5 Tahun menahan penerbitan (2009-2013)
Tapi buku itu mangkrak selama 5 tahun. Hati saya penuh dilema. Saya menyadari bahwa itu naskah yang sangat peka. Saya tidak boleh gegabah dalam menerbitkannya. Sabar dan sabar. Akhirnya, naskahnya hanya tersimpan di komputer. Selama itu saya berharap mendapatkan momentum yang tepat untuk menerbitkannya.
Sambil menunggu, ada beberapa sahabat yang minta salinan Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 itu dan saya berikan secara cuma-cuma dengan sebuah janji hanya untuk kepentingan pribadinya saja. Sebab saya sedang mengusahakan penerbitannya. Tapi rupanya di tahun ke-3 ada yang mengunggah foto sampulnya di fesbuk, sedang di tahun ke-4 dan ke-5 kitab itu pun beredar di internet. Peredarannya kencang saat bulan Ramadhan, bulan yang peka, di mana Muhammadiyah dan NU tampak beda, khususnya saat penentuan hilal, dan bab rakaat Tarawih.
Melihat itu saya merenung. Dilema di hati sedikit mencair seiring munculnya orang-orang pemberani yang mengunggah kebenaran sebuah kitab di internet. Saya pun merasa dapat teman.
Dan saat menjelang bulan Ramadhan 2013, saya mengadukan dilema pribadi saya kepada beberapa kiai Yogyakarta. Soal buku Muhammadiyah itu. Sebab saya memang khawatir saat itu mengingat bisa saja ada orang jahat yang mau menggunakan Kitab Muhammadiyah 1924 yang edar di internet untuk tujuan yang tidak baik alias perpecahan.
Kiai Thoha Abdurrahman, Ketua MUI DIY, yang telah saya kenal sejak 1995 di kampus UIN Sunan Kalijaga, berkata: Terbitkan demi mempersatukan umat.
Bahkan beliau bertindak lebih jauh. Beliau menghendaki naskah asli saya untuk diusahakan penerbitannya oleh MUI DIY bersama Muhammadiyah. Saya tidak segera menyanggupi. Sebab naskah itu perlu perbaikan dengan suasana sekarang. Tapi salinan naskah cetakan awal sudah saya berikan beliau dengan catatan itu banyak kesalahan sehingga belum layak terbit. Memang saya belum melakukan perbaikan tahap akhir.
Nah, di tengah itu, saya juga sampaikan imel kepada 4 penerbit besar. Memancing komentar mereka. Setidaknya ada saran dan kritik mereka. Dan malamnya saya imel maka besoknya saya ditelepon. Tapi ini lebih dari dugaan saya. Suara di telepon itu bilang, "Kami berani menerbitkannya. Sekarang Pak Ali berani atau tidak?"
Penerbit pasti telah menghitung risiko. Saya tidak mau kelihatan takut. Saya pun bilang, "berani."
Setelah itu saya ditelepon berkali-kali, "tolong jangan berpaling ke lain hati." Mereka berusaha agar tidak diambil penerbit lain. Tapi saya tidak segera mengirimkan naskah. Saya harus pastikan semuanya. Naskah asli, terjemahan, analisis, semuanya harus benar dan baik. Jadi nanti penyunting naskah di penerbit sana tidak perlu kerja berat. Sebab saya pun pengalaman di penerbitan selama 11 tahun. Dan naskah ini menyangkut dokumen kuno keagamaan jadi harus secermat mungkin.
Mereka akhirnya mengirimkan Surat Perjanjian Penerbitan ke rumah untuk tanda tangan kontrak. Tanpa ulur waktu saya langsung menandatanganinya dan mengirimkannya. Walaupun naskah belum berani saya kirim. Dan siang malam saya terus memperbaikinya.
Mengunjungi Tokoh Muhammadiyah
Makin hari makin sempurna, hingga suatu ketika pengerjaan naskah itu saya anggap selesai dan siap cetak. Tapi ada yang mengganjal di hati. Sebelum saya kirim ke penerbit, saya merasa perlu untuk mengunjungi tokoh-tokoh Muhammadiyah. Saya berharap dengan itu ganjalan di hati akan hilang.
Walaupun sebenarnya sejak tahun 2010 saya sudah bilang ke beberapa teman Muhammadiyah tentang proses penulisan Kitab Muhammadiyah itu. Teman Muhammadiyah saya sangat banyak, baik di kampus, di tempat kerja, maupun di kampung. Saya minta mereka tidak mengubah sikap pertemanan kepada saya setelah buku terbit. Dan mereka kelak mendukung dan meminjamkan buku-buku sumber. Mereka pun kelak membeli buku Muhammadiyah itu NU! dengan jumlah banyak.
Namun sejujurnya sebagian di antara mereka kecewa. Itu disampaikan kepada saya dan saya terima dengan beberapa penjelasan yang tidak mengenai hati. Kita berada dalam dilema yang sama. Tapi saya telah ambil keputusan atas sepengetahuan mereka. Saya tidak curi-curi. Itulah yang membuat mereka maklum.
Sekali lagi saya tidak mau curi-curi. Itulah ganjalan hati yang hendak saya hilangkan dengan menemui beberapa tokoh Muhammadiyah. Saya mau minta izin mereka. Setidaknya izin secara lisan. Atau kalau tidak ya izin dari hati ke hati. Bahkan lebih jauh, minta kata pengantar dan atau endosemen buku.
Berangkatlah saya bersama teman atau kadang sendirian. Saya kunjungi beliau-beliau yang sudah saya kenal lama. Saya tidak merasa asing dengan beliau sebab saya merasa dekat dengan Muhammadiyah, dan sering mengikuti kegiatan Muhammadiyah. Saya telepon untuk bikin janji bertemu. Satu dua hari menunggu hingga sepekan dua pekan untuk satu orang tokoh saja.
Ada seorang tokoh yang bilang, kamu tidak perlu minta izin. Asal tulisan kamu itu benar dan ada dasarnya, buat apa minta izin? Beliau terus menasihati. Apa kamu rela tidak menerbitkan karyamu itu apabila mereka tidak kasih izin? Langsung saya jawab rela. Beliau jengah dan bilang, kalau kamu penulis profesional, walaupun karyamu dilarang, tapi kamu yakin benar, maka kau akan dobrak larangan itu. Jangan takut.
Oh rupanya kami salah paham. Ini bukan soal takut atau tidak, tapi ini soal sopan santun ala santri. Dan saya menganggap Muhammadiyah adalah organisasi pesantren modern yang telah berkembang sangat jauh.
Waktu itu saya memberikan naskah yang judulnya sudah saya ubah menjadi Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa. Saya harap beliau berkenan memberikan kata pengantar atau setidaknya endosemen.
Tapi perjumpaan itu membuat perubahan. Apa yang dikatakannya jujur dan benar adanya. Saya pun makin ringan dalam menemui tokoh-tokoh lainnya.
Lain hari kami berhasil menemui tokoh senior lainnya. Beliau saya berikan naskah yang judulnya saya ubah menjadi Tarih Tasyri' Muhammadiyah (Sejarah Fiqih Muhammadiyah). Saya sampaikan permohonan kata pengantar. Tapi sayang beliau kurang sehat, hingga sore itu terasa tidak nyaman, dan besoknya beliau harus dirawat di rumah sakit. Ketika ada kabar beliau telah sehat, saya berkunjung lagi, namun hasilnya seperti dugaan awal. Beliau tampak tidak nyaman dari semula. Kata pengantar maupun endosemen nihil.
Sangat banyak hikmah dari kunjungan-kunjungan itu. Kami diskusi setidaknya sejam. Dan tampak jelas raut muka yang bijaksana. Lalu buku pra-cetak milik saya yang berjudul Fiqih Muhammadiyah dari Masa ke Masa, dan Tarih Tasri' Muhammadiyah, berpindah tangan ke meja tamu beliau-beliau, dan dibaca tamu-tamu dan murid-murid beliau dari seluruh pelosok tanah air.
Kunjungan saya terus berlangsung hingga berhasil menemui tujuh orang yang saya anggap sebagai tokoh Muhammadiyah. Kesemuanya saya berikan buku pra-cetak. Badan ini capek tapi sehat. Betapa tidak, tanggapan mereka macam-macam. Ada yang langsung menolak, dan memindahkan ke orang lain yang jabatannya di Muhammadiyah lebih tepat.
Tak lupa, buku pra-cetak itu juga masuk ke redaksi Suara Muhammadiyah. Di sana saya sempat berbincang beberapa hal.
Nah, dari 7 orang tokoh itu, saya hanya mendapatkan 2 buah endosemen. Sebenarnya ada yang mau memberikan lebih dari endosemen, dengan memberikan kata pengantar, tapi tidak jadi sebab sedikitnya waktu.
Bahkan ada sahabat Muhammadiyah yang berkenan memberikan kata pengantar mewakili organisasi Muhammadiyah tingkat daerah! Namun usaha itu tampaknya tidak mudah, sebab harus melalui rapat-rapat yang peka.
Suara Dari Dalam
Sebenarnya apa untungnya blusukan mengunjungi tokoh-tokoh itu? Bagi saya blusukan silaturahmi itu penting. Saya mau buku Muhammadiyah itu NU! Bisa diterima sebagai suara dari dalam, bukan pukulan dari luar. Itulah intinya. Bahwa buku itu adalah surat cinta saya. Sebab saya cinta Muhammadiyah, dan makin banyak kata Muhammadiyah yang saya tulis maka semakin mengkristallah rasa cinta saya.
Saya tidak mau buku itu menjadi pukulan dari luar. Saya ingin diterima sebagai orang dalam. Saya merasa akrab. Buku saya memang peka dan siapa pun orang dalam akan merasa segan dan khawatir jika menuliskannya. Terjadi kejumudan berpikir. Unek-unek yang terpendam pun dijadikan curhat. Tapi sungguh saya tidak mau terjebak pada prasangka akan adanya orang dalam yang mau menggelapkan kitab itu. Tidak.
Walaupun kenyataan sejarah lama Muhammadiyah itu begitu beda dari sekarang, dan mungkin terasa pahit mendapati kenyataan itu, tapi saya yakin teman-teman di Muhammadiyah tidak akan mengingkarinya.
Betapapun pahit buku itu, selagi itu menjadi jamu, pastilah akan menyehatkan. Seperti kata seorang teman, Muhammadiyah sekarang ini seolah mengalami kemandekan pemikiran. Ide-idenya jumud. Nah, mungkin buku yang kelak berjudul Muhammadiyah itu NU! Itu bisa menjadi jamu pahit yang bisa menyegarkan dan memutar kembali roda-roda pemikiran Muhammadiyah.
Itu pula niat baik saya di awal-awal. Menjadikan usaha penulisan dokumen kuno Muhammadiyah itu sebagai sebuah amal yang berguna bagi penyadaran dan persatuan umat. Dan tidak sedikit pun tebersit niat jahat untuk merusak.
Bukti dari niat baik itu sangat jelas. Sebelum terbit saya sudah blusukan ke sana ke mari mengunjungi tokoh-tokoh Muhammadiyah. Memberi mereka buku pra-cetak yang mestinya merupakan rahasia dapur.
Dan saya juga mengunjungi sangat banyak teman, baik dari Muhammadiyah dan NU untuk menjelaskan buku tersebut.
Hal penting lain. Seandainya saya punya niat jahat, kemungkinan buku itu sudah terbit sejak lama, yaitu 4 atau 5 tahun lalu, setelah saya selesaikan penulisan, penerjemahan, dan uraiannya. Dan tidak harus menunggu sekian lama sampai ada orang yang mengunggahnya ke internet.
Benturan Dengan NU
Itulah yang saya khawatirkan. Jangan sampai ada benturan antara Muhammadiyah dan NU! Suasana damai yang telah terbangun di antara keduanya harus tetap dipertahankan. Sisa-sisa persaingan bahkan permusuhan yang telah lama ada jangan sampai terulang. Walaupun semangat ke-NU-an kini (2014) meninggi seiring banyaknya pos-pos jabatan di pemerintahan yang dipegang oleh kaum Nahdliyin, tapi janganlah itu memunculkan trauma lama. Jangan sampai itu diartikan sebagai balasan atas kejatuhan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, yang merupakan mantan ketua PBNU, oleh gerakan pemakzulan yang ditokohi oleh Prof. Dr. H.M. Amien Rais, yang merupakan mantan ketua PP Muhammadiyah.
Tidak bisa dielakkan memang, sentimen itu masih ada. Tapi saya telah mengikisnya sebegitu rupa di buku yang dulu masih berjudul Fiqih Muhammadiyah 1924 dan perubahannya di masa kini.
Bahkan, di buku itu sama sekali tidak ada kata NU di dalamnya. Tidak ada istilah NU. Tidak ada nama Nahdlatul Ulama. Dan tidak pula ajaran-ajarannya.
Semuanya murni Muhammadiyah. Semua bersumber dari buku-buku kepustakaan Muhammadiyah. Jadi seandainya nanti pembaca menangkap adanya perbedaan antara ajaran Muhammadiyah zaman dulu dan sekarang, maka mereka akan dengan mudah menyimpulkan bahwa itu bukanlah merupakan benturan dengan NU, bukan, melainkan semata-mata benturan antara ajaran Muhammadiyah lama dengan yang baru.
Seperti diketahui, pengurus Muhammadiyah diganti setiap tahun periode tertentu. Termasuk juga Majelis Tarjih. Dan tiap pengurus baru sering kali memiliki ajaran dan pemikiran yang berbeda daripada pendahulunya. Maka, di tiap persidangan mereka diadakanlah perubahan dan perkembangan sebagai bagian dari kegiatan organisasi.
Akan tetapi, naskah awal buku Fiqih Muhammadiyah 1924 dan perubahannya di masa kini yang sedemikian tawar dan tak ada aroma persinggungan dengan kelompok lain itu mungkin dipandang kurang layak pasar. Kalaupun diterbitkan ya hanya akan laku sedikit. Kira-kira begitu. Maka harus diberikan bumbu penyegar, termasuk garam dan cabe. Maka buku itu harus diperbarui dengan memasukkan nama NU.
Begitulah. Buku tersebut saya kerjakan lagi barang sebulan. Tiap hari mengerjakannya. Hal-hal yang peka harus dikemas dengan baik agar jangan terlalu pedas. Dan beberapa catatan penting yang mestinya bisa dimuat akhirnya harus dibuang agar tidak keasinan. Agar bukunya sesuai menu yang tepat yang bisa dicerna pembaca kebanyakan.
Setelah selesai saya kirim ke Jakarta. Proses terbit makan waktu beberapa bulan. Dan suatu ketika saya menelepon penerbit mau tahu perkembangannya. Ternyata sudah proses cetak. Hanya saja judulnya diubah. Tak tanggung-tanggung. Muhammadiyah sama dengan NU!
Sebuah judul yang membuat saya tertawa sambil merenung selama 2 hari. Saya bayangkan beban berat saat harus bedah buku nanti untuk mempertanggung-jawabkannya. Ah biarlah, yang penting terbit, batinku.
Nah sekian hari kemudian saya telepon lagi, mau tahu perkembangannya. Buku ternyata sudah jadi. Sebab mau mengejar Pameran Buku di Jakarta bulan Februari 2014. Alhamdulillah, batinku. Hanya saja saya dikabari sesuatu yang membuat saya terpana. Judulnya diubah. Kata saya iya kemarin juga sudah dikabari adanya perubahan judul itu. Tapi ternyata saya salah. Maksudnya judul itu diubah lagi, bukan Muhammadiyah sama dengan NU! Bukan itu, tapi diubah yang lain. Diubah apa? Muhammadiyah itu NU! Duerrr!! Rasanya seperti terkejut mau lompat. Dan selama 2 hari saya nyaris diam tak bicara. Hati terasa penuh. Dan sudah terbayang apa yang akan terjadi nanti di media sosial.
Kabar-kabar kepada siapa pun
Dengan adanya judul itu, maka saya segera kabar-kabar kepada orang-orang dekat yang saya kenal. Ya via fesbuk, sms, telepon, atau saya kunjungan silaturahmi. Saya kabarkan kalau buku yang saya tulis bertahun-tahun lalu itu judulnya berubah menjadi Muhammadiyah itu NU! Kita pun berdiskusi tentang dampak-dampaknya dan kita berusaha menghadapinya dengan baik.
Bahkan saya sampaikan di pertemuan RT, juga di jamaah pengajian rutin malam Jumuah. Intinya agar mereka tahu dan tidak salah paham terhadap saya. Jangan sampai mereka termakan fitnah yang pasti akan membanjir setelah buku itu sampai ke kota kami.
Kedamaian Muhammadiyah dan NU di kampung-kampung jangan terlukai oleh fitnah.
Alhamdulillah. Semua bisa menerima. Bahkan, mereka yang saya kabari itu hampir semuanya pesan buku itu ke saya.
Kelangkaan Buku
Setelah buku edar di internet dan di Jakarta, hape saya di-sms dan ditelepon banyak orang. Ada yang mendukung ada yang memaki. Dan sebagian memesan buku. Dan saya teruskan pesanan itu ke Jakarta, hingga beberapa pekan kemudian dikirim ke rumah.
Selama menunggu kiriman datang, saya rutin menelepon toko buku menanyakan buku tersebut sudah sampai atau belum ke kota Yogyakarta. Sebab beberapa pemesan sudah tidak sabar menunggu. Jawabannya: belum dan belum dan belum. Barang kosong. Hingga suatu ketika saya datang ke toko buku lainnya, ke Gramedia S, memeriksa daftar buku di komputer toko dan menemukan buku Muhammadiyah itu NU! dengan jumlah nol alias kosong. Saya tanyakan petugas toko apakah buku sudah datang? Jawabnya sudah tapi habis. Masya Allah kiriman buku sebanyak itu habis dalam bulan perdana!
Mereka pun memperlihatkan penjualan buku tersebut di toko-toko lain secara nasional dan hasilnya membuat saya terpana. Angka-angka itu bagus sekali. Bukunya laris. Bestseller!
Petugas Gramedia itu berkata, "Ini buku baru yang langsung laris, pak."
"Tapi di mana saya bisa mendapatkannya?" tanyaku. Saya tidak mengaku sebagai penulisnya.
Petugas itu mencarinya lewat komputer toko yang terhubung secara nasional. "Menurut data ada di Gramedia A."
Tanpa buang waktu saya ke sana, dan perkataan petugas di sana membingungkan, "iya di sini memang ada datanya, tapi barangnya tidak ada. Sudah laku, tapi tidak dicatat komputer."
Petugas penerbit bilang hal itu benar terjadi. Tapi buku tidak hilang, dan Gramedia sudah membayarnya.
Masalahnya, orang-orang yang pesan buku ke saya itu mau dikirim dari mana? Sahabat-sahabat saya harus tahu buku itu dan mereka menunggunya.
Alhamdulillah buku yang dinanti datang juga, walau jumlahnya hanya 1 dus, dan sangat tidak cukup. Buku itu lebih sedikit dari jumlah orang yang pesan. Daripada memunculkan rasa iri di antara mereka, maka penjualan kepada mereka saya tunda, tidak ada yang saya beri walaupun semuanya mau bayar tunai.
Kiriman buku itu saya bawa ke sebuah masjid yang ada pengajiannya dan langsung habis kurang dari 1 jam. Pembelinya adalah jamaah yang tidak tahu adanya buku itu, dan tidak berencana beli, namun seleranya mendadak muncul setelah ada seseorang yang telah mendengar sebelumnya dan beliau sangat senang saat menemukan buku itu sehingga semuanya ikut membeli. Bahkan yang kehabisan terpaksa pesan dalam jumlah banyak.
Pesanan pun makin banyak sebab hape saya ada di buku itu dan di internet. Sedang buku kosong. Maka di bulan Mei 2014 buku cetakan ke-2 edar, hanya 3 bulan setelah cetakan perdana terbit. Saya dapat jatah 1 mobil dan habis dalam 7 hari. Semuanya membayar tunai.
Masih banyak yang belum kebagian, tapi tetap saja buku itu langka. Susah sekali mencarinya di toko buku di mana saja. Buku seolah dihisap bumi. Itu laporan sahabat-sahabat saya dari berbagai kota. Mereka ingin sekali beli tapi selalu kosong. "Hanya ada daftarnya di komputer, tapi nggak ada barangnya," keluh mereka.
Malah ada yang menduga kalau-kalau buku itu sengaja dihapus dari pasar. Katanya ada kelompok pemilik uang yang tidak suka dengan edarnya buku yang mau mempersatukan Muhammadiyah dan NU. Mereka memborong buku untuk dibakar. Wallahu a'lam. Tapi penerbit sudah siap. Berapa pun yang diinginkan pasar akan dicetak. "Terserah mau dibakar atau mau disimpan, yang penting cetak terus," katanya.
Tapi kenyataannya buku tetap langka.
Beberapa sahabat yang curiga mengusulkan adanya penyelidikan. "Kita kerja sama dengan toko," usulnya. "Kita pasang CCTV biar tahu siapa pelakunya. Biar kita punya bukti."
Tapi bukankah itu terlampau jauh? Saya mengabaikan usul itu dan hanya menanyai petugas di beberapa toko buku, "apa benar buku ini diborong?" Jawab mereka beragam, "ada yang memborong, tapi ada juga yang beli satuan." Mereka pun memberikan data penjualan secara nasional, lalu berkata hal yang sama dengan petugas lain, "buku ini buku baru yang langsung laris, pak."
Sedangkan seorang petugas lapangan penerbit yang saya tanya hal yang sama menjawab, "saya pernah melihat orang yang membeli buku itu dalam jumlah banyak dari toko." Jawaban-jawaban itu cukup mengkhawatirkan, sebab banyak sahabat yang belum kebagian dan tengah menunggu.
Ketika saya mengeluhkan kelangkaan buku itu kepada petugas penerbit yang lain, beliau justru bertanya, "bagaimana sih pak caranya menulis buku yang bisa bestseller seperti itu?"
Petugas kantoran itu selalu memberi kabar baru, terutama ketersediaan buku, dan beliau tidak segan-segan menjual jatah toko buat saya, sampai saya pernah sangat malu ketika toko itu tahu jatahnya saya ambil. Itu terjadi ketika buku yang saya dapatkan dari beliau kurang hingga saya mencari kekurangannya di toko itu. Siapa tahu toko yang telah kehabisan buku sejak beberapa bulan itu telah diisi lagi dengan buku cetakan ke-2 sebagaimana yang saya dapatkan. Ternyata saya diminta pesan terlebih dulu karena stok toko saat itu kosong dan mereka hendak mengambil lagi. Saya merasakan sedikit kejanggalan kenapa harus pesan dulu. Tapi saya segera pesan sebab kita berlomba adu cepat untuk mendapatkan buku itu sebelum diborong oleh pihak-pihak tertentu.
Saya kira toko itu mau mengambil buku dari gudangnya atau dari beberapa cabangnya. Ternyata tidak. Mereka mau mengambil jatahnya dari penerbit. Dari kejadian ini baru saya ketahui kalau beliau yang bertugas di kantor perwakilan penerbit itu lebih mementingkan pesanan saya selaku penulisnya daripada pesanan toko.
Beliau pernah bilang, "buku bapak ini ampuh. Toko-toko rela pesan dengan bayar tunai setelah buku dikirim. Semuanya kontan. Tidak ada yang konsinyasi (titip jual) seperti buku-buku lainnya." Oh ternyata itu jawabannya kenapa toko itu meminta saya agar pesan lebih dulu.
Namun toko itu telanjur menelepon dan dijawab jujur oleh petugas penerbit yang lain kalau sudah dibeli penulisnya sendiri. Saya terkejut mendengar perkataan mereka, "buku yang mau kami pesan sudah dibeli oleh penulisnya sendiri." Saya malu sekali walaupun toko itu tidak tahu sayalah penulisnya. Dan sungguh baru sekali itulah saya mencoba memesan di toko yang diskonnya tentu sedikit dibanding beli di penerbitnya yang memberi diskon banyak buat penulisnya.
Sejak saat itu saya tidak melayani pesanan dari sahabat-sahabat. Lagi pula saat itu gudangnya memang sudah kehabisan. Toko buku ternama mulai dari Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, yang saya tanyai via imel umumnya mengaku kosong. Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, Yogyakarta, Semarang, sama saja.
Imel dari toko buku
Tapi penerbit tidak segera mencetak ulang untuk mengisi kekosongan pasar itu, dengan alasan di beberapa toko masih ada, terutama di luar DIY. Saya percaya, dan saya merasa tidak perlu melakukan blusukan langsung ke toko-toko di luar DIY untuk membuktikan itu. Memang dalam hati ingin sekali saya melihat buku Muhammadiyah itu NU! dipajang di rak-rak toko buku, dan menyaksikan ada orang yang membelinya. Pasti senang sekali jika seorang penulis punya foto bukunya saat dipajang di toko, setidaknya sebagai bukti kalau bukunya benar-benar pernah dijual langsung di toko itu.
Belakangan saya sesali kenapa blusukan itu tidak saya lakukan demi memastikan adanya buku di sana. Saya mencukupkan diri dengan kabar dari sahabat-sahabat luar kota, serta data penjualan nasional dari Gramedia dan toko buku berjejaring lain.
Saat saya sampaikan kabar dari beliau itu bahwa ada toko yang masih punya, adik saya yang mendapatkan pesanan buku dari seorang guru sangat girang dan segera mencarinya ke 20-an toko buku langganannya, mulai dari Gramedia, Toga Mas, Social Agency, hingga kios-kios buku di seluruh Yogyakarta. Hasilnya membuatnya kecewa. "Bensinku sampai habis, tetap nggak ketemu," keluhnya.
Ternyata toko yang masih punya itu toko di seluruh NKRI. Menyebar di beberapa pulau. Entah berapa jumlah buku yang mereka punya.
Sahabat-sahabat NU sama prihatin. Mereka tidak tega melihat saya terbebani dengan pesanannya. Mereka sendiri sudah kepanasan dengan uang jamaah yang sudah terkumpul di tangannya. Seperti yang telah lalu, begitu buku tersedia mereka langsung bayar dan buku langsung beredar. Tapi ini sudah berbulan-bulan buku kosong. Maka untuk lebih enak, saya minta agar mereka pesan langsung ke penerbit. Agar plong, dan bisa lebih meyakinkan jamaahnya. Saya sendiri sudah malu kalau harus maksa-maksa penerbit untuk menyediakan buku.
Eh, ternyata memang baru rezekinya. Penerbit menjanjikan menarik sisa buku yang dimaksudkan tadi. Seluruh pulau milik NKRI ditarik hingga menghasilkan buku 20 eksemplar. Hanya itu yang tersisa. Tentu saja itu harus menunggu lama, dan baru bulan ini (Desember 2014) tersedia. Dia tertawa dapat jatah 20 eksemplar. Katanya, "untuk obat hati tidak mengapa 20 buku." Lantas saya tanya, "Memang jamaahmu perlu berapa?" Jawabnya, "1.000 buku pun habis oleh jamaahku."
Buku Muhammadiyah itu NU! benar-benar langka hingga ada perorangan di internet yang menjualnya dengan harga 2x lipat. Harga banderolnya Rp 57.000,- lantas dijual Rp 75.000,- hingga 150.000,-", dan tidak semuanya itu buku baru.
Kita makin prihatin, hingga suatu ketika saya beranikan diri mengeluh di akun fesbuk saya: Mochammad Ali Shodiqin. Dengan disertai foto buku Muhammadiyah itu NU! saya menulis status bernada konyol, "mencari buku ini seperti mencari cinta yang hilang." Bukan kebiasaan saya mengeluhkan hal pribadi secara umum, dan baru itulah saya lakukan sebagai sebuah pesan lampu merah.
Ada seorang pecinta buku yang kemudian mengomentari, "buku masih ada di toko S". Maka tidak menunggu lama saya menelepon toko itu. Jawaban toko, "iya pak ini masih ada." Selang beberapa hari saya pun datang, tapi barang sudah keburu habis. Kata petugasnya, "kemarin dikirim 10 tapi sudah habis." Saya kecewa, "habis?" Dan mereka serempak membenarkan, "biasanya 5 hari saja langsung habis pak." Saya tanya, "kapan dikirim lagi?" Katanya, "pengirimannya tidak tentu pak."
Ternyata, di antara seluruh pulau milik NKRI, hanya di toko lokal itulah buku saya kadang-kadang nongol. Sungguh unik, entah dari mana sumber buku itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI