kekuasaan yang dilanggengkan dari garis darah keturunan sang raja. Apakah ada sesuatu yang hanya bisa disimpan oleh orang-orang dalam keluarga saja sehingga pelanggengan ini rasanya sangat mencederai etika dan hukum? Apakah bahkan dengan anak sekecil itu sudah dipersiapkan untuk melanjutkan tahta negara? Kekhawatiran dan gelisah di negara ini makin menjadi bahkan sebelum Presiden dan Wakil presiden yang baru dilantik, semua pelanggengan ini mungkin akan terus berlanjut, permainan catur sang raja mungkin akan terus berlanjut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun