Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sinergi Ramadhan dan Revolusi Mental

26 Juli 2014   05:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RAMADHAN rentan terkikis dari esensinya sebagai bulan penuh rahmat. Jauh sebelum bulan suci ini tiba, pelaku bisnis telah mengincarnya sebagai momen untuk mendulang laba setinggi-tingginya dengan jalan meningkatkan produksi barang (jasa) dan harga berlipat ganda. Tidak mengherankan, inflansi yang sangat signifikan terjadi di bulan Ramadhan 1435 H. Hal ini berimplikasi meruncingnya kesenjangan sosial. Alih-alih membawa berkat, bulan suci ini justru membuat sebagian umat Muslim (kelas menengah ke bawah) sekarat. Perlu adanya ‘revolusi mental’ dalam bulan Ramadhan. Agar inflansi tidak terjadi di bulan Ramadhan tahun depan. Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang memiliki potensi besar dalam menjaga stabilitas keuangan Nasional memiliki peluang besar dalam mempeloporinya.

Melacak Jejak Inflansi Melalui Konsep Trisakti

Revolusi mental merupakan sebuah gerakan yang disuarakan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) sejak masa kampanye pilpres. Dalam perpektif Jokowi, Revolusi Mental mengadopsi konsep Trisakti dalam pidato Bung Karno pada 1963. Terdapat tiga pilar kebangsaan dalam konsep Trisakti: ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

Spanduk menjelang pilpres di kawasan Terban-Yogyakarta.  Terlihat Joko Widodo dengan jargon "Jujur, Merakyat, Sederhana" ( Foto. Dokumentasi Penulis).

Kenaikan inflansi yang cenderung selalu terjadi di bulan Ramadhan mengindikasikan bangsa Indonesia belum mandiri secara ekonomi. Ketidakmandirian secara ekonomi berimplikasi kedaulatan Indonesia secara politik belum diakui sepenuhnya. Dalam artian, wibawa negara Indonesia dalam pergaulan Internasional masih rendah. Hal ini dapat kita cermati keberadaan Indonesia sebagai golongan Negara Dunia Ketiga, bukan negara maju seperti: Jepang dan Korea. Tentunya, fenomena ini sangat ironis sekali. Sebab, kekayaan sumber daya alam Indonesia melampaui Korea dan Jepang.

Di lain sisi, relevansi kestabilan harga di bulan Ramadhan dengan konsep Trisakti dapat kita temukan indikasi solusinya pada pilar ketiga: “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Tanpa adanya kepribadian yang kuat secara sosial-budaya kita akan kehilangan identitas sebagai sebuah bangsa dan rentan mengalami gegar budaya (culture shock). Inilah yang menjadi akar dari kompleksitas permasalahan bangsa yang meruntuhkan kedua pilar Trisakti lainnya.

Dan memang, mayoritas generasi Indonesia dewasa ini mengalami gegar budaya. Pendidikan yang bercorak Hindia-Belanda yang memengaruhi paradigma dan kurikulum pendidikan konvensional mengakibatkan bangsa Indonesia memiliki kesadaran eurosentrik. Kita cenderung menjadikan peradaban bangsa Eropa sebagai kiblat kemajuan.

Setelah Perang Dunia II, terjadi Perang Dingin (menjadikan teknologi sebagai indikator kemajuan) dan masuknya dunia ke dalam tatanan industri. Di Asia, Jepang dan Korea dapat mencapai kemajuan dalam kedua aspek kemajuan ini. Meskipun sumber daya alam Indonesia jauh lebih kaya, kemakmuran rakyat Indonesia berada di bawah Jepang dan Korea. Dengan demikian, generasi Indonesia cenderung merasa lebih rendah daripada bangsa-bangsa Eropa dan negara yang maju di bidang teknologi-industri.

Kenaikan Harga dan Gegar Budaya (Culture Shock)

Pada 19 Mei 2014, saya terbang dari Padang menuju Yogyakarta. Ketika memesan tiket tujuan Padang-Yogyakarta, saya sempat menanyakan harga tiket untuk di masa arus ‘mudik’ Ramadhan khususnya seminggu menjelang Iedul Fitri. Alangkah kagetnya saya! Ternyata, harga tiket Lion untuk ‘mudik’ tujuan ‘Yogyakarta-Jakarta’ sudah merayap sampai angka 1,5 juta rupiah, melampaui harga tiket Lion tujuan Yogyakarta-Padang yang saya pesan dua hari sebelum keberangkatan (19 Maret 2014). Di bulan Maret, saya bisa mendapatkan tiket Lion di bawah harga 1,3 juta rupiah untuk tujuan ‘Yogyakarta-Padang’ (transit Jakarta). Kita bisa memaklumi kenaikan harga tiket pesawat ‘dua jam’ menjelang keberangkatan. Tapi, kenaikan harga tiket ‘dua bulan’ menjelang keberangkatan (bulan Ramadhan) perlu dipertanyakan. Tentunya, bukan Lion semata yang mengalami kenaikan harga tiket. Maskapai penerbangan lain dan jasa transportasi lain (kereta api dan bus) pun memiliki potensi kenaikan.

1406302894310836964
1406302894310836964
Berangkat dari Bandara Adisucipto tujuan Yogyakarta-Padang 19 Maret 2014
( Foto. Dokumentasi Penulis).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun