Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di belahan bumi timur cukup kondang dengan segala keramahan masyarakatnya serta tata krama yang dijunjung tinggi. Memang merupakan salah satu ciri budaya orang timur, tidak hanya Indonesia sesungguhnya. Namun apa yang turut menjadi keprihatinan di era modern ini adalah perihal pewarisan tata susila itu sendiri dari generasi tua ke generasi muda. Bukan semata bagaimana menyapa orang lain atau bagaimana mendahulukan prioritas orang lain yang lebih tua yang boleh dikatakan sudah menjadi adat istiadat setempat, tetapi lebih pada penempatan hati nurani dalam menentukan sikap.
Negeri ini sudah–terlalu–lama dijajah, menjadikan mental rakyat seolah terbelakang dan hati nurani para pimpinan seolah tumpul karena terlalu lama mementingkan kebutuhan sendiri dan golongan. Realita menunjukkan generasi zaman sekarang cenderung mementingkan prestisi dan kekuasaan duniawi. Sebagian politisi berlomba merebut kursi pemerintahan atas dasar jabatan dan kekuasaan, bukan tentang bagaimana menyejahterakan rakyat dan bawahannya. Segala cara dihalalkan dan jadilah semboyan homo homini lupus.
Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kasus korupsi yang marak dilakukan sebagian pejabat pemerintah. Hal tersebut kembali menampakkan masih buruknya moral dan integritas bangsa. Sayangnya sikap itu tetap diwariskan kepada generasi muda meski secara terselubung. Anak-anak muda sekarang boleh dikatakan ‘generasi instan’, selalu menginginkan hal-hal yang sekali jadi tanpa memperhatikan proses. Contoh nyata dalam kehidupan di sekolah, budaya menyontek cukup akrab di telinga pelajar Indonesia. Meski pun Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan, menegaskan tentang pentingnya integritas serta banyak sekolah sudah menindak tegas para pelaku yang tertangkap basah melakukan perbuatan menyontek, faktanya perbuatan menyontek itu sendiri masih belum dapat dibasmi secara utuh. Sebab masih ada segelintir pandangan masyarakat bahwa nilai jauh lebih dihargai daripada kejujuran. Inilah yang perlu dibenahi: tentang kejujuran, kesederhanaan, dan proses berkembang. Korupsi tidak hanya merajalela di kalangan sebagian pejabat dan aparat, melainkan juga anak muda.
Mantan presiden Republik Indonesia, almarhum Bapak GusDur pernah menyebut, polisi baik di Indonesia hanya ada tiga, yaitu Pak Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur. Pernyataan itu seolah ‘dibenarkan’ dengan kehadiran satu lagi sosok seorang polisi yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat. Bripka Seladi, anggota Polantas Polres Malang Kota, mendadak ramai diperbincangkan karena kesederhanaan dan kejujurannya. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo ikut angkat bicara dan menyebut bahwa kisah Bripka Seladi merupakan sebuah pedoman sekaligus penyesalan bagi negara seperti dilansir dalam detik.com.
Beliau–Bripka Seladi–selain bekerja sebagai anggota Polantas juga memilih memulung sampah plastik guna mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang tidak sedikit. Tentang kejujurannya, seperti disebutkan dalam salah satu media sosial, bahwa beliau menolak disuap ketika seseorang hendak mengajukan permintaan perolehan SIM (Surat Izin Mengemudi).
Yang perlu diambil sebagai pelajaran adalah sudah sewajarnya para pemimpin negara malu karena tidak mampu memberi contoh yang baik kepada rakyat. Kejujuran sebagai pilar integritas menjadi penyokong utama pembangunan bangsa. Sikap jujur dengan meletakkan hari nurani sebagai prioritas harus terus dibiasakan hingga tiba saatnya bangsa ini sepenuhnya lepas dari bayang-bayang bangsa penjajah tiga setengah abad yang lalu dan peradaban manusia di Indonesia menjadi lebih maju. Sebuah revolusi yang tidak sebentar, namun selama ada niat untuk mau berubah menjadi lebih baik, pasti bisa. (sap)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H