Mohon tunggu...
Sulistyawan Dibyo Suwarno
Sulistyawan Dibyo Suwarno Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

citizen jurnalis yang berkantor di rumah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gurita Cikeas dan Ironisme Gerakan Cinta Buku

12 Januari 2010   23:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:29 2189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Paska lengsernya Soeharto, konon negeri ini telah berubah dari rezim otoriter menjadi sebuah negara yang demokratis. Alasannya, tak ada lagi pembredelan koran, dan dihapuskannya pasal penghinaan terhadap Presiden. Namun disisi lain, aroma otoriter itu masih sangat terasa. Kita masih belum bebas untuk berekspresi , beropini serta menuangkan gagasan.

Bahkan kita masih belum bebas menerbitkan sebuah buku dengan berbagai dalih. Dan terakhir buku ” Membongkar Gurita Cikeas ” (MGC) karya George Yunus Aditjondro terancam dicekal dxri peredaran buku. Oleh beberapa pihak, MGC dianggap sebagai buku yang berisi fitnah dan sampah sehingga tak layar edar dan dibaca oleh masyarakat.

Sampai sejauh ini, memang, belum ada perintah siapa pun untuk secara resmi melarang peredaran buku 'Gurita Cikeas'. Tetapi, faktanya buku itu telah menghilang dari toko-toko buku. Sebagian karena kesadaran toko buku untuk tidak memperkeruh suasana. Tetapi, sebagian lagi mengaku menerima telepon dari pihak-pihak yang menghendaki mereka tidak menjual buku tersebut.

Pencekalan buku di negeri ini paska reformasi bukan hanya kali ini saja terjadi. Beberapa waktu lalu sebuah buku berjudul "Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat." karya Socratez Sofyan Yoman, yang diterbitkan Galangpress dari Yogyakarta, Desember 2007 ditarik dari peredaran. Sebelumnya, Buku "Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat," karangan Sendius Wonda yang terbit Agustus 2007, juga mengalami nasib sama. Pada 27 November 2007, Kejagung Hendarman Supandji menginstruksikan institusinya menyita buku tersebut.

Dalam catatan saya ada beberapa buku yang terpaksa gagal edar paska jatuhnya Soeharto , seperti: (1) Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan ( 5 ) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.

Saya punya keyakinan, paling tidak selama lima tahun ke depan atau selama iklim politik masih seperti sekarang ini, musim cekal buku (baik secara resmi atau tidak) masih akan terjadi. Apalagi SBY sudah secara tegas memerintahkan untuk melawan hal-hal yang berhubungan dengan fitnah. Pencekalan secara resmi tentu akan dilakukan oleh Kejagung terhadap buku-buku yang dinilai akan men imbulkan keresahan terhadap masyarakat sementara secara tidak resmi pencekalan akan muncul dari arus bawah pendukung SBY serta pemerintah yang sedang berkuasa.

Dalam pemahaman arus bawah, seruan SBY ini akan dapat diterjemahkan sebagai sebuah tindakan untuk melakukan pembenaran terhadap tindakan main hakim sendiri. Jika itu terjadi, sesungguhnya secara perlahan kita sedang menuju ke arah jurang kemunduran dalam berdemokrasi.

Ironisme
Kontroversi terhadap buku ’Membongkar Gurita Cikeas’ yang belakangan ini membuat gaduh di masyarakat merupakan sebuah ironisme yang sesungguhnya tak perlu terjadi. Ditengah-tengah kita menggiatkan kampanye untuk meningkatkan minat baca masyarakat yang sekarang berada di urutan 106 dari 109 negara berkembang, hadirnya sebuah buku justru tidak didukung dengan sikap apresiatif yang tinggi. Padahal buku merupakan salah satu alat untuk mendongkrak minat baca masyarat.

Dalam upaya meningkatkan minat membaca ini pemerintah pun gencar melakukan gerakan cinta buku melalui berbagai macam program seperti pengadaan perpustakaan keliling, Pemilihahn Raja dan Ratu Buku serta berbagai kegiatan program lain yang mendorong masyarakat mencintai buku. Program yang sangat mulia ini hendaknya tak 'dinodai' dengan sikap emosional hanya gara-gara terbitnya satu buku yang dianggap berisi fitnah dan sampah. Apapun sisinya, buku harus dilawan dengan buku, tidak dengan kekuasaan.

Buku merupakan salah satu karya manusia , dengan sisi-sisi kebenaran yang sangat mungkin berbeda-beda dalam memahami sebuah persoalan maupun menganalisa sebuah data. Oleh karena itu, jika satu buku dinilai tidak benar, maka lebih bijak jika diterbitkan buku lainnya sehingga dari banyaknya versi dari buku-buku yang diterbitkan itu akan menuju pada kebenaran yang sejati.

Apapun ujudnya, buku adalah sebuah karya pemikiran seseorang. Sebagai sebuah karya pemikiran, kita boleh tidak setuju dengan isi sebuah buku. Tetapi, menjadi sangat tidak bijak, jika hasil karya pemikiran seseorang itu kemudian dikalahkan oleh sikap otoriter dengan mencekal peredaran buku atas nama dan dalih apapun. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun