Mohon tunggu...
Cakcoksiregar
Cakcoksiregar Mohon Tunggu... -

OneDream / Fb : sultanucoksulaiman InstagramTwitter : Sultan Ucok

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih Memilih Pesantren

1 Agustus 2016   13:23 Diperbarui: 1 Agustus 2016   13:28 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tepatnya tahun 2012 saya dinyatakan lulus dari sekolah menengah pertama. Banyak usulan bahkan tawaran dari sahabat serta sanak famili untuk kelanjutan saya menempuh sekolah menengah atas. Hati pun tergetar untuk melanjutkan sekolah negeri di kawasan tempat tinggal Kota Tangerang, saya pun mengikuti ujian memasuki sekolah menengah atas dengan taruhan nilai SMP 3,6 , dengan mengambil SMA favorit di Kota Tangerang yaitu SMA negeri 2 dan 10 di kota tersebut. Seleksi masuk pun saya lewati dan dinyatakan lulus dikedua sekolah tersebut. Hati pun senang begitu juga yang dirasakan keluarga dan sahabat.

Hari demi hari saya lewati untuk menunggu hari pertama saya duduk di bangku SMA, sampai suatu saat saya menonton berita di sebuah stasiun televisi. Berita itu memberitahukan bahwa pesantren adalah sarang terorisme. Pikiran pun terarah ke lembaga pendidikan pesantren. Lantas saya tuturkan pertanyaan kepada papah "Pah memang benar pesantren sarang terorisme? Papah pun balik bertanya "Memang kalau benar atau tidak apa menurut kamu?”

Saya pun menjawab "Benar atau tidak, saya ingin coba masuk pesantren". Papah pun kaget dengan sebuah penyataan anak yang baru lulus SMP dan telah mendapatkan bangku di SMP. Lantas ia berkata "kalau mau masuk pesantren masuk lah yang bener-bener pesantren". Obrolan pun kita sudahi sedemikian. 

Setelah obrolan itu, saya langsung membuka laptop dan membuka google serta mencari pesantren tertua di Indonesia, terbuka lah nama pesantren yang didirikan oleh buya hamka di daerah padangpanjang, hatipun berkata "Waw jauh banget", lalu saya mengetik lagi dengan tulisan "pesantren yang telah mencetak alumni-alumninya yang telah berkiprah dimasyarakat", keluarlah nama Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo. Tanpa berfikir panjang saya pun langsung tidur karena susah larut malam.

Keesokan harinya saya berbicara kepada papah "Pah ucok pengen nyantren ke Gontor Ponorogo", papah pun menjawab "Oke siang ini kita pesen tiket pesawat ke surabaya, dari situ kita naik bus ke ponorogo", tetapi ada suatu suara yang sedikit tidak setuju atau khawatir "Ucok jangan sekolah jauh-jauh, kan udah diterima di SMA Tangerang malah pilih pesantren", saya pun menjawab "Ucok mau buktiin mah, kalau pesantren itu bukan sarang teroris", Mamah pun menjawab "Iya udah terserah kamu, yang penting kamu bisa berguna bagi bangsa dan negara ini". Tiga hari setelah perbincangan itu, saya dan papah pun berangkat ke Surabaya. 

Singkat cerita kami pun sampai di Ponpes Gontor Kampus 2, tetapi sebelum kita masuk terpajang sebuah tulisan yang tersandar di papantulis bahwa pendaftaran calon pelajar sudah selesai karena terlalu banyak yang mendaftar dan akan dibuka lagi ujian gelombang kedua pada tanggal 5 Syawwal. Saya pun putus asa, tapi tidak dengan sesosok papah yang rela menemaniku dimanapun dan kapanpun, ia pun berkata "Hei anak papah! Kamu kenapa? Allah tidak akan memberikan beban kepada hambanya kecuali sama dengan kemampuan hambanya tersebut. Jangan takut gagal, papah temenin kamu kok walaupun 5 Syawwal nanti".

 Senyuman saya pun bertanda bahwa kita setuju. Singkat cerita saya pun mengikuti ujian gelombang dua di Gontor. Papah dan keluarga yang mengantar saya pun hanya 12 jam berada di Gontor dan papah berkata "Cok! Lulus atau tidak lulus kamu tetap anak papah!, papah,mamah,abang pulang dulu yah, ada tugas mendadak dari kantor yang harus di kerjakan lusa hari". Saya pun hanya meminta doa yang terbaik untuk ujian ini, lantas mereka pergi dengan melambaikan tangan tanda bahwa mereka sangat mencintai anaknya yang ingin masuk pesantren.

Pada akhirnya saya bisa menghirup udara pendidikan dimana orang-orang menyebutnya kampung damai yakni Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Pondok ini yang akhirnya membawa saya ke tempat nan jauh dari tempat tinggal saya. Yah saya sekarang berada di Pondok Pesantren Al-Ikhlas Taliwang Sumbawa Barat. Gontor mencoba saya untuk lebih belajar,berkembang,serta memperbaiki diri setelah saya dinyatakan lulus akademis di Pondok Pesantren Darussalam Gontor.

Menjadi seorang guru adalah tujuan utama dari arah pendidikan di Gontor, saya pun akhirnya bisa mencoba menjadi sesosok guru di Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Semasa belajar di Gontor, saya tidak memiliki pelajaran yang disukai maupun tidak disukai, menurut saya pelajaran apa saja saya akan coba pelajari dan ajarkan ke orang lain. 

Mungkin Allah mendengar kata hati saya, di sini saya mendapat jam pelajaran paling banyak jika dibandingkan guru-guru baru yang lain. Tapi saya hanya berkata "Alhamdulillah" meskipun guru-guru yang lain asik mentertawakan temannya yang dibebani jam pelajaran sebanyak 15 jam dalam satu minggu. Hari-hari saya lewati dengan tanpa melewati satu jam pelajaran pun dalam jadwal mangajar saya, sampai pada akhirnya saya pun mendapat pelajaran penting dari sebuah mengajar, "Bahwa dengan mengajar, guru bisa melatih dirinya sendiri untuk belajar, hal lebihnya guru bisa belajar dari seorang muridnya". OneDream

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun