Mohon tunggu...
Sultan Ali Zaman
Sultan Ali Zaman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tak pandai bicara, tak pandai menulis...hanya dapat mengolah rasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tauhid ; Misi Transformasi Para Nabi (Potret Makkah pra-Islam dalam perspektif tauhid) (Bag. 1)

12 Februari 2010   14:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:57 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Para Nabi, dalam sejarah Islam selalu hadir di tengah-tengah lingkungan sosial masyarakatnya yang sedang menghadapi problematika kehidupan yang multidimensi. Realitas sosial seperti itulah yang mendorong mereka untuk bangkit menyeruak dan bergerak mengadakan sebuah perubahan fundamental yang signifikan.

Perubahan, ia bisa lahir dari kehendak secara internal, manakala terjadi kesenjangan yang sangat dalam antara orisinilitas ‘aqidah yang dimilikinya dengan realitas-empiris yang ada di hadapannya. Atau ia lahir karena adanya kehendak secara eksternal (tuntutan wahyu). Dua bentuk kehendak inilah yang memotivasi dan memompa ketidak berdayaan mereka di tengah-tengah hegemonial aktor-aktor hitam sejarah yang menjadi hadapannya.

Dalam mengejawantahkan visi perubahannya, mereka para nabi senantiasa menjadikan tauhid sebagai doktrin bagi transformasi total struktur sosial masyarakatnya, termasuk di dalamnya institusi pemerintahan dan sistem stratifikasi sosial. Konsepsi tauhid yang merefresentasikan kekuasaan Allah menjadi semacam sandaran bagi para nabi dalam memberikan gambaran yang komprehensif mengenai bagaimana hubungan transenden dengan Al-Kholiq, termasuk di dalamnya memahami kehendak-kehendakNya dalam teks-teks wahyuNya. Serta bagaimana agar pesan wahyu tersebut dapat menyentuh berbagai dimensi kehidupan sehingga terciptanya sebuah potret masyarakat ideal (dalam alqur’an disebut juga dengan baldatun thayyibah).

Visi tauhid, merupakan kata kunci yang tidak bisa terbantahkan dalam membentuk sebuah potret masyarakat ideal. Dalam merefleksikan visi tauhidnya, langkah awal yang dilakukan para nabi adalah mengadakan revolusi teologis. Revolusi ini mengartikulasikan substansinya melalui jargon Laa ilaaha illa Allah. Sebuah saluran artikulasi yang inheren yang didalamnya dua dimensi sekaligus tercakup, yaitu negasi (peniadaan) dan afirmasi (pengakuan). Semangat Laa ilaaha menegaskan seluruh objek sesembahan dan semua sasaran kultus selain Allah adalah Tuhan. Sementara semangat Illa Allah memberikan pengakuan mutlak bahwa Allah lah satu-satunya yang berhak menyandang predikat ‘Tuhan”.

Revolusi teologis yang berintikan semangat tauhid ini merupakan transformasi total, respon logis dan aktif terhadap fenomena yang tengah berkembang di tengah-tengah masyarakat yang kala itu tengah terbenam dalam spiritualitas yang sarat dengan budaya syirik (menduakan otoritas Allah).

Setelah sukses melakukan revolusi teologis, maka para nabi meneruskan misi tauhidnya dengan mengadakan revolusi sosiologis. Sasarannya adalah tingkat struktural dan kultural ummat dengan menjadikan tema-tema sosial seperti keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian, sebagai doktrin sandarannya. Sejalan dengan revolusi sosiologis ini, maka banyak kita jumpai di dalam alqur’an ayat-ayat yang mengusung pesan-pesan sosial.

Alqur’an sebagai wahyu Tuhan, di tangan para nabi seakan menjadi kamus sosial yang memberikan solusi bagi kebuntuan problematika kehidupan. Pesan-pesan sosial yang termaktub di dalam alqur’an, baik itu yang bersifat muhkamat atau mutasyabihat menjadi sedemikan hidup. Interpretasi nabi terhadap lembaran teks mati tersebut menjadi sesuatu yang dahsyat yang mampu mengalahkan argumentasi cemerlang para rival nabi dalam mencari bentuk dan model sosial masyarakat pada saat itu. Tidak berlebihan memang jika para nabi digelari sebagai manusia-manusia yang Fathonah (cerdas).

Perubahan sosial (Social Movement), dalam aktualisasinya memiliki empat bentuk (Anthony Gidden, 1988). Pertama ; Reformatif Movement, adalah bentuk perubahan yang hanya mengganti infra struktur pemerintahannya saja tanpa menyentuh dimensi sosial masyarakatnya. Model perubahan seperti ini adalah seperti yang terjadi di Negara kita pada 1998 lalu. Ke Dua ; Conservatif Movement , adalah perubahan untuk kembali ke bentuk dan model lama. Terkadang bentuk perubahan seperti ini juga disebut dengan Destructif Movement. Ke Tiga ; Reaktionary Movement, adalah perubahan yang hanya mengganti sebagian struktur pemerintahan saja. Ia tidak berimplikasi terhadap terjadinya perubahan sistem sosial masyarakatnya secara menyeluruh. Bentuk perubahan seperti ini persis seperti yang dilakukan oleh Fidel Castro dengan revolusi Kubanya, Saddam Husein, Qadafi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh politik kaliber dunia lainnya yang sukses melakukan model perubahan seperti ini. Ke Empat ; Revoluty Movement, adalah perubahan menyeluruh. Termasuk di dalamnya adalah perubahan institusi pemerintahan dan sistem stratifikasi sosial masyarakatnya. Model perubahan seperti ini pernah dipraktekkan oleh Khomaeni dengan Revolusi Islam Irannya. Sebagai konsekwensi politik yang ditimbulkan, gerakan revolusi kerap diikuti oleh peristiwa kudeta politik. Seperti yang terjadi pada rezim Syah Iran. Revoluty Movement ini dikenal juga dengan istilah transformatif movement, yaitu perubahan total dan menyeluruh dengan diikuti oleh pergantian sistem pemerintahan dan stratifikasi sosial masyarakatnya dengan sistem yang baru.

Menganalisa model dan bentuk perubahan sosial seperti yang dikemukakan oleh Gidden, ternyata alqur’an telah mengupasnya 14 abad yang silam. Teori perubahan sosial yang selama bertahun-tahun senantiasa mengalami penyempurnaan seiring dengan perubahan suhu politik global, ternyata telah dipraktekkan oleh para delegasi Tuhan. Hanya mungkin aspek relevansi sosial-historis yang mesti lebih diperdalam dan direkonstruksi.

Sebagai sebuah gerakan kolektif, perubahan kerap mengusung tema-tema sosial sebagai sandarannya. Tema-tema sosial pada gilirannya akan berfusi dengan berbagai kepentingan politik. Jadi, sebuah perubahan sosial memang harus berujung pada pergantian kekuasaan yang ini identik dengan aktifitas politik. Namun demikian, seperti yang dikemukakan oleh Gidden dalam bukunya ; The thrid a way, bahwa inti perubahan sosial adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (mendasar) manusia, lebih luasnya adalah masyarakat. Sejalan dengan pemikiran Gidden tersebut, apa yang dipraktekkan oleh para nabi dalam mengadakan misi perubahannya adalah selain berdampak terhadap perbaikan dalam segala sendi kehidupan sosial, juga tidak kalah urgennya adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan mendasar manusia yang dalam bahasa alqur’an ini diistilahkan dengan fitrah. Fitrah manusia adalah terjaminnya pola hubungan vertikal dengan Tuhan. Pola hubungan dengan Tuhan ini tidak cukup berhenti hanya pada fase kenyamanan dalam melakukan praktek ibadah ritual semata, tetapi lebih jauhnya adalah bagaimana aktifitas sosial, politik, ekonomi sebuah masyarakat berorientasi kepada terpenuhinya fitrah manusia tadi. Ini menjadi teramat sulit terjadi bila terjadi dikotomisasi antara posisi manusia di satu sisi dan posisi Tuhan di sisi lain.

Aktifitas sosial, politik, ekonomi dan sebagainya tidak akan mungkin berdimensi Tuhani jika manusia sendiri memisahkan peran Tuhan dalam aktifitas sosial, politik dan ekonomi masyarakatnya. Kondisi seperti inilah yang selama berabad-abad lamanya menjadi objek proyek para nabi dalam menuntaskan misi tauhidnya. (Bersambung …)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun