Mohon tunggu...
Sulthan Akhsanulkp
Sulthan Akhsanulkp Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang senang mencoba banyak hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Money

Industri Rokok: Masalah Kesehatan dan Penyumbang Besar Penerimaan Negara

8 Juni 2022   09:43 Diperbarui: 8 Juni 2022   10:09 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaikan pedang bermata dua, itulah istilah yang tepat untuk industri rokok di negara kita. Tak dapat dipungkiri, Industri rokok di Indonesia merupakan salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar. Jumlah perokok di Indonesia yang terbilang sangat tinggi. Bahkan sejak usia remaja hingga anak-anak sudah mulai mencoba rokok dan menaruh minat terhadap olahan tembakau ini membuat rokok laku keras di pasaran. Ditambah lagi, cukai rokok yang selalu naik tiap tahunnya membuat Indonesia menerima banyak penerimaan dari adanya industri rokok ini.

Secara historis, tembakau menjadi salah satu industri terbesar di Indonesia. Dari industri rokok sendiri menyumbang penerimaan negara yang sangat besar, yakni 96 persen dari total cukai nasional di Indonesia. Setiap tahun, tarif cukai rokok selalu naik. Kenaikan tarif cukai rokok tertinggi terjadi pada 2020. Kenaikannya mencapai 23 persen. Hanya ada dua tahun yang mana tidak terjadi kenaikan tarif cukai rokok yaitu di tahun 2014 dan 2019. Dan pada tahun ini, cukai rokok diketok naik 12 persen. Keputusan tersebut berlaku sejak 1 Januari lalu. Kenaikan ini bertujuan untuk mendukung tercapainya target penerimaan cukai rokok 2022 sebesar Rp193 triliun.

Kebijakan kenaikan cukai rokok setiap tahun telah diatur pada amanat UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Undang-Undang ini memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi pengendalian. Naik dari sisi konsumsi maupun produksi. Kedua, budgeter atau penerimaan negara. Dalam penerimaan negara dari cukai rokok, mengalir juga Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk daerah. DBH CHT di Indonexia digunakan untuk banyak keperluan guna mendanai lima program. Yaitu peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Bahkan pada saat pandemi DBH CHT juga digunakan untuk membantu pembiayaan penanganan covid-19.

"DBH CHT juga ambil andil dalam pembiayaan untuk penanganan Covid-19," ucap Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat pada merdeka.com.

Selain itu, DBH CHT di negara kita juga berperan dalam 96 pembangunan dan 370 rehabilitasi fasilitas kesehatan, penyediaan alat kesehatan, obat-obatan, pembayaran iuran jaminan kesehatan hingga pelatihan tenaga administrasi dan kesehatan.

untitled-design-2-62a0129b2154ae1211134122.jpg
untitled-design-2-62a0129b2154ae1211134122.jpg
Sebenarnya, penerimaan negara dari cukai rokok bukanlah tujuan utama. Tujuan utama dari kenaikan cukai rokok tiap tahun ialah untuk menurunkan konsumsi, prevalensi, dan presentase jumlah masyarakat yang merokok di Indonesia. Namun, hal itu tidaklah mudah karena minat masyarakat terhadap rokok tetap tinggi meskipun cukai terus dinaikkan.

Meskipun rokok memberkan banyak penerimaan untuk negara, hal itu tidak sebanding dengan masalah kesehatan atau krisis kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok. Perokok dinilai menjadi beban negara. Hal ini terjadi karena negara lah yang harus menanggung biaya perawatan akibat rokok para warganya. Menteri Sri Mulyani mencatat, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun setahun. BPJS Kesehatan harus menanggung Rp10,5-15,6 triliun dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Data ini sejalan dengan riset Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) sepanjang 2019.

Menurut Sri Mulyani, 20-30 persen dari subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN per tahunnya adalah untuk membiayai perawatan akibat rokok. Sementara alokasi penerimaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan biayai penyakit peserta terkait rokok hanya Rp7,4 triliun.

Bagai pedang bermata dua, memang menjadi dilema industri rokok di negara kita. Di samping menyumbang penerimaan negara, rokok juga menimbulkan krisis kesehatan yang juga menjadi beban dari negara. Belum lagi perokok di bawah umur yang juga banyak di negara kita yang selanjutnya akan menjadi masalah. Menjumpai remaja dan anak sekolah dasar menghisap rokok, bukanlah pemandangan yang asing ditemui di Indonesia. Kemudahan akses untuk mendapatkan rokok menjadi sebab utama dalam permasalahan ini. Pemerintah sebaiknya lebih serius lagi dan fokus menerapkan kebijakan yang komprehensif, termasuk wadah hukum melindungi anak dari jeratan industri rokok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun