Pekan ini perdebatan mengenai independensi jurnalis sedang ramai di Jogja. Perdebatan itu muncul setelah Tempo mengkritik kegiatan press tour para jurnalis Jogja bersama Sekwan DPRD DIY . Tempo menilai bahwa kegiatan press tour sebagai sebuah kegiatan yang memboroskan anggaran dan dapat mempengaruhi independensi jurnalis.
Dalam berita tersebut Tempo mengutip pendapat Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Lukas S Ispandriarno yang menyebut programpress tour merupakan akal-akalan supaya mendapat fasilitas negara. Program itu, menurut Lukas, patut dipertanyakan karena tidak berhubungan dengan tugas jurnalis. Karena itu, Ia menyarankan lembaga pemerintah menghentikan anggaranpress tour untuk jurnalis. Selain itu, organisasi profesi jurnalis dan perusahaan tempat bekerja berkewajiban mendidik jurnalis untuk menjaga profesionalisme dan taat kode etik jurnalistik.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh DirekturInstitute Development and Economic Analisys Yogyakarta--organisasi non-pemerintah yang mengadvokasi kebijakan publik--Wasingatu Zakiyah menyatakan programpress tour tidak tepat. Menurut dia, sekretariat DPRD DIY tak perlu mengganggarkan duit negara untukpress tour dengan alasan menjaga hubungan baik dengan jurnalis. “Press tourdekat dengan konflik kepentingan,” kata dia.
Menurut Wasingatu, sekretariat DPRD DIY lebih baik mendukung jurnalis dengan memberi akses informasi publik. Sedangkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta juga mengecam program ini. “Press tour dengan duit negara tidak berhubungan dengan tugas jurnalis,” kata Ketua AJI Yogyakarta Hendrawan Setiawan. ( sumber : www.tempo.co )
Dari sisi penulisan berita, unsur balancing ( keseimbangan ) berita tidak terpenuhi, karena wartawan Tempo tidak menyertakan pendapat dari salah seorang jurnalis yang menjadi obyek berita. Oleh karena itu , penempatan nara sumber dalam berita ini seolah-olah hanya sebagai “ pembenar “ atas opini yang ada di benak wartawan sendiri.
Salah satu “ penyakit “ yang banyak diidap oleh para wartawan adalah kesulitan bersikap netral terhadap sebuah fakta. Pada saat menyaksikan sebuah fakta atau memperoleh informasi awal, otaknya terlebih dulu bergerak mengambil kesimpulan berdasarkan analisa subjektif, bukannya menunggu untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Berdasarkan “ hipotesa “ awal yang belum tentu teruji kebenarannya tersebut maka wartawan menulis berita. Karena sebuah berita membutuhkan nara sumber, maka sang wartawan kemudian mencari nara sumber yang sekira sependapat dengan pandangannya untuk ditampilkan dalam berita. Nara sumber ditempatkan sebagai “ alat “ terhadap berita yang akan ditulisnya. Padahal, dalam menulis berita jurnalis harus bebas kepentingan dan bersikap jernih terhadap fakta. Disinilah Tempo luput dan berita yang ditayangkan tersebut menurut penilaian saya masih bersifat prematur.
Melalui berita yang ditulis Tempo tersebut, saya berusaha mencari motif dari penulisan berita tersebut. Beberapa hal yang dapat saya tarik benang merah dari berita tersebut Tempo mencoba menyampaikan pesan bahwa jurnalis tidak sepantasnya menggunakan anggaran negara, karena ketika jurnalis menggunakan anggaran negara maka jurnalis akan kehilangan independensi dan sikap profesionalitasnya. Bahkan lebih dari itu, kegiatan press tour dianggap tidak ada hubungannya dengan tugas jurnalis.
Benarkah ? Mari kita lihat Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI ) dan Undang-Undang No 40 1999 Tentang Pers yang menjadi kitab pedoman para jurnalis dalam menjalankan profesinya. Berdasarkan Undang-Undang Tentang Pers Bab III Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa : Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa Yang dimaksud dengan "Kode Etik Jurnalistik" adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Sementara itu, Kode Etik Jurnalistik PWI menyebutkan bahwa : Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan. ( Bab I pasal 4 ), Sedangkan dalam penafsiran Kode Etik Jurnalistik (KEJ ) pasal 6 disebutkan bahwa Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Lantas apa yang dimaksud profesional bagi seorang jurnalis ? Dalam penfasiran Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa : Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsirannya . Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. ( sumber : www.pwi.or.id ) Jika dihubungkan dengan kegiatan press tour yang dilakukan oleh para Jurnalis Jogja bersama Sekwan DPRD DIY, pasal mana yang sekira dilanggar oleh para jurnalis peserta press tour ? Saya tidak menemukannya. Satu pasal yang paling dekat dan bisa dihubung-hubungkan adalah pasal yang mengatur soal suap tadi. Tapi apakah kegiatan press tour ini sama dengan penyuapan ? Berdasarkan pasal 3 UU No 3/1980 yang berbunyi : Barangsiapamenerimasesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) Apakah press tour yang dilakukan oleh para jurnalis Jogja bersama Sekwan DPRD itu memenuhi pasal tersebut ? Belum ada bukti maupun saksi yang sah secara hukum bahwa presstour yang dilakukan oleh para jurnalis itu mengandung tindakan penyuapan. Tapi, jika yang dikhawatirkan oleh Tempo masalah independensi jurnalis, hal itu masih dapat diperdebatkan. Bahkan menurut saya tak ada hubungannya antara independensi jurnalis penggunaan dana negara. Apalagi jika dihubungkan dengan profesionalisme. Sangat jauh dari itu. . Meminjam istilah Ketua PWI Jogja Sihono “ Jika ingin membungkam ( kreatifitas ) media kok lewat presstour, itu namanya konyol. “ Tapi kecurigaan terhadap sebuah fenomena itu memang harus dimiliki oleh setiap jurnalis. Tempo juga patut diapresiasi atas kecurigaannya terhadap kegiatan yang dilakukan oleh para jurnalis itu. Namun, kecurigaan itu harus divalidasi dengan bukti , bukan opini yang dikemas dalam sebuah berita. Akan lebih baik jika kemudian Tempo menginvestigasi dan menyajikannya ke publik atas apa yang mereka curigai. Jika perlu, Tempo menugaskan jurnalisnya dengan misi khusus mengawasi para jurnalis peserta presstour itu, tetapi atas biaya perusahaan sendiri, untuk membuktikan kecurigaannya. Sebab, jurnalis itu penyaksi yang harus bicara atas dasar fakta bukan atas dasar opini.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H