Kekerasan fisik adalah permasalahan serius yang dapat terjadi di berbagai lingkungan, termasuk dunia kerja. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga menciptakan dampak negatif bagi individu maupun institusi. Kasus penganiayaan yang dialami dokter koas Muhammad Luthfi di Palembang menjadi contoh nyata tentang bagaimana kekerasan fisik dapat muncul akibat konflik yang tidak dikelola dengan baik. Artikel ini akan mengupas penyebab kekerasan fisik di dunia kerja, dampaknya, serta langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Kekerasan fisik di dunia kerja sering kali terjadi akibat ketidakseimbangan kekuasaan, budaya kerja yang tidak sehat, serta kurangnya mekanisme pencegahan dan pelaporan. Oleh karena itu, penting untuk membangun sistem kerja yang menghormati profesionalisme dan mengutamakan penyelesaian konflik secara konstruktif.
Kekerasan fisik, seperti yang didefinisikan dalam Pasal 351 KUHP dan UU PKDRT, mencakup segala tindakan yang sengaja melukai atau mencederai seseorang. Dalam dunia kerja, kekerasan ini sering kali dipicu oleh ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban, seperti hubungan atasan-bawahan. Selain itu, budaya kerja yang permisif terhadap perilaku kasar serta lemahnya penerapan aturan juga menjadi faktor pendorong.
Kasus penganiayaan dokter koas Muhammad Luthfi di RSUD Siti Fatimah menunjukkan bagaimana konflik profesional dapat memicu kekerasan fisik. Ketidakpuasan terhadap jadwal jaga memicu emosi, yang diperparah dengan campur tangan pihak luar, yaitu keluarga dokter koas lainnya. Kekerasan yang dilakukan oleh sopir keluarga terhadap Luthfi mencerminkan bagaimana konflik sederhana dapat berubah menjadi insiden serius jika tidak dikelola dengan baik.
Pandangan saya terhadap kasus ini adalah bahwa kekerasan fisik tidak pernah dapat dibenarkan, apa pun alasannya. Dalam lingkungan kerja, tindakan ini mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap etika profesional dan menunjukkan kelemahan sistem pengelolaan konflik. Jika tidak ditangani dengan serius, kasus seperti ini dapat menciptakan trauma bagi korban, merusak hubungan kerja, dan mencoreng reputasi institusi terkait.
Universitas dan institusi pendidikan juga memiliki peran penting dalam mencegah kasus serupa. Mahasiswa harus dibekali dengan pelatihan manajemen konflik, komunikasi efektif, serta pengetahuan tentang hak-hak mereka di dunia kerja. Selain itu, institusi harus menyediakan saluran pelaporan yang aman dan memastikan pengawasan ketat terhadap praktik kerja di lapangan.
Kekerasan fisik di dunia kerja adalah masalah serius yang memerlukan perhatian semua pihak. Kasus di Palembang ini menunjukkan bahwa tanpa manajemen konflik yang baik, bahkan masalah kecil dapat bereskalasi menjadi tindakan kekerasan yang merugikan semua pihak. Undang-undang yang ada sudah cukup memadai untuk menangani kekerasan fisik, tetapi implementasi dan kesadaran masyarakat harus terus ditingkatkan.
Rekomendasi saya agar kasus serupa tidak terulang adalah:
1. Meningkatkan pelatihan tentang manajemen konflik bagi semua pihak di dunia kerja.
2. Menegakkan aturan tegas terhadap kekerasan di tempat kerja.
3. Membuat saluran pelaporan yang aman dan efektif.