Oleh Sultan Haidar Shamlan
Simin tidak sanggup lagi bertahan hidup di Iran. Wanita muda ini sudah mempersiapkan tiket terbang dan visa keluar; untuk dirinya, suaminya dan putrinya. Ia tidak rela masa depan putri semata wayangnya terkukung di negara konservativ ini. Tapi suaminya, Nader, menolak.Dia tidak ingin meninggalkan ayahnya yang menderita Alzheimer sendirian. Simin tidak terima. Ia minta cerai!
[caption id="" align="alignright" width="250" caption="A Separation "][/caption]
Sebelum keduanya bercerai di depan pengadilan. Simin ditanya hakim: "Apa salah suamimu, sampai kau meminta cerai?" Sirin terngungu kaku. Dipandang dalam suaminya. Ia menjawab seadanya: "Nader, sebenarnya laki-laki yang baik. Sangat baik, bahkan. Hanya saja, dia lebih mencintai ayahnya yang renta, dan untuk itu, kami harus bertahan hidup di Iran." Jawaban Simin, bagi sang hakim, tidak cukup kuat untuk bercerai di depan pengadilan. Keduanya diminta pulang. Simin kecewa.
Masih tidakterima. Sampai di rumah Simin mengemas kopernya. Ia memilih berpisah sementara. Di hadapan Simin, Nader tidak sedikitpun menunjukkan perasan kecewa, atau menahan kepergiannya. Yang menyakitkan, Temeh, putri tercintanya ternyata memilih tinggal bersama ayahnya. Di mobil, dalam perjalanan ke rumah ibunya, Simin menangis panjang di belakang kacamata hitamnya.
Tidak hanya menyakitkan, perpisahan memang pilihan yang melelahkan. Seperti hari-hari Simin yang tidak tentu arah, kehidupan Nader juga semakin tidak karuan. Untuk mengurus ayahnya, Nader terpaksa membayar Razieh, wanita miskin, berhijab panjang dan religius, dari pinggiran kota Teheran.
Berbeda dengan Simin yang memilih mengakhiri rumah tangganya. Meski sudah diambang kehancuran, Razieh justru mati-matian berjuang mempertahankan bahtera rumah tangganya. Suaminya, selain pengangguran, juga dililit hutang. Hari-harinya adalah perjuangan, bersembunyi dan berkejar-kejaran dengan penagih hutang.
Di Iran, tanpa izin sang suami, seorang istri tidak boleh bekerja di luar rumahnya. Tetapi Razieh tidak punya banyak pilihan. Baginya, bayang-bayang kematian suaminya yang tidak mampu membayar hutang jauh lebih menakutkan daripada „sekadar“ bayang-bayang penjara untuk dirinya, yang telah lancang bekerja di luar aturan.
Karenanya, apa lacur. Di luar sepengetahuan suaminya, setiap hari sehabis menjemput putri kecilnya yang berumur lima tahun dari sekolahan, ia mengurus laki-laki tua yang nyaris kehilangan kewarasan.
Dan naasnya, demi mendapatkan pekerjaan ini, di hadapan Nader, majikannya, Razieh tidak mengungkapkan keadaannya yang sedang hamil empat bulan.
Untuk pilihan ini, Razieh tidak tenang, dihantui penuh kebimbangan. Ia merasa telah menerobos banyak larangan. Termasuk keragu-raguannya, apakah agamanya mengizinkannya, mengganti celana seorang lelaki tua yang basah dengan najis dan memandikannya?
Ketegangan terjadi, ketika Nader pulang kerja dan menemukan ayahnya terikat di tempat tidur, sendirian, dan nyaris kehilangan nyawa.Nader murka, merasa diperdaya dan bertanya-tanya: di mana Razieh?
Tidak berselang lama. Razieh bersama putrinya, yang terpaksa pergi diam-diam untuk memeriksa kondisi kandungannya, datang. Razieh tidak mampu menjawab jujur ke mana ia pergi. Ia hanya mampu menjelaskan, mengapa ia perlu mengikat lelaki tua itu. Keduanya bertarung panjang. Sampai Nader mengusir Razieh dan mendorongnya keluar dari rumahnya: ia jatuh dari tangga - dan kehilangan janin-nya.
Kematian Janin itu membawa Nader dan Razieh ke pengadilan. Proses pencarian kebenaran yang tidak mudah dimulai. Apakah Nader sebelumnya tahu bahwa Razieh hamil? Mengapa Razieh pergi meninggalkan ayah Nader sendirian? Apakah kecelakaan itu penyebab terjadinya keguguran? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Film ini penuh dengan kegelisahan dan ketidak-pastian. Sebagai penonton, kita diminta untuk terus menerka.Masing-masing tokoh, dengan kompleksitas mereka, memiliki versi kebenaran yang berbeda. Dan masing-masing begitu meyakinkan: memberikan banyak jawaban, sederet pernyataan, sampai kepada sumpah Qur'an.
Sebagai penulis cerita „Nader and Sirin: a Separation“, sekaligus sutradara film kredibel ini,AsgharFarhadi memang kejam. Ia benar-benar tidak memberikan penonton bantuan. Ia begitu piawai mempermainkan perasaan.
A Separation adalah sebuah film menengangkan dan melelahkan. Dari menit pertama sampai menit 123, emosi dan nalar kita terus diminta bekerja keras. Setiap detailnya begitu penting dan sarat dengan kehidupan nyata. Mungkin, karena alasan inilah, Festival Film "Berlinale" 2011 dan banyak Internasional Film Festival lainnya menganugerahkan film ini dengan predikat „film terbaik 2011“.
Sebagai penonton awam, pertanyaan "penting" kita, tentunya: bagaimana Asghar Farhadi menutup film ini? Atau sekadar rasa penasaran yang sederhana: Mampukah perceraian ditutup dengan sebuah happy ending? ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI