Mohon tunggu...
Sulastriya Ningsi
Sulastriya Ningsi Mohon Tunggu... -

Seorang muslimah yang tengah mengejar impian mulianya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjalanan untuk Sebuah Mimpi

13 September 2015   17:54 Diperbarui: 13 September 2015   17:54 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa kita menyaksikan atau merasakan bahwa, matahari itu terus melangkah dalam tarian radian lalu menyusuri pola jalan yang bersudut tak hingga. Apa kita menyaksikan atau merasakan bumi pun terus melangkah dalam pola lingkaran. Kita ? juga terus akan melangkah kan. Melangkah menuju kedewasaan. Ketika kaki kita dibawa langkah hingga begitu jauh perjalanan, Mampukah diri mampu bertanggungjawab atas nikmat menghirup udara lepas? Akankah hati sudah lebih kokoh dan tak serapuh kemarin ketika kesedihan tiba-tiba datang? Bisakah paradigma menjadi lebih luas tuk menelaah tragedi demi tragedi yang melintas di depan mata? Sebab ternyata, kedewasaan adalah tentang pilihan. Memilih untuk belajar mendewasa dari hari ke hari, atau menikmati hidup tanpa menemukan apa-apa. Kita dituntut bertanggung jawab atas pilihan kita entah kini, esok, atau nanti.

Kita bersama semesta terus melangkah mendewasa. Semesta mendewasa dengan terus meluas ke hingga yang entah tempatnya. Kita mendewasa dengan terus meluas hingga ke seluas-luasnya kesabaran, kesyukuran, dan keikhlasan. Menjadi dewasa adalah menjadi manusia yang mampu membawa hidup dengan kaki sendiri tanpa melupakan keikutsertaan orang-orang baik disekeliling kita. Menjadi dewasa merupakan sebentuk keberanian berdamai dengan segala yang memporak-porandakan rasa. Di titik itu kita diharapkan bisa menyikapi segala sesuatu dengan bijak. Kita yang diharapkan dapat mengubah bisa menjadi biasa, agar ‘tak bisa’ bukan lagi menjadi alasan.

Kita mendewasa bersama janji. Sebab janji adalah janji. sekuat apapun kita mengingkari akan ada saat kita tersadar bahwa janji adalah janji. Kita pernah berjanji kan pada Tuhan. Semoga kita tidak dibuat lupa. bahwa kita telah diwarisi pendengaran, penglihatan, dan hati yang semuanya akan diminta pertanggungjawaban. Kita telah berjanji. Bahwa kita adalah hamba Tuhan. Sejatinya kita mendewasa dengan langkah-langkah sebagai hamba Tuhan. Semoga Tuhan tetap menjadi yang pertama sesuai dengan janji. Patuh saja kepada Tuhan dan kepada semua kebenaran yang telah diturunkan-Nya maka semua akan membaik. Apapun yang terjadi kamarin, hari ini, atau esok tenangkan lah hati. Segala hal yang terjadi karena alasan yang baik dan bertujuan untuk kebaikan kita.

Kita menempuh perjalanan, dengan derap-derap langkah yang ekspektasinya dapat mendewasakan pemahaman. Sehingga kita dijadikan mengerti bahwa hidup bukan main-main. Kata semesta, “perbanyaklah belajar bukan main-main”, Karena hidup ini adalah keseriusan. Serius dalam belajar, belajar bersabar dan belajar bersyukur. Sebuah pembelajaran yang proses belajarnya tak pernah habis hingga usia lapuk disudahi waktu. tentang Usia yang lapuk itu. Tahu kan ? Suatu saat yang tersisa dari kita adalah nama dan sejarah perjalanan tentang langkah kita yang mendewasa. Namun pada akhirnya, orang-orang perlahan akan melupa. Lalu, tegakah kita tetap hidup tanpa mampu melakukan apa-apa. Esok…. jika kita hanya tinggal nama, siapkanlah nama terbaik untuk dikenang. Biasanya nama yang baik adalah nama orang baik. Bersama langkah menuju pendewasaan jadilah baik. Itu cukup.

Kelak kita yang telah menjadi dewasa. Jangan lagi banyak mengeluh. Jangan pula banyak menuntut. Yang telah dikanfaskan Tuhan untuk kita. Lihatlah dengan pandangan takjub, jangan suka mencela dengan rentetan gerutu dan keluhan. Jangan ya… ! Keluhan dan gerutu itu diwaspadai dapat merusak hati terlebih iman kita. Karena secara tidak sadar kita tengah mempertanyakan keadilan Tuhan. Betapa horornya pertanyaan itu. Jika kita tengah mempersoalkan ikhlas dan sabar. Marilah merenung. Mungkin dahi kita sudah jarang menyentuh tempat sujud. Tuhan tak meminta banyak bukan. Hanya mau kita merendah dan sadar bahwa tanpa Dia kita tiada dan bukanlah apa-apa. Dan ujung-ujungnya semua akan kembali pada terserah mana yang terbaik menurut Tuhan saja.

Kelak kita yang telah menjadi dewasa. Akan menikmati hidup sebagai perjalanan. Lalu menjadikan kehidupan dunia hanyalah persinggahan sementara dari sebuah perjalanan yang panjang. Ujungnya adalah entah. Tak mengapa jalan yang kita jejali serupa laribin yang rumit, asalkan Dia tetap menemami. Disaat kita tak sanggup mengenal detail kadar rasa di dalam hati. Kadang konsentrasinya begitu pekat hingga titih jenuh yang menghisteriskan. kadang encer tak karuan. Tenanglah jika bersama-Nya semua menjadi netral.

Kisah perjalanan kita tak selalu cerita senang, di sisi kehidupan ini takkan pernah berhenti menawarkan cobaan. Tawa dan air mata bergulir terus menerus. Sebagai cara Tuhan untuk mendekatan kita pada-Nya. Dia kuatkan kita dengan manisnya iman dalam kesabaran, kesyukuran, dan keikhlasan. Semoga kita dikaruniakan ketenangan hati dari kesetiaan kita bertemu Tuhan pada puncak tertinggi disepanjang sujud sepertiga malam. Untuk perjalanan dalam meniti sebuah mimpi, bertemu dengan-Nya.

©Ningsi_afj

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun