Ini kisah tentang perempuan bernama Sulastri, yang konon masih merupakan cucu dari Dipo Prawiro - prajurit pedang Sentot Alibasyah Prawirodirjo di jaman Perang Diponegoro. Ayahnya, adalah Sonto Dipo yang bekerja sebagai abdi dalem di Kraton Jogjakarta, pada era tahun 40-an.
Pernikahannya dengan ibunya Ngadiyah Subroto melahirkan dua orang anak yaitu dirinya dan seorang saudara laki-laki bernama Sugiyono. Namun, ketika berumur sekitar 3 tahun, ibunya meninggal, sehingga Sulastri dan adik lelakinya diasuh oleh sanak saudara di desa Kejambon Lor, Ngemplak Sleman. Demi bertahan hidup Sulastri pun rela bekerja apapun ditempat saudara-saudaranya. Namun, karena kondisi perang membuat Sulastri pun makan apa saja yang di dapatnya, termasuk memasak daun talas sungai.
Atas referensi seorang kerabat, Sulastri mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di sebuah kantor penilik pendidikan di Galur Kulon Progo. Tanpa ia sadari, dari sinilah perjalanan besar kehidupannya dimulai. Setelah beberapa tahun bekerja di Kantor Penilik Pendidikan Galur , Sulastri pun terbawa arus kehidupan ke Kota Metropolis Jakarta, meski masih dengan pekerjaan yang sama yaitu pembantu rumah tangga.
Namun, siapa sangka, ketekunan dan kejujurannya dalam bekerja menarik simpati seorang staff Kedutaan Besar Pakistan tahun 1950-an bernama Drs.Sunardi yang kemudian mempercayakan dirinya sebagai Koordinator Juru Masak Kantor Staff Kedutaan Besar Pakistan. Ditempat inilah Sulastri belajar banyak tentang budaya dan bahasa orang Pakistan, termasuk upayanya memadukan cita masakan Indonesia dengan Pakistan.
Konon, Sulastri merupakan orang pertama yang memperkenalkan 'tempe' di Kantor Kedutaan Besar Pakistan. Keahliannya memilih kedelai dan ragi yang bagus membuat racikan tempe-nya bercita rasa tinggi. Bahkan, gara-gara mencicipi tempe racikannya, membuat Soekarno terkesan dan memerintahkan untuk mengimpor kedelai dan ragi terbaik indonesia untuk diekspor ke Pakistan.
Namun, sukses di negeri orang ternyata tak membuat Sulastri merasa kerasan. Kecintaannya terhadap Indonesia, memaksanya kembali ke tanah airuntuk menjalani kehidupan sebagai wanita biasa, dengan satu cita-cita yang ada dalam benaknya: ingin menikah dengan lelaki biasa dan mempunyai anak bertitiel ‘doktorandus’ seperti majikannya.
Kisah Sulastri adalah kisah heroisme yang tak pernah terpublikasi. Kisah ini hadir dari sebuah cerita lisan seorang perempuan tangguh yang ditakdirkan Tuhan untuk melahirkan diri saya. Beliau bukan hanya merupakan sosok pahlawanbagi diri saya, tetapi juga merupakan sumber inspirasi diri saya yang tak pernah mati. Ketegasandalam bersikap, kejujurannya dalam bersuara serta ketegarannya dalammemperjuangkan cita-cita adalah satu hal yang saya teladani sampai saat ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H