Mohon tunggu...
Sulistiono KERTAWACANA
Sulistiono KERTAWACANA Mohon Tunggu... Lainnya - ...

"Selamat tinggal hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata mereka. Karena bagi yang mencintai dengan hati dan jiwa; tidak ada perpisahan" Jalaluddin Rumi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas

6 Mei 2010   11:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 2515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertengahan Maret 2007, Pengadilan Cayman Islands memutus bersalah Pertamina dalam kasus gugatan pelanggaran Joint Operation Contract (JOC) terhadap Karaha Bodas Company (KBC), kontraktor Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha. Pertamina wajib membayar ganti rugi kepada KBC sebagai implementasi putusan arbitrase internasional Geneva, Swiss tanggal 18 Desember 2000.

Abitrase tersebut sebenarnya menghukum Pertamina dan PLN. Pertamina dan PLN diputus melanggar Energy Sales Contract (ESC), dan Pertamina telah melanggar JOC . Karenanya, Pertamina dan PLN secara bersama dan masing-masing dihukum membayar ganti rugi KBC sejumlah US$261,100,000 (US$111,100,000 untuk biaya yang diderita KBC dan US$150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC ), termasuk bunga 4% per tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001.

Lalai Aspek Hukum

Pada 28 November 1994 telah disepakati 2 kontrak untuk proyek PLTP Karaha yaitu JOC dan ESC. JOC (Pertamina dan KBC) menetapkan Pertamina bertanggung jawab mengelola pengoperasian geothermal dan KBC sebagai Kontraktor. KBC wajib mengembangkan energi geothermal dan membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan dalam ESC (KBC, Pertamina, dan PLN), KBC (sebagai Kontraktor Pertamina dan berdasarkan JOC) akan memasok dan menjual tenaga listrik kepada PLN. Baik JOC maupun ESC pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.

Meskipun demikian, ada klausul janggal yang luput dari pengamatan Pertamina dan PLN. Pasal 15.2 (e) JOC (isi senada termaktub Pasal 9.2 (e) ESC) bahwa “events of Force Majeure shall include, but not limited to:…(e) with respect Contractor only, any Government Related event” (kejadian-kejadian yang disebabkan oleh Keadaan Kahar termasuk tetapi tidak terbatas pada: …(e) hanya berlaku bagi Kontraktor (KBC-pen), setiap tindakan yang berhubungan dengan Pemerintah).

Semestinya, para pihak yang terlibat dalam JOC dan ESC (Pertamina, PLN, dan KBC) dilarang melakukan tindakan yang melanggar hukum Indonesia. Termasuk, tindakan pemerintah menerbitkan ketentuan terkait dengan proyek yang mengikat semua pihak. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur ”(salah satu syarat sahnya) perjanjian adalah sebab yang halal”. Pasal 1339 KUHPerdata menetapkan, ”persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut menurut (diantaranya -pen) UU”.

Selanjutnya, Pasal 1337 KUPerdata menyatakan, “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang (diantaranya-pen) oleh UU”.Yang dimaksud UU adalah perundang-undangan, termasuk keputusan pemerintah menangguhkan proyek PLTP Karaha. Merujuk pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian dengan sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Artinya, menurut hukum Indonesia, pasal 15.2(e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang merugikan Pertamina dan PLN tidak sah. Keadaan kahar bagi Pertamina dan PLN harus termasuk juga tindakan yang berhubungan dengan pemerintah.

Memetik Hikmah

Setidaknya, ada 3 hikmah yang dipetik dari peristiwa ini. Pertama, perlu dipertimbangkan kajian hukum yang mendalam sebelum pemerintah menangguhkan/membatalkan proyek-proyek BUMN. Sebab, berbagai putusan arbitrase telah merugikan Indonesia akibat pembatalannya, seperti kasus PLTP Patuha dan PLTP Dieng.

Karenanya, jika inti klausul force majeure sama dengan JOC dan ESC, pembatalan sebaiknya diajukan oleh BUMN tersebut melalui pengadilan, meski sudah diterbitkan keputusan presiden atas penangguhan proyek tersebut. Sekaligus menguji keberlakuan klausul force majeure model ini menurut hukum Indonesia.. Cara ini lebih aman. Alasan yang lebih kuat bagi BUMN jika dibatalkannya kontrak, diperkarakan investor asing. Sebab, dari kaca mata hukum pembatalan kontrak melalui putusan pengadilan lebih netral ketimbang kepres.

Kedua, Menteri BUMN perlu menerbitkan surat edaran (dengan disertai ulasan hukum) kepada semua BUMN bahwa BUMN wajib menolak usulan klausul force majeure dengan konstruksi hukum seperti JOC dan ESC. Tujuannya, mempermudah BUMN dalam bernegosiasi dengan rekanannya agar terhindar dari pembayaran ganti rugi di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun