Setiap ketemu teman atau tetangga yang menanyakan kerjaanku. Saya selalu menjawab lesu, karena aku hanyalah seorang guru. Hanya guru TK dan SD. Tepatnya hanya seorang guru ekstra lukis dibeberapa TK dan SD. Pagi jam 08.00 - 11.00 WIB mengajar di TK, jam 11.00-14 WIB mengajar di SD. Detailnya kalau hari Senin mengajar di RA Masyithoh Pangukan Sleman dan SD Muh Gondanglegi Tempel, Selasa di TK ABA Sleman kota dan SD N Ngetal Seyegan, Rabu di TK ABA Sidoharjo Turi dan SD N Keceme ditambah SDIT Ibnu Abbas Godean, Kamis di TK ABA Ngabean I dan SD Muh Ngabean I, Jumat di TK Pembina Pertiwi Gondanglegi Tempel, Sabtunya di TK ABA Mlangi dan SD Muh Mlangi Gamping.
Pertanyaan selanjutnya pasti, " sudah diangkat belum ?". Aku jawab belum. Gimana mau diangkat, sedang format pengangkatan untuk guru ekstra itu tidak ada, bahkan tidak pernah ada. Yang ada hanyalah guru kelas, guru olah raga atau guru agama.
"Sudah sertifikasi belum ?"  Belum. " lha, kok ?" Gimana mau sertifikasi, sedang format sertifikasi untuk guru lukis TK/SD juga tidak ada. Yang ada itu cuma sertifikasi untuk guru seni rupa SMP, SMA atau dosen seni rupa. Sertifikasi untuk guru kelas, guru olah raga atau guru agama.
"Tapi dapat insentif dari pemerintah, tho ? Tidak. " Lha, kok ?" Sekali lagi, yang dapat insentif itu hanya yang jadi guru kelas, guru olah raga, guru agama, ditambah tukang kebun dan penjaga malam. "Blaik no ! "  Ya, Blaik ! Bahkan dengan tukang kebun dan penjaga malam pun saya kalah. Dulu katanya guru ekstra bisa dapat insentif dengan cara mengumpulkan SK tugas dan jam mengajar dari beberapa sekolah. Tapi kenyataanya tidak, dengan alasan pihak dinas sulit mengurusnya. " Kujur kalau begitu !" Ya, kujur !
"Tapi, khan dapat honor dari mana-mana ?" Ya, betul. Tapi lihat saja ?! Kumpulan penghasilan itu kenyataanya tetap lebih minim dari UMR, bahkan kurang. Apalagi kalau sekolah ada acara, guru ada acara, rapat-rapat yang sering sekali, rapat gugus, IGRA/IGABA tingkat kecamatan/kabupaten, pengajian, ada lomba, gebyar dll. "Guru ekstra libur dulu, ya !" Tentu penghasilan jadi kosong.
Guru ekstra ya,kerja ekstra ! Sering sekali guru-guru dinas itu sudah pulang, saya masih berjibaku mengajar anak-anak. Bahkan sampai sering ke rumah anak untuk menyelesaikan suatu tugas, dan waktunya kadang sampai maghrib. Edan ra ?! Kerja ekstra seperti itu kadang sangat sekali tidak sebanding pula dengan upah yang diberikan oleh pihak sekolah. Bahkan upahnya juga sering molor, baru dibayar dua atau tiga bulan kemudian. Cen,kudu sabar tenan !
Proses itu saya jalani mulai 2001 samapai sekarang. Berarti saya mengajar 750 anak dari jumlah 32 kelas, lebih dari 30 jam dalam seminggu tersebut sudah hampir 14 tahun. Dan berkat kerja ekstra kalau dihitung anak didik telah mendapatkan 1000 ( seribu) lebih piala kejuaraan lomba. Ironisnya, mungkin sekarang saya sudah tidak masuk data pendidik lagi, karena sudah tiga tahun ini kepala sekolah tak ada yang bisa mengurus data saya karena kedudukan saya yang hanya guru ekstra. Dan saya pun akhirnya tidak dapat sertifikasi dan tidak dapat insentif, serta jangan sekali-kali berangan jadi guru PNS. Betul-betul, jadi guru tanpa tanda dan tanpa tanda jasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H