Oleh: Sultani
Wacana tentang pembentukan oposisi pasca-Pilpres dan Pemilu 2024 merupakan momentum untuk menciptakan sistem pemerintahan demokratis yang dikontrol oleh kekuatan politik di luar penguasa. Kehadiran oposisi sangat diperlukan dalam sebuah sistem demokratis dalam rangka menciptakan keseimbangan kekuasaan antara penguasa dengan kelompok oposan yang berada di luar pemerintahan.
Demokrasi yang ideal selalu menciptakan dua kutub kekuasaan yang berseberangan sebagai representasi dari hasil pemilihan umum. Kutub pertama adalah kelompok peraih suara terbanyak yang menjadi pemenang, dan kutub keduanya adalah peraih suara yang lebih sedikit. Kelompok pemenang yang mewakili mayoritas dukungan politik rakyat akan menjadi penguasa atau pemerintah, sebaliknya kelompok yang kalah akan menjadi lawannya. Meskipun minoritas, bukan berarti pihak yang kalah akan kehilangan peran dalam pemerintahan (Kompas.id, Jangan Takut Menjadi Oposisi, 19/1/2024).
Kubu yang kalah dalam pemilu bisa menempatkan diri sebagai oposisi yang  berperan sebagai penyeimbang atau kontrol di luar pemerintahan, dalam rangka menegakkan fungsi checks and balances dalam sistem demokratis. Dengan menjadi oposisi, pihak yang kalah bukanlah pecundang yang tidak bernilai, melainkan bisa menjaga kualitas demokrasi dengan mencegah munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah kepada pemerintahan otoriter.
Dalam pemerintahan yang demokratis, oposisi merupakan kekuatan politik yang menjadi lawan pemerintah di parlemen, yang menentang dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Peran oposisi sendiri adalah mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah agar berjalan sesuai dengan undang-undang.
Politik oposisi merupakan kegiatan parlementarian yang paling terhormat karena mampu mencegah munculnya ancaman mayoritarianisme dan otoritarianisme. Salah satu komponen negara demokrasi yang membedakannya dengan negara otoriter, adalah eksisnya unsur oposisi sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang dalam pelaksanaan pemerintahan, sehingga sistem pemerintahannya tidak terjerumus ke dalam penyelewengan kekuasaan (Kumparan.com, Pentingnya Oposisi Pasca Pemilu 2024, 19/2/2024).
Sistem politik Indonesia yang menganut presidensial sejatinya tidak mengenal adanya oposisi. Namun, peran partai politik yang berseberangan dengan penguasa tetap dihargai sebagai bagian dari checks and balance kekuasaan. Benih-benih oposisi dalam politik Indonesia muncul bersamaan dengan gerakan reformasi yang bergulir pada 1998. Ruang oposisi sebagai medan bagi bangunan demokrasi yang ideal belum mendapatkan tempat luas dalam kehidupan partai politik Indonesia. Akibatnya, Â fungsi checks and balance terhadap pemerintah saat ini masih kurang efektif.