Tujuh puluh satu tahun—sudah selama itu—negeri ini berdiri di atas pondasi yang tidak sebentar waktu perancangannya; adalah kepribadian, dasar, dan konsensus bangsa yang dipikirkan matang-matang oleh generasi visioner terdahulu. Pada akhirnya menjadi suatu pengorbanan—kaum mayoritas—terbaik sepanjang masa untuk menjadikan pluralisme sebagai salah satu pilar kebangsaan yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat di atas tanah air ini.
Tujuh puluh satu tahun—sudah selama itu—negeri ini mencoba berdiri di atas kaki sendiri; segala bentuk gejolak dan konflik menjadi santapan sejarah anak-anak bangsa. Dan entah untuk yang kesekian kalinya, bangsa ini menghadapi ujian kenaikan kelas. Sayang anak-anak bangsa belum banyak belajar. Beberapa menyebut bangsa ini telah gagal, tetapi tidak sedikit pula yang tetap optimis menyebut bangsa ini masih memiliki kesempatan.
Akhir-akhir ini kerap masyarakat—dan segelintir kaum cendekiawan—dikhawatirkan dengan adanya semacam salah tafsir mengenai revolusi mental; adalah perbaikan karakter bangsa agar mampu bersaing dalam gejolak perekonomian global di masa mendatang dan bukannya mengganti kepribadian bangsa karena keinginan golongan tertentu. Masalah anak-anak bangsa tidak lagi sebatas pada kesejahteraan rakyat atau pemerataan pembangunan; lebih dalam adalah problema kemanusiaan pada akar pelayanan publik—dunia politik—yang mempertaruhkan nurani dan pluralisme itu sendiri.
Satu hal vital yang menjadi kesalahan terbesar anak-anak bangsa sejak lama adalah mencampuradukkan masalah politik dengan apa yang disebut sebagai ‘keyakinan’. Keberagaman ‘keyakinan’—dengan jalannya masing-masing—tiada satupun yang mengajarkan hal-hal buruk, dan dengannya tidak dapat disamaratakan antara yang satu dengan yang lain atau pada akhirnya hanya akan menimbulkan perdebatan yang tidak akan kunjung usai. Akar masalahnya bukan pada setuju atau tidak setuju, bukan perihal menghakimi mana yang benar dan mana yang salah; segelintir anak-anak bangsa kerap memberikan reaksi berlebihan pada suatu masalah—sepele.
Melalui ini sekaligus menjadi pesan dan ajakan bagi seluruh anak bangsa untuk tetap mengedepankan nurani dalam pengambilan keputusan tanpa mengesampingkan kompetensi dalam mempertimbangkan risiko-risiko yang ada dan pada akhirnya mampu mempertahankan kualitas kemanusiaan rakyat Indonesia yang sejati—seperti yang diharapkan para pendiri bangsa sejak dahulu.(dhi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H