Sabtu, 27 April 2024 bangsa kita kehilangan lagi salah satu penyair terkenal, yaitu Joko Pinurbo atau yang populer dengan nama sapaan Jokpin. Pria kelahiran Sukabumi tahun 1962 ini selama hidupnya telah mendedikasikan diri melalui karya-karya puisinya yang penuh dengan satir dan kritikan terhadap realitas sosial dalam kehidupan kita sehari-hari. Semua orang bisa membaca karya-karya puisinya yang fenomenal dan unik lantaran bahasa yang digunakan sederhana.
Jokpin lebih senang menggunakan diksi-diksi umum yang populer di masyarakat sehingga puisinya mudah dimengerti dan dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat. Bagi Jokpin semua kehidupan sosial pada diri manusia dan masyarakatnya adalah inspirasi untuk membuat puisi bernilai seni tinggi. Kata-kata yang dirangkai di dalam puisinya selalu membawa kesan dan rasa yang berbeda-beda. Terkadang lucu, tetapi kadang pedes juga kedengarannya. Kadang-kadang bisa santai juga bahasanya, tetapi bisa juga nyelekit karena sindirannya yang tajam.
Efeknya, bagi yang merasa tersindir dengan puisi Jokpin pasti panas hatinya. Kuping bisa langsung merah seketika. Muka bisa berkerut karena ditekuk lantaran malu disindir melalui kata-kata yang meluncur dengan syair-syair yang lucu.
Saya sendiri tidak begitu dekat dengan karya-karya puisinya, tetapi pernah mendengar beberapa teman sering membicarakan tentang puisi-puisinya. Saya acuh dengan semua pembicaraan tersebut. Bagi Joko Pinarto ya Joko Pinarto, sama seperti penyair-penyair lainnya yang karyanya sudah pernah saya baca seperti Chairil Anwar dan WS Rendra.
Seperti itu saja sih saya kenal dengan  penyair yang selalu tampil sederhana di depan publik.
Hingga suatu saat -belum lama juga sih- tanpa sengaja saya menyaksikan sebuah cuplikan di televisi yang menampilkan Jokpin sedang membaca puisi yang menurut saya beda sekali cara membahasakannya. Saya ikuti terus cara Jokpin membaca puisinya yang terdengar datar dan tidak menggebu-gebu seperti Rendra. Tidak semangat dan tidak bisa menggugah emosi.
Sarkastik
Salah satu puisi Jokpin yang masih terngiang hingga sekarang adalah "Doa Orang Sibuk 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya". Puisinya sebagai berikut:
"Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.