Pawai musim gugur mengakhiri Sommer yang menggerahkan,
menghadirkan ketukan semilir angin yang menggetarkan,
pintu Ramadhan terbuka pada isyarat yang menawan,
mengetuk kalbu segenap perindu Ramadhan,
justru menggelisahkan pencinta semu Ramadhan.
Atas pecinta semu Ramadhan,
nyatanya sapaan Herbst tak selamanya menentramkan,
kesejukan tidak linear dengan datangnya kesyahduan,
angin lembutnya terlampau mengerlipkan mata.
Hingga semuanya tidak jelas berarti,
apakah sudah Ramadhan,
masih Syaban,
atau jangan-jangan,
keburu lebaran?
Entah apa yang selalu menyurutkan kedua mata
jika tidak sekental bumbu Ramadhan di bumi kelahiran,
atau tanpa kehangatan manusia-manusia tersayang,
selalu saja Ramadhan didekap atas paradigma
alpa kesyahduan,
miskin kesungguh-sungguhan.
Berbalik jauh dari sejatinya perindu Ramadhan,
selalu ada seungkap doa dan harapan
menguntai tali-tali kesabaran atas semesta nafsu kemanusiaan,
mengokohkan pondasi tahunan pada kerangkapan arsitektur keimanan.
Selalu saja bagi pecinta semu Ramadhan,
arti hadirnya di bumi orang
tidak pernah sesyahdu di kampung halaman.
berkesan terlalu biasa
sampai-sampai Ramadhan enggan datang,
kemudian keburu menghilang
sebiasa sebelum Syaban atau setelah lebaran
lantas, di mana Ramadhan?
Kesenduan awal pekan
sesekali disulap jadi akhir minggu yang berkesan
spagheti dan indomie mendadak jadi sajian nasi kari hingga sup turki,
mujahid ilmu berwisata kuliner dari hidangan palestina, maroko, pakistan,
ataupun undangan panggilan makan,
lantas dibarengi dengan jamaah qiyam malam.
Di tangan perindu Ramadhan,
sejatinya kebersamaan disekat atas keterbatasan,
disetarai pada kesyukuran dan kehusyukan,
diselaraskan panjat doa dan pengharapan,
karena cinta adalah hakikat diri dengan Tuhan.
Di balik sandiwara pecinta semu Ramadhan,
sinema kebersamaan tak senada pada kekhusyukan
terlupa esensi ketentraman dan kesederhanaan
Ramadhan sebatas majelis-majelis perbukaan,
dan baris-baris panjang shaf kelelahan.
Lantas akhirnya,
pada birama takbir kemenangan,
ketika tangis haru bergumul pada rindu,
Ramadhan membumbung ke peraduan,
terbekas secuil haus dan kelaparan,
tersisa hanya selembar kartu ucapan,
terpampang sepenggal jargon dan ikon kemenangan.
Ramadhan lewat begitu saja, tanpa tinggal pesan
terlebih untuk berpamitan.
Karena bisa jadi
belum Ramadhan sudah lebaran.
Darmstadt, 27 Ramadhan 1428