Mohon tunggu...
Sultan Ali Zaman
Sultan Ali Zaman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tak pandai bicara, tak pandai menulis...hanya dapat mengolah rasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tauhid, Misi Transformasi para Nabi (Potret Makkah Pra-Islam dalam Perspektif Tauhid) (Bag.2)

14 Februari 2010   05:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:56 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menyambung tulisan saya pada Bag. 1 terdahulu ...

Sebagai sebuah referensi historis, diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT di tengah-tengah bangsa arab bukanlah semata-mata untuk merubah tatanan masyarakat Makkah yang untuk saat itu sudah dapat dikatakan maju. Dikatakan maju karena memang aktifitas sosial politik serta ekonomi masyarakat Makkah pra islam lebih maju jika dibandingkan dengan kota-kota di jazirah arab pada umumnya.

Letak geografis kota Makkah yang sangat strategis, yaitu sebagai jalur lalu lintas perdagangan dari Mesir ke Persia, atau dari Palestina ke Syam, tentu selalu ramai dikunjungi orang dari berbagai bangsa. Selain untuk sekedar transit, para pedagang dari berbagai penjuru jazirah arab tersebut juga dalam rangka mengunjungi Ka'bah, bangunan suci kuno berbentuk kubus yang terletak di pusat kota Makkah yang merupakan bangunan peninggalan Ibrahim. Sosok Ibrahim (dikenal sebagai bapak para nabi) yang eksistensi kenabiannya tidak saja diakui oleh orang-orang hanif (golongan yang masih committed terhadap ajaran Ibrahim) pada masa itu, juga diakui oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi ortodoks. Muhammad Hussein Haikal dalam bukunya; Hayyatu Muhammad, mengatakan bahwa Kota Makkah pra Islam selain sebagai pusat keuangan dan hunian yang paling berpengaruh di jazirah arab, adalah juga sebagai tujuan ziarah ke dua setelah Palestina. Dapat dibayangkan, hampir di setiap bulan-bulan yang disakralkan oleh tiga agama samawi, kota Makkah selalu disesaki oleh manusia-manusia dari seantero jazirah Arab, bahkan juga dari Persia dan Romawi.

Interaksi multidimensional yang terjadi antar bangsa tersebut secara tidak langsung berimplikasi terhadap lahirnya model dan bentuk pemerintahan Makkah yang lebih maju. Karen Armstrong dalam bukunya ; Muhammad sang Nabi, dalam mengomentari model dan bentuk pemerintahan Makkah pada masa itu lebih mencengangkan lagi, ia mengatakan bahwa Makkah pra Islam merupakan prototype pemerintahan modern masa kini. Penempatan orang-orang kompeten di setiap lini pemerintahan semakin memperkuat analisa para sejarawan dan oksidentalis terhadap model dan bentuk pemerintahan Makkah pra Islam yang sudah maju. Tengoklah, betapa tepat orang seperti Abdul Muthalib, sosok yang dianggap paling berwibawa dalam klan Hasyim (klan paling prestisius di suku Quraisy) dipercaya untuk memegang kunci pintu ka'bah. Betapa proporsionalnya sosok garang, cerdik nan strategik seperti Khalid Bin Walid dipercaya untuk memegang komando panglima angkatan bersejata. Betapa pasnya figur Abu Thalib yang fakih dan disegani dipercaya untuk memimpin komite kecil yang merefresentasikan seluruh suku di tanah Makkah (lebih tepatnya ketua DPR). Sekilas, keberadaan lini-lini pemerintahan lengkap dengan masing-masing leadernya persis sama dengan bentuk pemerintahan republik masa kini.

Terlepas dari kebiasaan buruk bangsa arab yang suka berperang sebagai konsekwensi ekspansif yang menjadi kegemarannya, namun analisa para sejarawan dan oksidentalis tentang bentuk dan model pemerintahan Makkah pra islam mencerminkan bahwa, kehidupan berorganisasi masyarakatnya jelas sudah terbentuk. Dari sisi aktifitas ekonomi, sebagai pangkalan tempat bersandarnya para pengusaha-pengusaha besar jazirah arab, sudah tentu kota Makkah menghasilkan devisa yang tidak sedikit jumlahnya. Aktifitas perdagangan lintas wilayah sudah memberikan kemakmuran bagi kehidupan masyarakat Makkah. Ini tergambar dari potret kehidupan ekonomi masyarakatnya yang mapan (Karen Armstrong mengilustrasikan kondisi seperti ini dengan menggambarkan kebiasaan buruk masyarakat Makkah pra islam yang gemar berjudi dan berfoya-foya). Jelas, dari sisi kehidupan politik dan ekonomi mereka terlihat mapan.

Namun demikian, kehidupan politik dan ekonomi kota makkah pra Islam yang sudah maju tersebut tidak lantas melahirkan sistem sosial yang baik. Ketimpangan sosial sebagai akibat dari konsekwensi kompetitif kerap melahirkan golongan minoritas yang tertindas secara sosial. Selain itu, suasana kondusif bagi terjaminnya kemerdekaan beragama lengkap dengan segala dimensinya seakan menjadi barang yang mahal. Ini pernah dialami oleh Waroqoh Bin Naufal, seorang yang masih hanif dengan ajaran nabi Isa yang menjadi korban social-protect masyarakat Makkah akibat khotbah-khotbahnya tentang kebenaran dan analisa futuristiknya tentang akan tibanya nabi akhir zaman seperti yang tertulis dalam kitab injil.

Kemerdekaan beragama menjadi sesuatu yang mahal. Para pembesar Makkah bahkan membuat satu perundangan yang mengharuskan masyarakatnya menaruh berhala al-lata, al-uzza dan al-manna di dalam rumahnya sebagai bentuk penghormatan dan refleksi sembah sujud mereka terhadap dewa dan dewi tersebut. Agitasi dan pengusiran menjadi ancaman serius bagi rakyat yang tidak menjalankan instruksi pembesar tersebut. Nasib sial ini dialami oleh Zaid Bin Amr, kritikus keras pemujaan berhala yang mati dibunuh oleh pasukan Brigade Pembela Hubal. (Sampai akhir hayatnya, Zaid tidak pernah berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW walaupun ia meyakini kebenaran akan ajarannya).

Ja'far Subhani, sejarawan Syi'ah dalam bukunya ; Ar-Risalah, mengemukakan bahwa pada dasarnya bangsa arab pra islam mempercayai bahwa Allah adalah Tuhan Agung mereka, sama halnya seperti Tuhan yang dipuja oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Namun penyembahan terhadap Tuhan Agung itu mereka visualisasikan dengan penghormatan dan pemujaan berlebihan terhadap Hubal, simbol pemersatu arab pra Islam. Ilustrasi Karen Armstrong dalam menggambarkan kepercayaan arab pra islam mungkin akan sedikit membantu kita memahami kondisi kepercayaan pada masa itu. Ia menggambarkan, kebiasaan bangsa arab di saat kritis secara instinktif berpaling ke Allah sebagai Tuhan yang Agung yang memiliki kekuatan untuk membantu mereka dalam bahaya dan masalah-masalah besar. Bila mereka berlayar atau ketika sedang berperang, mereka terus-menerus menyeru Allah sampai bahaya terlewati. Namun, bila mereka telah kembali ke daratan atau ke suasana aman mereka kembali memuja al-lata, al-uzza dan al-manna , dan tentu saja Hubal sebagai dewa tertinggi pemersatu mereka.

Sebagai simbol pemersatu bagi struktur sosial bangsa arab yang multisuku, tentu keberadaan Hubal sangat mewarnai sistem pemerintahan kota Makkah. Ia menempati ruang tersendiri bukan hanya dalam kehidupan politik saat itu, namun juga dalam kegiatan ritual. Nuansa sakral yang di-nisbat-kan kepadanya begitu kental, hingga masuk menyeruak di hampir seluruh sendi kehidupan.

Masih menurut Ja'far Subhani dalam mengomentari perikehidupan politik pembesar Makkah saat itu, pada dasarnya mereka sadar bahwa berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak dapat memberikan manfa'at apapun. Namun, untuk mempersatukan keragaman suku guna mempertahankan keutuhan jazirahnya dari ekspansi dua kekuatan besar saat itu, yakni Romawi dan Persia, mereka membutuhkan satu simbol pemersatu. Dan simbol itu tidak mereka temukan pada Tuhan Allah yang dipuja oleh orang Nasrani dan Yahudi, yang menurut mereka merupakan sumber perpecahan. Namun pada saat-saat tertentu, seperti ketika sedang musim haji dan berthawaf di hadapan ka'bah misalnya, terkadang merekapun menyeru Allah seperti yang diseru oleh orang Nasrani dan Yahudi.

Karena sebagai simbol pemersatu, doktrin nasionalisme kerap ditanamkan oleh para orang tua di kota Makkah terhadap generasi muda mereka. Jargon yang diusung untuk melanggengkan kepercayaan turun temurun itu adalah dengan mempertahankan eksistensi Hubal, sang pemersatu. Oleh karena itu, Hubal bukan saja menjadi faktor pemersatu tapi juga menjadi sumber inspirasi agama bagi bangsa arab pra islam. Ilustrasi Karen Armstrong cukup mengena untuk mempertahankan argumentasi historis ini, diceritakan bahwa begitu banyak putra-putri arab yang menunjukkan perlawanannya bagi siapa saja yang mengancam eksistensi hubal. Mereka sangat fanatik pada agama ayah-ayah mereka, dan mereka akan tidak tahan dan bereaksi keras jika mendengar setiap kata yang mengkritik atau melawan para dewa mereka. Mereka tidak merasa perlu ada perubahan. Hubal yang direduksi menjadi sebuah agama baku ; agama nenek moyang, cukup masuk akal dan merupakan fokus kesatuan dan agama bangsa arab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun