Mohon tunggu...
Sultan Alam Gilang Kusuma
Sultan Alam Gilang Kusuma Mohon Tunggu... Penulis - Founder Fodaru, Peneliti PostNet, IR Student

Social Network Analyst, Antropology Ethusiast, and Strategic Thinker

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN 12 Persen dan Sebungkus Roti O

18 Desember 2024   05:20 Diperbarui: 18 Desember 2024   04:49 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Sultan Alam Gilang Kusuma (Founder Fodaru, Peneliti PostNet)

Sebuah cuitan viral di media sosial tentang kenaikan harga Roti O menjadi potret nyata bagaimana kebijakan fiskal pemerintah berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Penerapan PPN 12% pada bahan-bahan pokok seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng - yang diperhalus dengan istilah "penyesuaian tarif PPN 1%" - telah memicu gelombang keresahan yang mengakar jauh lebih dalam dari sekadar persoalan sebungkus roti. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah kebijakan ekonomi makro menciptakan efek domino yang merambah hingga ke sudut-sudut warung kecil di gang-gang sempit kota.

Di balik angka 12% yang mungkin terlihat "kecil" bagi sebagian kalangan, tersembunyi realitas pahit yang harus ditelan para pelaku usaha kecil dan menengah. Bayangkan seorang pembuat roti yang harus menghadapi kenaikan harga di semua lini: tepung terigu untuk adonan, gula untuk pemanis, dan minyak untuk menggoreng. Setiap komponen biaya produksi yang membengkak ini akhirnya memaksa mereka mengambil keputusan sulit: menaikkan harga dan risiko kehilangan pelanggan, atau mempertahankan harga dengan mengorbankan kualitas dan margin keuntungan yang sudah tipis.

Dampak dari kebijakan ini bahkan lebih terasa di kalangan UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Dari pedagang gorengan di pinggir jalan hingga pemilik toko roti modern, semua menghadapi dilema yang sama. Ketika biaya produksi meningkat, mereka tidak bisa serta-merta menaikkan harga karena khawatir kehilangan pelanggan yang juga sedang berjuang dengan ekonominya sendiri. Situasi ini menciptakan tekanan ganda: dari sisi produksi dan dari sisi pasar.

Konsumen dari kelas menengah ke bawah menjadi pihak yang paling terdampak dalam situasi ini. Kenaikan harga bahan pokok memaksa mereka melakukan penyesuaian pola konsumsi, yang tidak jarang berujung pada penurunan kualitas asupan gizi keluarga. Ketika sebuah keluarga harus berpikir dua kali untuk membeli sepotong roti atau semangkuk mie, kita sedang berbicara tentang masalah yang lebih besar dari sekadar statistik ekonomi - kita berbicara tentang kesejahteraan dan martabat manusia.

Ironinya, kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan negara ini justru berpotensi menciptakan efek kontraproduktif dalam jangka panjang. Ketika daya beli masyarakat menurun, konsumsi berkurang, dan usaha-usaha kecil gulung tikar, pada akhirnya akan berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus: pendapatan menurun, konsumsi berkurang, produksi menurun, lapangan kerja menyempit, dan seterusnya.

Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan kebijakan yang lebih berimbang dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan PPN progresif yang membedakan skala usaha, memberikan insentif khusus bagi UMKM sektor pangan, dan memperkuat program jaring pengaman sosial. Reformasi struktural juga diperlukan untuk memperkuat rantai pasok domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor, sehingga harga bahan pokok bisa lebih stabil dan terjangkau.

Di tengah hiruk-pikuk perdebatan tentang kebijakan ekonomi, penting untuk selalu mengingat bahwa di balik angka-angka dan statistik, ada jutaan cerita tentang perjuangan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ketika sebungkus Roti O naik harga seribu rupiah, itu bukan sekadar masalah matematika sederhana - itu adalah cermin dari kompleksitas tantangan ekonomi yang dihadapi bangsa ini. Sudah saatnya kebijakan ekonomi tidak hanya berorientasi pada target-target makro, tetapi juga mempertimbangkan dampak riil pada kehidupan masyarakat kecil yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun