Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Problem Ambang Batas Parlemen dalam Sistem Pemilu Proporsional

2 Maret 2024   22:04 Diperbarui: 23 Maret 2024   11:40 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuan PT sebagai instrumen pengurangan jumlah parpol di parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian tidak pernah tercapai sejak Pemilu 2009 hingga sekarang. Kondisi politik yang stabil yang selalu menjadi wacanan di balik perubahan nilai PT mencerminkan tidak adanya alasan rasional dalam menentukan besaran angka tersebut.

Akibatnya, PT gagal menyederhanakan partai sekaligus membuat suara terbuang semakin banyak sehingga hasil pemilu menjadi tidak proporsional.

Problem Parliamentary Threshold

Ketentuan parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan MK tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. 

Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR" sangat berhubungan dengan sistem pemilu proporsional karena berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.

Di sinilah letak persoalan yang menjadi problem parliamentary treshold 4 persen, di mana ketentuan ambang batas ini tidak konsisten atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4 persen dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional (mkri.id, Aturan Ambang Batas Parlemen Empat Persen Konstitusional Bersyarat untuk Pemilu 2029 dan Pemilu Berikutnya, 29/2/2024).

Ketidakkonsistenan tersebut disebabkan karena tidak adanya dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. 

Bahkan, pembentuk UU sendiri tidak menunjukkan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4  persen dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.

Problem selanjutnya adalah dampak ambang batas parlemen 4 persen terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Jika mengikuti logika sistem pemilihan proporsional, seharusnya jumlah suara yang diperoleh parpol peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di parlemen sehingga hasil pemilu menjadi proporsional.

Artinya, dengan sistem proporsional yang dianut Indonesia semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.

Penerapan parliamentary treshold 4 persen justru menjadi kontra-produktif terhadap sistem pemilu proporsional. Pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18  persen dari suara sah secara nasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun