Apa itu PPN?
Menurut Kementerian Keuangan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. PPN juga tergolong sebagai pajak tidak langsung karena pembayaran atau pemungutan pajaknya disetorkan oleh pihak lain yang bukan penanggung pajak.Â
PPN merupakan instrumen fiskal yang memiliki peran strategis dalam menopang pendapatan negara, khususnya yang digunakan untuk membiayai pembangunan seperti infrastruktur, fasilitas publik, dan program lainnya. Oleh karena itu, kebijakan yang berhubungan dengan PPN selalu menjadi perbincangan karena dampaknya pada harga barang dan jasa dapat langsung memengaruhi daya beli masyarakat.Â
Kilas Balik Kebijakan Kenaikan PPN
Sebelumnya, kebijakan peningkatan tarif PPN hingga 12% telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 7 Ayat 1b tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Awalnya, tarif PPN dinaikkan dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022. Selanjutnya, tarif tersebut direncanakan akan meningkat lagi menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga di Indonesia menurun dari 5,05% (y-o-y) pada kuartal III 2023 menjadi 4,91% (y-o-y) pada kuartal III 2024. Selain itu, tingkat inflasi juga terus mengalami penurunan (deflasi) dari 3,0% pada bulan April hingga 1,84% pada bulan September 2024. Hal ini menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat secara berkelanjutan dan jika dibiarkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan akan terancam.
Reaksi Masyarakat
Perubahan tarif PPN seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh pemerintah memicu reaksi beragam dari berbagai lapisan masyarakat. Di satu sisi, perubahan ini ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka memperkuat anggaran. Akan tetapi, di sisi lain, perubahan ini juga menambah beban finansial kepada konsumen, khususnya kelompok dengan penghasilan menengah ke bawah yang cenderung lebih sensitif terhadap perubahan harga. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana PPN memengaruhi daya beli masyarakat secara holistik untuk dapat berargumen pada kebijakan pemerintah dan menilai dampaknya terhadap kesejahteraan sosial.
Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai PPN
Menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), barang dan jasa yang tidak dikenai PPN diantaranya adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya. Meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; Uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga; Jasa keagamaan; Jasa kesenian dan hiburan; Jasa perhotelan (sewa kamar/ruangan); Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; Jasa penyediaan tempat parkir; Jasa boga dan katering; Barang kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu tanpa tambahan gula, buah-buahan, sayur-sayuran).; dan lain-lain. Perlu dicatat bahwa sebagian barang dan jasa yang tidak dikenai PPN ini masih tetap menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah.
Dampak Kenaikan PPNÂ Terhadap Masyarakat
Dampak paling nyata dari penerapan PPN adalah kenaikan harga barang dan jasa. PPN menambah komponen biaya dalam struktur harga yang kemudian akan dibebankan oleh penjual kepada pembeli. Sebagai contoh, apabila tarif PPN saat ini adalah 11% maka barang yang dijual dengan harga Rp100.000 akan meningkat harganya menjadi Rp111.000 setelah dikenakan PPN. Hal ini berarti konsumen akan membayar tambahan Rp11.000 kepada negara.