Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menguak Keajaiban Anak Berkebutuhan Khusus Melalui Optimalisasi Teknologi Digital

14 Agustus 2018   23:35 Diperbarui: 14 Agustus 2018   23:48 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Berkebutuhan Khusus dan teknologi digital. Foto dari: https://regional.kompas.com/read/2016/08/17/07221221/cerita.ufa.guru.bagi.kemerdekaan.anak-anak.berkebutuhan.khusus.

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak ajaib. Sebagaimana penyandang disabilitas pada umumnya, ABK harus melintasi batasan-batasan yang luar biasa untuk meraih kesuksesan. Berkat pendidikan yang tepat, ABK akan menemukan potensi bakat intelegensia, sehingga bisa mengaktualisasikan diri dan meraih kesuksesan. 

Melalui optimalisasi teknologi digital, keluarga ABK bisa mengupayakan pengadaan pendidikan dalam menemukan bakat intelegensia ABK. Bila ABK bisa mengembangkan potensi intelegensia, mereka tidak hanya sekadar sukses, tetapi juga bisa menyebarkan inspirasi tidak bertepi dan berpartisipasi aktif dalam memajukan peradaban bangsa. Hal ini akan memicu individu yang memiliki anggota tubuh yang lengkap  untuk berkarya dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara.  Bila ABK bisa meretas kesuksesan; Anda yang memiliki 'label' normal tentu juga bisa  sukses!      

 ABK di Indonesia

Sebagaimana manusia pada umumnya, ABK memiliki keberagaman intelegensia (multiple-intellegences) yang meliputi: kecerdasan linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Sayangnya, inovasi pendidikan di sektor ABK di Indonesia, masih cenderung terbatas. Implikasinya, ABK mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan. Berdasarkan Suvei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2016; menunjukkan bahwa dari 4,6 juta anak yang tidak sekolah, satu juta di antaranya adalah ABK.     

Kurikulum pendidikan formal di Indonesia kurang fleksibel sebagaimana di Finlandia. Sebagai sebuah negara yang menjadi kiblat ilmu pendidikan, para tenaga pendidik di Finlandia diberi hak istimewa untuk menyesuaikan pengajaran sesuai dengan potensi atau kebutuhan masing-masing anak didik. Di Indonesia, pendidikan cenderung berorientasi pada kelas (class-centered school). Sementara itu, Finlandia telah lama mengembangkan sekolah berorientasi individu (individual-centered school).  Tidak mengherankan, lembaga pendidikan konvensional di Finlandia membuka ruang yang mengakomodasi bagi seluruh anak untuk meraih pendidikan formal, termasuk ABK. Di negara tersebut, ABK bisa menjalani pendidikan formal bersama anak-anak pada umumnya.

Lembaga pendidikan formal bagi Anak Berkebutuhan Khusus masih terbatas. Sumber foto: www.websitependidikan.com
Lembaga pendidikan formal bagi Anak Berkebutuhan Khusus masih terbatas. Sumber foto: www.websitependidikan.com
Selain itu, terdapat kelangkaan lembaga pendidikan formal (SLB) di  daerah Indonesia. SLB pun cenderung didominasi yayasan atau lembaga swasta yang  relatif mahal. Tidak mengherankan, ABK yang berhasil memperoleh pendidikan formal di Indonesia, masih relatif terbatas. Apalagi masyarakat cenderung memberi label negatif pada ABK. Hingga sekarang, masih banyak keluarga yang membatasi mobilisasi ABK karena dinilai tidak mampu mengaktualisasikan diri. Akibatnya, ABK cenderung dinilai sebagai beban bagi masyarakat.

Walaupun demikian, hambatan tersebut bukanlah rintangan yang membuat keluarga ABK menyerah untuk memberikan pendidikan bagi ABK. Apalagi, pendidikan bukan hanya berada di ruang kelas lembaga pendidikan formal semata, tetapi upaya pembelajaran yang bisa di lakukan di mana pun kita berada. Sebab, keberhasilan pendidikan sejatinya bisa diukur ketika ilmu pengetahuan yang dipelajari dapat dimanfaatkan bagi kebaikan diri individu dan kehidupan sosial-masyarakat. Oleh karena itu, setiap tempat bisa dijadikan sebagai 'sekolah' dan setiap orang yang mengajarkan ilmu yang bermanfaat bisa dijadikan 'guru'. Teknologi digital memberi peluang besar untuk merealisasikan pendidikan dan penemuan bakat intelegensia ABK.   

Peran Komunikasi dalam Pendidikan Bagi ABK  

Kunci dari pendidikan yang sesungguhnya sangat sederhana, yaitu: komunikasi. Bila ABK telah bisa komunikasi dengan non ABK (non-disabilitas), maka pendidikan sudah bisa berjalan. Keluarga ABK memiliki peran penting dalam upaya membangun komunikasi dengan ABK. Bila komunikasi dengan ABK telah terjalin, maka ABK akan menemukan 'batu loncatan' untuk memiliki kepercayaan diri dan berinisiatif dalam mengaktualisasikan diri. Untuk berkomunikasi dengan ABK, keluarga harus menghapus persepsi negatif dalam menilai ABK.

Dalam mindset keluarga harus tertanam bahwa ABK merupakan anugerah Tuhan; bukan beban masyarakat. Bila mindset ini sudah tertanam dalam self-concept keluarga, maka komunikasi akan efektif karena secara psikologis (batiniah) ABK membuka diri-sosial (the social self). Ketika ABK mulai bisa bersosialisasi, maka saat itu pula ABK akan memiliki inisiatif untuk berinovasi dalam mengaktualisasikan diri.

Keberhasilan komunikasi ABK yang legendaris dapat kita cermati dalam relasi yang dibangun Anne Mansfield Sullivan (Anne Sullivan) dengan Helen Adams Keller (Helen Keller). Anne Mansfield Sullivan merupakan seorang guru privat yang dipercaya keluarga Hellen Keller untuk memberikan pendidikan bagi Helen Keller. Mulanya, Helen Keller merupakan ABK yang mengalami gangguan penglihatan dan pendengaran. Sebelum kedatangan Anne Mansfield Sullivan, Helen Keller hanya seorang ABK yang kebingungan dan kesulitan mengontrol emosi. Keputusan keluarganya untuk memberi pendidikan dengan menggunakan jasa Anne Mansfield Sullivan tidak hanya membantu Helen Keller menjadi ABK yang mampu berkomunikasi dan memiliki budi pekerti mulia; tetapi juga mengubah dunia.

Helen Keller dan Anne Mansfield Sullivan. Sumber foto: www.digitalcommonwealth.org
Helen Keller dan Anne Mansfield Sullivan. Sumber foto: www.digitalcommonwealth.org
Helen Mansfield Sullivan merupakan perempuan yang memiliki self-concept yang penuh toleransi, berupa: kesabaran, optimisme tinggi, integritas, disiplin, kasih sayang yang tidak terbatas, ketulusan, keberanian, kegigihan berusaha tanpa pamrih, visioner, dan cinta pada kemanusiaan. Self-concept inilah yang memberi pengaruh pada pembangunan karakter pada Helen Keller dan menjadi rule model utama Helen Keller. Seandainya keluarganya tidak memutuskan menjalin kerja sama dengan Anne Mansfield Sullivan, Helen Keller tentu akan sulit untuk mengaktualisasikan diri.

Sejak awal bertemu, Helen Mansfield Sullivan memiliki mindset bahwa Helen Keller memiliki potensi yang luar biasa. Bila ia bisa menerobos 'ilusi' benteng komunikasi yang memisahkan antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas, maka ia bisa menuntun Helen Keller untuk menjadi pribadi yang mampu mengaktualisasikan diri. Tidak mengherankan Helen Keller menulis: Saya ingat hari yang terpenting dalam hidup saya adalah saat guru saya, Anne Mansfield Sullivan, datang pada saya.

Toleransi merupakan sikap hidup diajarkan Anne Mansfield Sullivan pada Helen Keller. Bahwa toleransi bukan sekadar hidup 'berdampingan' dalam keberagaman; melainkan memiliki inisiatif untuk melakukan kebaikan pada orang lain sebagaimana diri kita juga ingin diperlakukan baik. Anne Mansfield Sullivan merupakan figur berpendidikan dan merasakan manfaat pendidikan. Oleh karena itu, Anne Mansfield Sullivan juga gigih memperjuangkan pendidikan bagi Helen Keller. Hal inilah tampaknya yang menginspirasi Helen Keller untuk mengukuhkan bahwa: pencapaian tertinggi pendidikan adalah toleransi.

Berkat pendidikan yang diberikan Anne Mansfield Sullivan, Helen Keller menemukan potensi intelegensia dalam pendidikan. Ia menjadi penyandang disabilitas dengan 'gangguan penglihatan dan pendengaran' yang pertama kali menjalani pendidikan dan meraih gelar akademis setingkat sarjana. Tidak tanggung-tanggung, ia berhasil menyelesaikan pendidikan dalam waktu empat tahun dari Radcliffe Collage, Universitas Harvard--salah satu perguruan bergengsi di Eropa--dengan predikad magna cum laude. Setelah meraih gelar akademis, Helen Keller aktif sebagai dosen, penulis, dan aktivis sosial yang sangat termasyur. Bahkan, karyanya jauh melampaui orang-orang yang memperoleh 'label' normal. Bukankah ini ajaib? 

Helen Keller ketika wisuda kelulusan dari Radcliffe Colloge. Sumber foto: http://www.historyrevealed.come
Helen Keller ketika wisuda kelulusan dari Radcliffe Colloge. Sumber foto: http://www.historyrevealed.come
Anne Mansfield Sullivan adalah salah seorang figur pendidik yang semestinya menjadi teladan bagi orangtua untuk membantu menuntun ABK dalam memperoleh pendidikan. Bahwa pendidikan bukan sekadar tuntutan kurikulum yang diperoleh di lembaga pendidikan formal; melainkan menuntun seorang anak untuk menemukan bakat intelegensia yang menjadi benih-benih keahlian, kemuliaan, dan kemanusiaan. Berkat keteguhan serang guru, keajaiban yang tersimpan dalam label ABK, terkuak.

Secara psikologis, ABK memiliki kecenderungan membangun benteng dengan kehidupan non-disabilitas. Hal ini disebabkan hambatan fisik atau psikologis yang disandangnya. Dengan membentengi diri, ABK bisa meminimalisir gangguan yang datang dari luar diri. Komunikasi yang tepat akan membantu ABK untuk meruntuhkan benteng pembatas tersebut. Implikasinya, ABK akan membuka diri untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, dan memiliki inisiatif berinovasi.        

Dalam situs sahabatkeluarga.kemendikbud.go.id terdapat informasi mengenai lima konsep teknik komunikasi yang dapat diajarkan keluarga dalam menuntun ABK untuk memiliki kemandirian. Teknik ini merupakan hasil rumusan Janice Light dan Kathy Drager. Visualisasi lima konsep komunikasi tersebut dapat disaksikan dalam film Helen Keller: The Miracle of Worker.

Meskipun bisa menghidupkan karakter Anne Manfield Sullivan dan Helen Keller, efek dramatis terlalu kontras karena memang tidak dimaksudkan untuk medium pembelajaran. Hal ini diperkuat dengan film dokumenter yang menampilkan relasi yang sangat hangat dan penuh kasih sayang antara  Helen Keller dan Anne Manfiled Sullivan. Di mana Anne Mansfield Sullivan merelakan bagian mulut dan wajahnya disentuh Helen Keller dalam berkomunikasi.


Oleh karena itu, dalam mencermati (mempelajari) konsep rumusan Janice Light dan Kathy Drager melalui film Helen Keller: Miracle of Worker, kita harus mengabaikan efek dramatis dari para tokoh dalam film tersebut. Lima konsep komunikasi dengan ABK dalam film tersebut antara lain:  

Pertama, tanamkan manfaat komunikasi pada ABK

Pada dasarnya, setiap manusia telah memiliki persepsi pribadi dalam mempersepsikan lingkungan di sekitarnya. Persepsi itu dibentuk tubuh dan kondisi psikologis dalam beradaptasi dengan lingkungan. ABK tidak memiliki anggota tubuh atau kondisi psikologis sebagaimana manusia.  Meskipun demikian, ABK menggunakan bagian-bagian tubuh atau psikologis yang berbeda untuk menerjemahkan lingkungan.

Misalnya, dalam buku The World I Live In Helen Keller menuliskan bahwa: meskipun tidak melihat mendung atau awan gelap di langit; ia tahu bahwa hujan akan datang. Hal ini disebabkan Anne Mansfield Sullivan memberi nama pada menuliskan huruf berbunyi benda-benda atau kondisi alam di lingkungannya pada kulit Helen Keller. Inilah cara Anne Mansfield Sullivan berkomunikasi dengan Hellen Keller. Komunikasi ini bisa terwujud berkat usaha Anne Mansfield Sullivan yang tidak kenal lelah untuk menyentuh kulit Helen Keller dengan gerakan yang membentuk huruf-huruf nama benda atau kondisi lingkungan.              

Kedua, bangun kedekatan

Tanpa adanya kedekatakan, komuniksi dengan ABK akan sulit untuk berjalan. Kedekatan karena adanya ketulusan, rasa kasih sayang, dan juga cinta. Tanpa nilai-nilai ini, kedekatan tidak akan tumbuh dan komunikasi akan terhambat. Kedekatan tersebut bisa kita saksikan pada dokumentasi Anne Mansfield Sullivan dan Helen Keller. Dari gestur atau body language terlihat kedekatan yang luar biasa. Anne Mansfield Sullivan bukan sekadar guru yang memberi instruksi; tetapi juga ia juga berperan sebagai sahabat, orangtua, dan teladan bagi Helen Keller.   

Ketiga, perbanyak kosakata

Dunia dibentuk simbol-simbol bahasa berupa kosakata. Semakin banyak kosakata yang kita miliki, maka semakin luas pula dunia yang kita kenal. Hal inilah yang diajarkan Anne Mansfield Sullivan pada Helen Keller. Memang, usaha tersebut tidaklah mudah atau bersifat instan.

Anne Mansfield Sullivan perlu ratusan kali untuk melakukannya karena sebagai ABK dengan gangguan penglihatan, Helen Keller tidak bisa melihat wujud fisik dari benda atau kondisi yang lambangkan susunan simbol-simbol bahasa tersebut. Usaha ini baru membuahkan hasil pada 5 April 1887. Di hari itu, Anne Mansfield Sullivan menuntun Helen Keller ke pompa air dan memompakan air. Saat Helen Keller menyentuh air dan merasakan dinginnya; Anne Mansfield Sullivan menyentuh kulit Helen Keller dengan simbol bahasa braille dengan huruf W-A-T-E-R (AIR). Inilah momentum di mana runtuhnya batasan antara disabilitas dan non-disabilitas antara Helen Keller dan Anne Mansfield Sullivan. Helen Keller pun mengenal bahwa seluruh alam yang dikenalnya atau 'dilihat' melalui indra peraba, memiliki nama-nama.

Momentum tersebut tidak disia-siakan Anne Mansfield Sullivan untuk menuntun Helen Keller untuk membaca. Dengan demikian, dunia Helen Keller yang semulanya hanya sunyi dan kegelapan, menjadi 'terang benderang' dan luas. Tidak hanya indra peraba, indra penciuman Helen Keller pun semakin terasah. Helen Keller bisa mengetahui perubahan musim di Eropa melalui aroma bunga-bunga tertentu yang diciumnya. Sebab, beberapa bunga memiliki musim tertentu untuk bisa mekar.

Helen Keller tidak hanya sekadar mencium aroma bunga; tetapi mengetahui perubahan musim dan pergantian bulan melalui aroma bunga. Sumber foto: www.indiatoday.in
Helen Keller tidak hanya sekadar mencium aroma bunga; tetapi mengetahui perubahan musim dan pergantian bulan melalui aroma bunga. Sumber foto: www.indiatoday.in
Keempat, ciptakan suasana yang menyenangkan.

Komunikasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa suasanan yang menyenangkan. Dua hal yang menjadi kunci komunikasi dengan ABK atau anak-anak pada umumnya; adalah suasana bermain dan alam bebas (di luar ruangan).

Secara naluriah, anak-anak suka berlari atau bergerak bebas di alam. Tidak mengherankan anak-anak suka membuat keributan dan bergerak aktif bila ditempatkan di dalam ruangan untuk waktu yang lama. Tenaga pendidik yang belum memahami psikologi perkembangan atau pertumbuhan anak akan rentan menilai (memberi label) sebagai anak nakal atau susah diatur. Kondisi tersebut sesungguhnya merupakan 'kebutuhan' tubuh yang juga dialami orang dewasa non-disabilitas. Dengan bergerak di alam bebas; tubuh akan menjadi lebih rileks, hormon pertumbuhan bekerja dengan efektif, dan otak bekerja lebih aktif.

Oleh sebab itu, salah satu langkah untuk membangun komunikasi yang efektif dengan ABK adalah dengan membawa ABK ke luar ruangan. Tentunya, harus dipastikan kondisi di luar ruangan tersebut benar-benar aman bagi keselamatan anak-anak.                  

Kelima, gunakan AAC (Augementative Alternative Communication)

ACC merupakan transformasi komunikasi konvensional menjadi bentuk-bentuk komunikasi yang dibisa dipahami ABK untuk mengatasi hambatan fisik/psikologis sesuai dengan jenis disabilitas yang disandangnya. Misalnya, pada ABK yang mengalami gangguan penglihatan sebagaimana yang dialami Helen Keller, komunikasi bisa dengan menggunakan simbol-simbol huruf braille. ABK yang tidak mengalami gangguan penglihatan dan masih memiliki anggota tubuh luar yang lengkap, bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Pada tahap yang mutakhir, kita bisa menyaksikan penemuan software komputer yang digunakan Steven Hawking dalam mengaktualisasikan diri.

Komunikasi dengan ACC inilah yang perlu terus dikembangkan dan 'dimasyarakatkan'. Melalui teknologi digital (internet) orangtua ABK dan seluruh lapisan masyarakat dapat berbagi informasi AAC. Perkembangan populasi masyarakat yang menggunakan perangkat komunikasi teknologi digital yang semakin berkembang pesat; membuka peluang untuk persebaran teknik AAC khususnya yang bersifat tradisional (braille/bahasa isyarat). Bila AAC bisa dikuasai masyarakat luas, ABK akan lebih percaya diri untuk mengaktualisasikan diri karena menyadari bahwa mereka bisa berkomunikasi dan diterima sebagai bagian dari anggota masyarakat.

Pada sasaran yang lebih maksimal; ABK dan masyarakat bisa menjalin komunikasi melalui teknologi digital. Dengan demikian, 'mobilisasi' yang menjadi hambatan utama bagi ABK untuk mengaktualisasikan diri, bisa diatasi. Bila pendidikan berbasis teknologi digital dikembangkan, pemerintah akan lebih mudah untuk memeratakan pendidikan formal bagi ABK. ABK bisa menjalani pendidikan formal di rumah secara online sebagaimana mahasiswa Universitas Terbuka di Indonesia menjalani pendidikan formal.

kesabaran, optimisme tinggi, integritas, disiplin, kasih sayang yang tidak terbatas, ketulusan, keberanian, kegigihan berusaha tanpa pamrih, visioner, dan cinta pada kemanusiaan; merupakan kunci untuk berkomunikasi dan menuntun ABK dalam penemuan bakat intelegensia. Sumber foto: blog.schoolspecialty.com
kesabaran, optimisme tinggi, integritas, disiplin, kasih sayang yang tidak terbatas, ketulusan, keberanian, kegigihan berusaha tanpa pamrih, visioner, dan cinta pada kemanusiaan; merupakan kunci untuk berkomunikasi dan menuntun ABK dalam penemuan bakat intelegensia. Sumber foto: blog.schoolspecialty.com
Komunikasi Peduli ABK Melalui Teknologi Digital 

Salah satu kesalahan persepsi yang signifikan dalam menilai ABK adalah paradigma konvensional bahwa manusia normal adalah manusia yang memiliki organ tubuh yang lengkap dan kondisi psikologis yang sehat. Manusia yang memiliki label normal inilah yang bisa berkembang kecerdasan, memiliki keahlian, bisa memperoleh pendidikan layak, dan bisa mengaktualisasikan diri.

Padahal, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Hal ini bisa mematahkan teori Montessori yang menetapkan bahwa kecerdasan terpusat pada jasmani (tubuh) dan menjadikan tangan sebagai sentralnya. Bila seorang manusia tidak memiliki gangguan yang bersifat destruktif dan otak masih bisa berfungsi, maka ia memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Safrina Rovasita membuktikan bahwa cerebal palsy yang mengakibatkan gangguan fungsi motorik, tidak bisa melumpuhkan usahanya untuk meraih pendidikan tinggi dan mengaktualisasikan diri. Tidak hanya tangan, Safrina Rosavita juga mengalami kesulitan untuk menggerakkan organ tubuh lainnya. Tetapi, kondisi tersebut tidak bisa membinasakan impiannya untuk meraih pendidikan setingkat megister (S2) dan mendedikasikan diri sebagai guru. Bagi Safrina Rovasita, semangat adalah hal yang utama baginya untuk maju.

Teknologi digital (internet) membuka peluang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan ABK. Hambatan mobilisasi yang menjadi momok utama bagi ABK bisa diatasi. Batasan-batasan geografis semakin tiada. Komunikasi berbasis teknologi digital akan mempermudah para keluarga ABK di seluruh penjuru dunia untuk berkomunikasi dalam memberikan pendidikan yang layak dalam menggali potensi ABK. Tenaga pendidik dapat menciptakan inovasi berupa konten digital pembelajaran audio-visual yang bisa di sebarkan melalui berbagai media di internet khususnya media sosial. Melalui komunikasi pendayagunaan teknologi digital, masyarakat umum pun bisa berpartisipasi untuk memberikan berbagai dukungan bagi keluarga ABK; baik berupa dukungan finansial ataupun moral. Bahkan, masyarakat umum pun bisa berpartisipasi dalam penciptaan media pembelajaran digital bagi ABK.

Konten digital pembelajaran bagi ABK dapat disebarkan melalui berbagai media digital internet; seperti youtube, facebook, twitter, blog, instagram, website, dan beragam media digital lainnya yang tersedia di internet. Melalui website sahabatkeluarga.kemendikbud.go.id, Kemendikbud telah merintis distribusi informasi yang kaya manfaat bagi keluarga ABK. Bila informasi tersebut diimplementasikan; maka ABK akan mampu menemukan jalan untuk menerobos batasan fisik/psikologis, berinisiatif untuk mengaktualisasikan diri, bisa berkarya, dan aktif memberi kontribusi pada negara.    

Terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk mengoptimalkan teknologi digital dalam pendidikan bagi ABK, antara lain:

Pertama, optimalisasi sharing experiences melalui media sosial

Media sosial merupakan medium yang memiliki fungsi yang sangat besar dan belum dioptimalkan. Salah satu manfaat media sosial adalah bisa terciptanya komunikasi global tanpa perlu adanya mobilisasi. Para penyandang disabilitas, terutama ABK beserta keluarga, bisa berkomunikasi dengan masyarakat luas.

Keluarga ABK bisa membentuk grup dalam sharing experiences antar keluarga ABK. Melalui grup ini, keluarga ABK bisa saling menguatkan dan membagikan informasi mengenai perkembangan ABK, termasuk berbagi foto atau video kegiatan ABK. Media sosial juga didukung UU No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik. Pihak-pihak yang melecehkan tampilan fisik ABK yang dinilai 'berbeda' bisa ditetapkan sebagai pelanggaran hukum. Dengan demikian, kepercayaan diri ABK dan kepercayaan diri keluarga akan tumbuh. ABK beserta keluarga bisa berkomunikasi dan bersosialisasi. Dengan demikian, proses pendidikan atau peningkatan kualitas pendidikan bagi ABK sudah bisa diselenggarakan.

Kedua, pembentukan komunitas peduli ABK

Dari grup virtual keluarga ABK yang bersifat online, kita bisa membangun komunitas peduli ABK di dunia nyata. Melalui komunitasi ini, para ABK beserta keluarga, bisa mengadakan pertemuan atau 'kopi darat', lalu bersosialisasi atau melakukan kegiatan yang bersifat rekreasi.

Selain itu, komunitas ini bisa menjalin kerja sama dengan LSM kemanusiaan atau pemberdayaan masyarakat lainnya. Dengan adanya kerja sama ini; keluarga ABK bisa menyelenggarakan komunikasi sosial dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat pada keberadaan ABK. Melalui langkah ini, keluarga ABK juga bisa membagikan informasi bahwa semua orang berpotensi besar menjadi disabilitas. Apalagi, orang yang sehat dan memiliki fisik yang sempurna sewaktu-waktu bisa mengalami kecelakaan atau penyakit yang mengakibatkan gangguan fungsi tubuh/jiwa. Memberikan lingkungan yang baik dan mendukung ABK untuk berkarya merupakan sebuah langkah yang tepat untuk masa depan semua umat manusia.       

Ketiga, penciptaan video tutorial keterampilan praktis

Pendidikan yang sejati tidak terbatas pada ruang kelas sebagaimana yang terjadi di lembaga pendidikan formal. Ketika ABK sudah bisa berkomunikasi dengan non-disabilitas; saat itu pula mereka bisa menjalani pendidikan. Sebab, saat itu pula seorang ABK bisa diajarkan berbagai keterampilan yang sesuai dengan jenis disabilitas yang disandangnya.

ABK yang tidak memiliki tangan bisa dilatih untuk memaksimalkan fungsi kaki, sehingga bisa menghasilkan karya seni seperti lukisan. ABK yang kehilangan fungsi tangan dan kaki; bisa dilatih untuk memaksimalkan fungsi mulut, lidah, ataupun gigi. Mulut bisa dimaksimalkan fungsinya, sehingga bisa digunakan untuk mengetik atau menggerakkan bisnis online.

Seluruh lapisan masyarakat bisa turut berpartisipasi untuk menciptakan video tutorial yang memberi stimulus bagi ABK untuk memaksimalkan fungsi organ tubuh yang tidak terganggu. Video bisa berbentuk film dokumenter ABK atau penyandang disabilitas yang sukses menghasilkan karya dengan menggunakan organ tubuh yang tidak mengalami gangguan. Video ini akan memberi stimulus bagi ABK untuk keluar dari zona aman dan berani melakukan yang sama. Segala tindakan positif yang dilakukan dengan senang hati dan dilakukan berulang kali akan menjadi keahlian. 

Keempat, penghargaan atau insentif bagi ABK berprestasi

Untuk memicu ABK untuk terus mengaktualisasikan diri; perlu diselenggarakan event penghargaan bagi ABK yang berprestasi. Dengan jalan ini, ABK yang berprestasi berpotensi besar untuk terus meningkatkan kualitas karya. Sedangkan ABK yang belum berkarya akan terpicu untuk berkarya. Penghargaan juga bisa berbentuk dana insentif guna pengembangan karya dalam wujud wirausaha. Tentunya, event ini perlu dukungan penuh keluarga. Agar ABK yang belum memperoleh penghargaan tidak mengalami frustasi (depresi) karena belum memperoleh penghargaan, tetapi semakin terpicu untuk meningkatkan kualitas diri dalam wujud menciptakan karya yang lebih baik.  

Kelima, penghargaan atau insentif bagi aktivis ABK

Perlu adanya penghargaan bagi tokoh masyarakat (aktivis) yang aktif dalam menggerakkan pemberdayaan ABK. Tokoh masyarakat ini bisa menjadi figur publik yang menjadi pusat informasi mengenai penanganan ABK. Melalui upaya ini, masyarakat akan semakin mengenal dan mengetahui upaya-upaya untuk memberikan pendidikan yang layak bagi ABK.    

Keenam, peningkatan sarana infrastruktur teknologi digital

Selain mengupayakan pembangunan infrastruktur fisik dan sosial, pemerintah perlu meningkatkan kualitas daya akses teknologi digital (internet). Agar komunikasi keluarga ABK melalui teknologi digital bisa berjalan lebih efektif, meningkatkan distribusi konten positif yang bermanfaat bagi ABK, dan memicu tumbuhnya kesadaran kolektif untuk peduli pada ABK.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa perkembangan teknologi digital membuka peluang yang sangat besar bagi ABK untuk menggali potensi diri. Keluarga ABK memiliki peran penting dalam membangun komunikasi antarsesama keluarga ABK dan masyarakat luas. Melalui komunikasi berbasis teknologi digital, pemerataan pendidikan bagi ABK akan tercapai. ABK akan memiliki peluang besar untuk menemukan bakat intelegensia, mengaktualisasikan potensi diri dalam wujud karya, dan berperan aktif dalam memajukan peradaban. Seiring dengan kesuksesan tersebut, individu yang memiliki anggota tubuh yang lengkap, tentu akan termotivasi untuk berkarya dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara. Bila ABK bisa sukses; semua orang juga pasti bisa sukses!  

 ***

Sunber Referensi:

[1] Artikel berjudul 5 Langkah Ajarkan Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus oleh Yanuar Jatnika dari sahabatkeluarga.go.id

[2] The World I live In oleh Helen Keller terbit pertama kali tahun 1908. Buku ini dalam format digital dapat diperoleh pada link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=E71gHEH3Xyc

atau dalam bentuk video:

[3] Tesis Safrina Rovasita berjudul Pengaruh Sharing Experiences Penyandang Cerebral Palsy Terhadap Relisiensi Orangtua Anak cerebral Palsy Yang Terhimpun Dalam Group Facebook Orangtua Anak Cerebral Palsy (2016).

[4] Bunga rampai Difabel di Sekitarku disusun Rofik Mohamad (PPRBM Solo, 2016)   

***

#sahabatkeluarga 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun