Judul: 4 Musim Cinta
Penulis: Abdul Gafur, Pringadi AS, Puguh Hermawan, Mandewi
Penerbit: Exchange
Tahun Terbit: Maret 2015
Jumlah Halaman: 333
ISBN: 9786027202429
CINTA merupakan benang merah novel 4 Musim Cinta (Exchange, 2015) karya Mandewi, Gafur, Puguh, dan Pringadi. Empat pengarang yang berprofesi sebagai birokrat, menuliskan empat tokoh sentral yang juga memiliki profesi sebagai birokrat. Mereka muda dan jatuh cinta. Ide novel ini dengan mudah memikat kita untuk jatuh cinta pada untaian kisah yang dipintal para pengarangnya.
Ketika Birokrat Muda Jatuh Cinta
Novel 4 Musim Cinta tidak menuturkan pergantian musim secara geografis. Kata 4 Musim tampaknya merupakan simbolisme empat karakter tokoh sentralnya yang memang terlibat petualangan dan upaya menemukan cinta. Gayatri, perempuan Bali yang berkarakter kuat dan mandiri, sehingga menyulitkan dirinya menemukan pria yang mampu membuat dirinya menyadari keberadaan ruang kosong dalam setiap diri—sebuah ruang yang menjadi tempat tumbuhnya benih-benih cinta. Gafur, pria Makassar yang memiliki karakter kompleks dan terbiasa berhubungan seks dengan kekasih yang berbeda, mengakibatkan dirinya meragukan pernikahan. Pring yang tengah memperjuangkan cinta dalam jalinan pernikahan, membuat kisah 4 Musim Cinta menjadi spesial. Kehadiran Arga, pria Jawa yang dihantui dilema cinta dan selalu gagal menjalin cinta, menjalinan kisah seluruh karakter menjadi sinergis.
Sejauh ini, belum ada konvensi dalam mengaitkan karakter manusia (tokoh fiksi) pada jenis-jenis musim. Masing-masing negara memiliki persepsi terhadap musim. Bila merujuk pada gugusan fonetik, tokoh Pring rentan direlevansikan dengan musim semi (spring). Bahkan, ia pun memiliki kecerdasan linguistik dan ahli mengukir kata-kata puitik. Kalimat sederhana bisa dituturkan dengan berbunga-bunga khas musim semi. Tapi, bila merujuk pada kebudayaan Jepang, musim semi (spring) lebih tepat diwakili Gafur. Sebab, musim semi dalam bahasa Jepang adalah eufemisme dari seks. Eufemisme ini dikukuhkan dengan karya seni ‘shunga’ (gambar musim semi) yang memang menampilkan gambar-gambar erotis dan hubungan seks. Di antara empat tokoh yang membangun pondasi 4 Musim Cinta, Gafur merupakan pribadi yang memberi warna kental seksualitas dan menempati posisi musim semi dalam perspektif budaya Jepang. Karena itu, ‘empat musim’ dalam novel ini lebih tepat merujuk pada simbolisme empat karakter yang membangun cerita: Pring, Gafur, Gayatri, dan Arga. Simbolisme ini bebas ditafsirkan sesuai kerangka budaya yang membentuk imaji para pembaca.
Sayangnya, ide penulisan 4 Musim Cinta dengan empat penulis dan empat tokoh sentral, tampaknya menjebak penokohan menjadi ‘tokoh kolektif’. Implikasinya, proses individuasi tokoh utama menjadi kurang maksimal. Pergantian tokoh dan setting yang dapat disebut berlangsung terlalu cepat, rentan mengakibatkan distraksi narasi dan alur menjadi kehilangan ketajaman fokus. Bahkan, pada sebagian bab akhir, terdapat peristiwa yang terlalu singkat dan seolah berganti dalam hitungan menit. Seolah-olah sebagian besar peristiwa terjadi dalam waktu bersamaan. Bila pengarang membubuhkan ‘tanggal dan tempat’ sebagai pembukaan pada beberapa bab penting, pembaca akan lebih mudah masuk ke dalam ruang dalam dimensi cerita.
Birokrasi negara yang menjadi daya tarik dan keunikan novel ini, juga kurang diolah. Porsi birokrasi negara dalam 4 Musim Cinta masih berada di permukaan, yaitu kesibukan dan keluhan-keluhan para birokrat muda dalam suasana kerja yang paternalistik dan monoton. Kasus korupsi yang menjadi polemik besar dalam birokrasi negara hanya diulas dalam beberapa kalimat (lihat hal. 220). Hingga bab terakhir, tidak terlihat upaya (inovasi) para tokoh untuk mengubah kondisi atau sistem yang tidak kondusif tersebut.
Meskipun narasi menggunakan bahasa yang cenderung mudah dipahami, perubahan setting dan pergantian tokoh yang cepat, menuntut ‘kesabaran’ dalam menuntaskan membacanya. Dan melihat materi yang ditawarkan pengarang, 4 Musim Cinta tidak akan lengkap tanpa diberi label ‘17+’. Sebab, sebagian tokoh terlibat dalam relasi cinta yang ‘tidak biasa’ dan cukup gamblang menuturkan seksualitas yang melanggar tabu.
Dalam narasi novel 4 Musim Cinta, terjadi begitu banyak repetisi mengenai minat menulis, pertanyaan-pertanyaan tentang cinta, dan suasana monoton birokrasi negara. Repetisi tersebut rentan menimbulkan kejenuhan pembaca. Porsi ‘dialog’ mendominasi peristiwa. Hal ini mengakibatkan para tokoh terkesan ‘cerewet’ dan menggurui pembaca. Padahal, untuk meneguhkan eksistensi karakter, narasi merupakan jalan yang efektif.
Dari beragam sisi kekurangan dan kelebihan 4 Musim Cinta, keberadaan cinta dalam belenggu budaya misoginis membuat novel ini menjadi istimewa.