Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Wacana Hak Angket dan Politisasi Hasil Pilpres 2024

28 Februari 2024   06:57 Diperbarui: 4 Maret 2024   02:00 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia tidak hanya menjadi ajang untuk menentukan kepemimpinan nasional, tetapi juga titik kritis yang dapat membentuk arah demokrasi negara ini dalam beberapa tahun ke depan. 

Namun, Pilpres 2024 menjadi momen penting yang menyoroti dua isu yang mungkin mengancam integritas demokrasi: penggunaan Hak Angket oleh lembaga legislatif dan politisasi hasil Pilpres.

Isu tentang penggunaan hak angket DPR ini mulai bergulir setelah disuarakan oleh calon presiden Ganjar Pranowo. Isu ini terus bergulir ketika capres Anies Baswedan menyambut positif usulan Ganjar tersebut. 

Tiga partai pengusung Anies-Muhaimin yakni NasDem, PKS dan PKB bahkan sudah menyatakan setuju terhadap pengajuan hak angket yang bertujuan untuk menyikapi dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Bahkan, PDI Perjuangan, partai pengusung utama paslon Ganjar-Mahfud juga menunjukkan sikap yang sama dengan usulan penggunaan Hak Angket DPR. Ketua Tim Demokrasi Keadilan (TDK) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengungkapkan, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mendukung wacana hak angket mengenai dugaan kecurangan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. 

Penekanan dari hak angket yang akan digulirkan adalah mengungkap dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada masa sebelum pencoblosan, saat pencoblosan, dan setelah pencoblosan (Kompas.com, Megawati Disebut Dukung Hak Angket Kecurangan Pilpres, Todung: Bukan untuk Pemakzulan, 26/02/2024).

Sumber: Antarafoto.com
Sumber: Antarafoto.com

Hak angket adalah hak konstitusional anggota DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah. 

Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2024, pelaksanaan hak angket tetap bisa digulirkan untuk memeriksa kebijakan pemerintah menyangkut pelaksanaan pemilu, macam penggunaan anggaran, wewenang dan lain seterusnya, bukan kepada hasil Pemilu 2024.

"Jadi sekarang seakan disebarkan pembicaraan juru bicara-juru bicara untuk mengatakan angket itu tidak cocok untuk pemilu. Siapa bilang tidak cocok, bukan pemilunya, tapi kebijakannya yang berdasarkan kewenangan tertentu," tegas Mahfud MD, cawapres dari Ganjar Pranowo (CNNIndonesia.com, Mahfud: Sekarang Seakan Disebar Hak Angket Tak Cocok buat Pemilu, 25/2/2024).

Hak Angket dan Pemilu 2024

Sumber: wartakota.tribunnews.com
Sumber: wartakota.tribunnews.com

Pernyataan Mahfud tersebut mempertegas fakta bahwa Hak Angket DPR tidak terkait dengan hasil pemilu sehingga tidak mengubah hasil Pemilu 2024 yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Senada dengan pernyataan Mahfud tersebut, sejumlah tokoh politik nasional juga mempertanyakan urgensi Hak Angket untuk memperkarakan kecurangan Pemilu 2024.

Sebut saja mantan Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lukman Edy, yang mengatakan bahwa penggunaan hak angket di DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 sebagai hal yang tidak berguna. 

Menurut dia, sia-sia saja mau memperkarakan pemerintah karena Hak Angket DPR tidak akan bisa mengubah hasil Pemilu dan Pilpres 2024.

Apakah benar, Hak Angket tidak akan memengaruhi hasil Pemilu dan Pilpres 2024?

Setiap anggota DPR secara konstitusional memiliki hak untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah, yang kita kenal sebagai Hak Angket DPR. 

Kasus yang bisa diselidiki lewat hak angket berkaitan dengan hal penting, strategis, berdampak luas bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sumber: Tempo.co
Sumber: Tempo.co

Meski demikian, DPR juga mempunyai hak untuk menerima atau menolak usulan Hak Angket. DPR berhak menolak usulan angket dengan alasan karena bukti-bukti kurang atau alasan lainnya. Sebaliknya, jika usulan Hak Angket diterima, maka DPR berhak membentuk panitia angket yang bertugas dalam penyelidikan dugaan pelanggaran.

Dalam konteks kecurangan pemilu yang menjadi dasar pengajuan Hak Angket sekarang, banyak pihak yang masih sanksi dengan efektivitas penggunaan hak tersebut. Keraguan tersebut bukan pada Hak Angketnya, tetapi lebih pada soliditas partai politik di parlemen terhadap isu kecurangan pemilu.

Isu tentang soliditas partai di DPR mecakup polarisasi yang jelas antara parpol pendukung capres pemenang dan capres yang kalah dan potensi keterlibatan semua parpol dalam kecurangan pemilu. 

Peneliti Formappi Lucius Karus termasuk pihak yang meragukan efektivitas hak angket dalam membuktikan dugaan kecurangan pemilu lantaran dia sendiri meduga adanya partai politik di DPR RI yang terlibat dengan kecurangan pemilu. 

Di sisi lain, Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem yang mengusung capres Anies-Muhaimin sudah bertemu dengan Presiden Jokowi sebagai sinyal penolakan terhadap usulan Hak Angket yang diusulkan Ganjar (Tirto.id, Apakah Hak Angket Bisa Pengaruhi Hasil Pilpres-Pemilu? 21/2/2024).

Jika Hak Angket ternyata tidak efektif untuk membongkar kecurangan Pemilu dan Pilpres 2024, mengapa capres, partai pengusung, dan para pendukung kandidat yang kalah tetap ngotot memaksa digulirkannya Hak Angket di DPR?

Urgensi Hak Angket?

Hak Angket DPR sebagai instrumen kontrol parlementer, memiliki peran krusial dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, terutama dalam konteks pemilihan umum. 

Namun, urgensi diadakannya Hak Angket terkait isu kecurangan Pemilu, khususnya Pilpres 2024, memunculkan berbagai pertanyaan terkait motivasi dan dampaknya terhadap stabilitas politik dan demokrasi.

Adanya Hak Angket terkait isu kecurangan Pilpres 2024 memang penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan umum. 

Kecurangan dalam pemilihan umum adalah ancaman serius terhadap legitimasi pemerintahan yang terpilih dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk mengungkap dan menindak kecurangan tersebut penting untuk menjaga integritas sistem demokrasi.

Namun, perlu diwaspadai bahwa Hak Angket juga dapat memiliki tendensi dendam politik, terutama jika dilakukan sebagai respons terhadap kekalahan kandidat presiden atau sebagai alat untuk memperkuat posisi politik tertentu. 

Dalam konteks Pilpres 2024, ada potensi bahwa upaya Hak Angket dapat dimotivasi oleh kepentingan politik sempit, seperti memperburuk citra lawan politik atau memanfaatkan momentum politik untuk mengganggu stabilitas pemerintahan.

Sumber: Liputan6.com
Sumber: Liputan6.com

Dalam konteks Pilpres 2024, penggunaan Hak Angket sangat potensial digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan partikular. Parlemen yang dikuasai oleh partai-partai oposisi bisa saja memanfaatkan Hak Angket untuk mengganggu stabilitas pemerintahan yang sah, terus mendorong timbulnya ketidakpastian politik dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi.

Lebih lanjut, kemungkinan adanya tendensi dendam politik dalam pelaksanaan Hak Angket terkait kecurangan Pilpres juga tersirat dari kegigihan para pendukung capres yang kalah dalam memaksakan kehendaknya untuk mendiskreditkan capres pemenang, penyelenggara pemilu, dan pemerintah. 

Jika Hak Angket digunakan sebagai alat untuk menyerang pemerintah yang saat ini berkuasa, termasuk partai politik pendukungnya, maka hal tersebut dapat memicu reaksi balik dan menghasilkan polarisasi politik yang lebih dalam.

Dalam konteks tersebut, Hak Angket terkait isu kecurangan pemilu dan pilpres harus dilakukan secara transparan, terbuka, dialogis, dan berlandaskan bukti yang kuat. 

Untuk menghindari kecurigaan bahwa Hak Angket hanya didorong oleh agenda politik tertentu, maka partisipasi aktif masyarakat sipil dan pengawasan yang ketat dari berbagai pihak juga sangat diperlukan, untuk memastikan bahwa Hak Angket digunakan sesuai dengan tujuan aslinya yakni menjaga integritas demokrasi.

Dengan demikian, urgensi diadakannya Hak Angket terkait isu kecurangan Pemilu, terutama Pilpres 2024, harus dilihat sebagai langkah yang diambil untuk memperkuat pondasi demokrasi Indonesia. 

Namun, perlu diwaspadai potensi dampak negatif, seperti tendensi dendam politik dan polarisasi politik yang lebih dalam. Oleh karena itu, prosesnya harus dijalankan secara hati-hati dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis yang mendasar.

Politisasi Hasil Pilpres 2024

Indonesia, sebagai negara demokratis, telah menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam proses pemilihan umum dan pemilihan presiden. Namun, politisasi hasil Pilpres dapat menjadi ancaman serius terhadap legitimasi dan stabilitas pemerintah yang terpilih secara sah selama 5 tahun ke depan.

Politisasi hasil Pilpres 2024 merujuk pada proses di mana hasil pilpres dimanfaatkan secara politis untuk kepentingan tertentu, oleh pihak yang kalah dalam pemilihan tersebut, atau oleh kelompok-kelompok politik tertentu. 

Politisasi ini dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti menolak hasil pemilihan yang sah dengan menuduh adanya kecurangan tanpa bukti yang memadai, menggunakan media atau platform politik untuk mempertanyakan atau menggugat validitas hasil, hingga menciptakan ketegangan politik yang berkepanjangan dengan tujuan merongrong legitimasi pemerintahan yang terpilih.

Dalam konteks Pilpres 2024, politisasi hasilnya dapat terjadi jika kandidat yang kalah atau kelompok politik yang mendukungnya tidak mau menerima kekalahan dengan cara mencari dukungan publik sambil menyebarkan narasi bahwa proses pemilihan tersebut tidak adil atau terdapat kecurangan sistematis yang menguntungkan pihak lawan.

Sumber: Tempo.co
Sumber: Tempo.co

Hasil Pilpres yang dipolitisasi, baik melalui tuduhan kecurangan yang tidak berdasar atau penolakan hasil yang sah, sudah pasti membuat legitimasi pemerintahan yang terpilih secara sah dipertanyakan. 

Kandidat yang kalah kemudian menggunakan kekuatan politik mereka untuk meragukan validitas proses pemilihan. Polarisasi politik pun meningkat secara signifikan sehingga akan memicu ketegangan sosial dan politik. Hal ini dapat menghasilkan ketidakstabilan politik yang berkelanjutan dan mempersulit pemerintahan yang terpilih untuk melaksanakan program-programnya.

Situasi politik yang tercipta dari politisasi tersebut adalah pemerintahan yang terpilih harus menghadapi oposisi yang kuat dan bermusuhan yang menghambat proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan kebijakan, menghambat pertumbuhan ekonomi, serta mengganggu ketenteraman sosial. 

Pada akhirnya, politisasi hasil Pilpres 2024 membawa dampak negatif pada stabilitas politik dan sosial negara, mengingat Indonesia merupakan negara yang kompleks dengan beragam kepentingan sosial dan politik.

Respons yang Tegas

Ancaman terhadap legitimasi dan stabilitas pemerintahan selama lima tahun ke depan akibat politisasi hasil Pilpres 2024 membutuhkan respons yang tegas. 

Pertama-tama, perlu adanya komitmen dari semua pihak yang berpartisipasi dalam pemilihan untuk menghormati hasil yang sah dan menyelesaikan perselisihan secara damai dan konstitusional.

Dari aspek politis, DPR harus menggunakan Hak Angket dengan bijaksana dan bertanggung jawab, agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik sesaat yang sempit wawasannya. Pengawasan masyarakat sipil yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa Hak Angket digunakan sesuai dengan tujuan aslinya.

Partai politik sebagai elemen utama dari DPR juga harus bijak dalam menempatkan Hak Angket di tengah isu kecurangan pemilu. Jangan sampai untuk kepentingan sesaat Hak Angket disalahgunakan untuk memeriksa pemerintah dalam rangka memengaruhi hasil pemilu.

Penting diketahui bahwa partai politik bisa menginisisasi Hak Angket DPR dalam rangka menyelidiki kinerja pemerintah atau lembaga negara terkait dengan kebijakan dan wewenangnya dalam mengatur penyelenggaraan pemilu. 

Partai politik harus merespons urgensi Hak Angket ini sebagai upaya untuk menegakkan prinsip demokrasi yang sudah dicederai oleh penyelenggaraan pemilu yang diduga mengandung kecurangan.

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com

Untuk calon presiden yang berpartisipasi dalam Pemilu dan Pilpres 2024 harus berkomitmen untuk menghormati hasil pemilihan dan menyelesaikan perselisihan secara konstitusional. Ketika seorang capres menghadapi kekalahan, dia harus bersikap sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadinya. 

Dia harus dewasa dalam berpolitik dengan menerima hasil pilpres secara lapang dada, dalam rangka membangun kedamaian dan stabilitas politik pasca-pemilihan. Dengan mengakui kemenangan lawan tanpa meragukan integritas proses pemilihan, capres yang kalah menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam menghadapi polemik Hak Angket pun capres  yang kalah harus menunjukkan sikap yang tenang dan bijaksana. Alih-alih terlibat dalam retorika politik yang memicu konflik atau merongrong legitimasi pemerintahan yang terpilih, seorang negarawan justru selalu berupaya untuk menjaga kedamaian dan memperkuat pondasi demokrasi.

Semua kandidat perlu menunjukkan kepatuhan terhadap aturan main demokrasi dengan menghormati keputusan KPU dan Mahkamah Konstitusi yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan penyelesaian sengketa pemilihan. 

Capres yang kalah bisa berpartisipasi dalam mekanisme hukum yang ada untuk menyelesaikan perselisihan sebagai tindakan yang menunjukkan komitmen terhadap supremasi hukum dan stabilitas institusi.

Segera Bangun Rekonsiliasi

Sumber: Mediaindonesia.com
Sumber: Mediaindonesia.com

Dalam menghadapi tantangan kompleks dalam isu Hak Angket dan politisasi hasil Pilpres 2024 ini, penting bagi kita untuk memilih jalan yang membawa kita menuju rekonsiliasi dan kesepakatan yang inklusif. 

Mari bersatu kembali dalam semangat rekonsiliasi dengan mengedepankan dialog yang terbuka dan konstruktif untuk menyelesaikan perselisihan politik. Melalui kesepakatan yang inklusif kita ciptakan ruang untuk membangun konsensus yang memperkuat pondasi demokrasi dan memajukan kepentingan bersama.

Mari tinggalkan dendam dan polarisasi untuk maju bersama sebagai satu bangsa, Indonesia yang kuat dan bersatu. 

Dengan menggenggam tangan satu sama lain, kita bisa melewati perbedaan-perbedaan politik demi satu visi bersama untuk masa depan yang lebih cerah. Hanya dengan penyelesaian politik yang rekonsiliatif kita bisa menjalin kerja sama yang erat dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Emas.

Depok, 28 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun