Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revolusi Mental dalam Membebaskan Indonesia dari Belenggu Korupsi

6 Desember 2014   01:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:57 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi telah menjadi budaya di Indonesia. Serupa sel-sel kangker, korupsi terus menggerogoti stabilitas istem keuangan dan keutuhan bangsa. Tidak hanya kalangan aparat negara, tapi rakyat sipil pun rentan melakukan praktik ini. Tanpa Revolusi Mental secara kolektif, Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GNPK) akan sulit memusnahkan tindak pidana korupsi di seluruh penjuru Bumi Pertiwi.

[caption id="attachment_358009" align="aligncenter" width="620" caption="Joko Widodo bersama Ibunya Sudjiatmi Notomihardjo (Foto. Dok. http://www.tempo.co)."][/caption]

Puluhan tahun perubahan progresif di Indonesia dihambat rejim otoritarian dan antidemokrasi khas Orde Baru. Di era Kabinet Kerja, Jokowi telah membuka peluang untuk berubah dalam wacana ‘Revolusi Mental’ di segala bidang. GNPK memiliki peluang besar mewujudkan langkah-langkah pemberantasan tindak pidana korupsi secara signifikan. Langkah-langkah penting yang perlu diwujudkan dalam Revolusi Mental yang dapat diwujudkan GNPK antara lain:



Revolusi Mental di Bidang Hukum

Dalam rumusan hukum harus ada perbandingan hukum secara interdisiplin. Pelaku korupsi tidak sekadar ‘mencuri’ harta individu atau komunitas sosial, melainkan ‘mencuri’ kas negara. Maka, ‘hukuman’ untuk pelaku tindak pidana korupsi semestinya telah direlevansikan dengan kedaulatan negara. Tindakan korupsi telah meningkatkan angka kematian dan kemiskinan di Indonesia. Dengan kata lain, secara esensial posisi koruptor sudah setara dengan teroris.

Selain dimiskinkan dan dibuat ‘invalid’; terdapat dua hukuman yang tepat untuk koruptor, yaitu ‘hukuman mati’ (telah dipraktikkan China, Jepang, dan Korea) dan ‘penjara seumur hidup’. Bila dipenjara, tahanan tindak pidana korupsi harus menempati sel yang sama dengan pelaku pembunuhan, pemerkosaan, pengedar NARKOBA, dan pelaku tindak pidana berat lainnya. Dalam UUD 1945, semua negara setara di hadapan hukum dan pemerintahan. Maka, posisi pelaku tindak pidana korupsi pun setara dengan pelaku tindak pidana lainnya dan tidak diberikan hak-hak ekslusif (termasuk ruang tahanan dengan fasilitas hotel).

Sayangnya, praktik peradilan di Indonesia belum bisa mencapai praktik peradilan di Jepang, Eropa, Korea, ataupun China. Hingga ‘tidak’ timbul efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan dua hal elementer: literatur sumber hukum dan praktisi hukum di Indonesia, belum memadai.

Literatur sumber hukum di Indonesia masih melestarikan sumber hukum warisan pendudukan kolonial Belanda. Tidak heran; Indonesia sudah tertinggal sangat jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti: Korea, Jepang, dan China. Di negara-negara tersebut, hukum sudah mengarah pada kemanusiaan dan keadilan. Tidak mengherankan, di sana ‘hukuman mati untuk para koruptor’ sudah lumrah. Di ketiga negara itu, konsep dan praktik hukum telah mengarah pada ‘keadilan kontekstual’, sedangkan di Indonesia masih terhenti pada ‘persepsi kolonial’.

Maka, literatur yang menjadi sumber hukum di Indonesia harus diperbarui. GNPK pun perlu menjalin komunikasi dengan lembaga pendidikan hukum di Indonesia dan mendorong pembaruan dalam mutu pendidikan hukum.

Selain itu, GNPK perlu berperan dalam pengangkatan pejabat pelayan publik di bidang hukum. Pejabat pelayan publik di bidang hukum perlu memiliki ‘rekam jejak’ yang bersih dari KKN, serta memiliki integritas dan etika. Agar praktik-praktik peradilan tidak lagi digerogoti ‘mafia hukum’ yang memang mencari nafkah dalam upaya membalikkan fakta dan melindungi penjahat.



Revolusi Mental di Bidang Birokrasi

Sejauh ini, proses peradilan bagi tersangka (terdakwa) tindak pidana korupsi cenderung tidak efektif dan efisien. Birokrasi menjadi salah satu hambatan dalam proses peradilan. Terdapat dua birokrasi penting yang menghambat kinerja pemberantasan korupsi, yaitu birokrasi dalam negeri dan birokrasi politik.

Dewasa ini, kasus Ngakan Putu Tirta Pramono menjadi contoh hambatan birokrasi dalam negeri bidang kesehatan. Ngakan Putu Tirta Pramono merupakan tersangka kasus korupsi dana hibah Rp100 juta mengalami gangguan jiwa. Kejaksaan Negeri (Kejari) Gianyar, Bali batal memeriksa anggota DPRD ini. Dengan demikian, Ngakan Putu Tirta Pramono bisa berlindung di Rumah Sakit Jiwa Kabupaten Bangli.

[caption id="attachment_358004" align="aligncenter" width="448" caption=" Ngakan Putu Tirta Pramono: Anggota DPRD Gianyar dan tersangka kasus korupsi yang masuk RSJ (Foto. Dok. Rimanews/Silontong). "]

14177791861879211994
14177791861879211994
[/caption]

Kasus Ngakan Putu Tirta Pramono identik dengan modus kasus Soeharto. Di masa proses peradilan tindak pidana korupsi, mantan presiden Indonesia ini mendapat perlindungan birokrasi kesehatan. Ia selalu ‘sakit’ sehingga bisa menghindar proses pengadilan. Hingga beliau wafat, harta rakyat yang dikorupsi belum dikembalikan kepada rakyat. Para tenaga medis terindikasi ‘dibayar’ untuk menghambat proses keadilan.

Bercermin dalam kedua kasus tersebut, GNPK perlu mengupayakan adanya membenahi birokrasi di segala bidang. Terutama birokrasi yang menghambat kinerja GNPK (KPK). Sebagai langkah, Kabinet Kerja di era Jokowi-JK perlu menetapkan undang-undang yang memberi izin istimewa dalam menerobos birokrasi. Agar Ngakan Putu Tirta Pramono dan para tersangka (terdakwa) tindak pidana korupsi tidak berlindung di bawah birokrasi kesehatan.

GNPK perlu membentuk tenaga medis (dokter, perawat, dan ahli jiwa) yang netral dan khusus menangani tersangka (terdakwa) tindak pidana korupsi. Ahli medis yang ‘netral’ ini dapat beroposisi pada tindakan (kesaksian/diagnosis) ‘ahli medis’ yang tidak setia pada sumpah jabatannya.

Selain birokrasi kesehatan, terdapat pula birokrasi politik antarnegara yang perlu dibenahi. GNPK perlu mengusulkan agar pemerintah Indonesia menjalin kerjasama antarnegara dalam menjerat pelaku tindak pidana korupsi antarnegara. Dengan adanya kerjasama lintas negara dalam membenahi korupsi, Indonesia dapat berperan serta dalam menjerat ‘pelaku tindak pidana korupsi dari negara lain’ yang bersembunyi di Indonesia. Demikian pula bila ‘pelaku tindak pidana korupsi Indonesia’ kabur ke luar negeri, kita bisa mendapatkan bantuan negara lain dalam menangkapnya. Inovasi ini akan meningkatkan kerjasama antarnegara dan memperkuat jalinan persahabatan antarnegara dalam iklim global village.

Revolusi Mental di Bidang Budaya

Korupsi merupakan imbas dari budaya paternalistik dan budaya konsumtif yang menjangkiti bangsa Indonesia.

Budaya paternalistik berarti ‘kepatuhan’ pada atasan. Dalam konsep sosial-kolonial di Jawa; paternalistik lazim disebut ‘nrimo’ (menerima/pasrah). Semestinya, ‘nrimo’ adalah konsep spiritual-Jawa (Kejawen). Dalam ajaran Kejawen, ‘nrimo’ tertuju pada Tuhan.

Di masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda, para orientalis merekonstruksi budaya di Nusantara untuk keuntungan pihak kolonial. Budaya ‘nrimo’ merupakan salah satu konsep yang direduksi dari esensi spiritual-Jawa (Kejawen); menuju sosial-kolonial (paternalistik). Di era kemerdekaan, pemerintah Orde Baru menyebarkan budaya ‘nrimo’ sosial-kolonial sebagai kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Kepatuhan mutlak pada pemerintah. Semua kritik dan sikap oposisi dinilai pemberontakan. Akibatnya, terjadi pembiaran (sikap permisif) terhadap praktik korupsi yang dilakukan pihak pemilik otoritas (pejabat negara). Bahkan, di era Reformasi, praktik ini masih terus berjalan.

Hanya Tuhan yang Mahaadil, bukan manusia pemilik hak otoritas (raja/presiden/penguasa). Sehingga, laku ‘nrimo’ semestinya hanya tertuju pada Tuhan. Penguasa yang tidak berkeadilan wajib disanggah. Tanpa adanya daya kritis, maka akan sulit memberantas korupsi. Sebab, mayoritas pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang ‘dihormati rakyat’ seperti; ulama, anggota DPR, pemangku adat, dan (bahkan) Presiden.

Banyak kearifan lokal yang telah dimanipulasi pemerintah kolonial untuk melumpuhkan daya kritis alamiah manusia Indonesia. Karena itu, GNPK sebaiknya menjalin kerjasama dengan para ahli (praktisi) budaya untuk menelaah norma sosial-kolonial dan menyebarkan kembali hasil koreksinya. Agar ‘kepatuhan’ (ketakutan) pada ketidakadilan bisa dihentikan. Tanpa keberanian mendobrak budaya paternalistik, tidak akan muncul whistle blower atau justice collaborator.

Mata rantai yang paling utama dari jaringan korupsi adalah DPR. Dalam sepuluh tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kepatuhan pada budaya paternalistik dalam pribadi (mantan) presiden ini masih kuat. Meski memiliki karir sebagai Jendral (militer) yang cemerlang, Susilo Bambang Yudhoyono takut menghadapi otoritas DPR yang memang dikuasai para penguasa paternalistik. Akibatnya, terjadi pembiaran korupsi di jajaran DPR. Bahkan, dana yang belum ada pun sudah dikorupsi. GNPK perlu menyatukan dukungan dan opini publik agar Jokowi ‘berani’ mendobrak iklim paternalistik. Sehingga, akar-akar korupsi di DPR bisa dibasmi.

[caption id="attachment_358006" align="aligncenter" width="630" caption="Ekspresi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika Menpora Andi Mallarangeng ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto. Dok. lensaindonesia.com)."]

[/caption]

Selanjutnya, masih pada konteks budaya, perlu pula dibudayakan kembali ‘hidup hemat dan sederhana’. Praktik-praktik korupsi terjadi karena mayoritas masyarakat Indonesia dan kebijakan publik rentan dipengaruhi budaya konsumtif. Hal ini diakibatkan banjirnya informasi dari media massa yang menyebarkan gaya hidup populer. Berpijak pada hasil penyigian beberapa bulan pertama tahun 2013 ternyata indeks kepercayaan konsumen Indonesia paling tinggi (124) di antara 58 negara-negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa dan Timur Tengah. Kepercayaan diri orang Indonesia untuk berbelanja bahkan jauh lebih tinggi daripada masyarakat negara-negara maju seperti Switzerland (98) dan Norwegia (98). Akibat tergiur hidup konsumtif inilah, terjadi korupsi dari keluarga Presiden sampai pejabat daerah.

Budaya konsumtif berbanding setara dengan potensi korupsi. Tidak sedikit kebijakan-kebijakan publik yang ‘konsumtif’ seperti kunjungan-kunjungan presiden atau pejabat publik sentral pemerintahan ke daerah. Bahkan upacara-upacara kenegaraan pun memboroskan kas negara ratusan juta. Akomodasi tamu undangan dan pasukan keamanan luar biasa mewah. Umumnya penginapan selalu di hotel berbintang. Belum termasuk transportasi dan biaya lainnya. Inipun belum termasuk kebijakan publik ‘liburan’ berkedok ‘studi banding’ relatif masih tinggi. Dari masa Orde Baru sampai rejim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan-kebijakan konsumtif menjamur.

Alangkah indahnya bila dana yang diperas dari darah dan keringat rakyat dikembalikan pada rakyat sebagaimana di negara Jepang dan Jerman. Di kedua negara ini, pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah telah ‘gratis’. Pemerintah kedua negara menyediakan banyak beasiswa di perguruan tinggi. Rakyat kedua negara inipun telah bisa menikmati pelayanan kesehatan (rumah sakit) secara gratis.

Oleh karena itu, GNPK perlu mensosialisasikan budaya ‘hemat dan sederhana’ di seluruh kalangan masyarakat, pejabat pelayan publik, dan mengupayakan penghapusan kebijakan-kebijakan publik yang bersifat konsumtif.

Tentunya, masih banyak langkah Revolusi Mental yang penting untuk diwujudkan GNPK dalam memberantas tindak pidana korupsi di Tanah Air. Jalinan komunikasi GNPK dengan masyarakat peduli pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dibentuk. Akan lebih baik lagi GNPK memiliki ‘media massa’ (surat kabar/majalah/acara televisi) khusus untuk menjalin dan memfokuskan ‘opini publik’ dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air. Agar visi bisa dijalankan sebagai gerakan kolektif, efektif, dan efisien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun