Mohon tunggu...
Sulastri
Sulastri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

I'm a student focusing on financial analysis. Outside of finance, I enjoy reading novels about Indonesian history. I'm also really into logical and cognitive thinking, especially when it comes to deep analysis.

Selanjutnya

Tutup

Financial

High Risk No Return: Investasi Reksadana Saham, Berharap Untung Malah Buntung

20 Oktober 2024   09:11 Diperbarui: 20 Oktober 2024   18:29 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Reksadana telah menjadi salah satu instrumen investasi yang populer di kalangan masyarakat. Dalam proses pengelolaannya, manajer investasi membantu dalam mengumpulkan dan mengelola dana investor. Bagi mereka yang memiliki keterbatasan dana dan waktu, reksadana menjadi solusi yang tepat karena menggabungkan dana dari berbagai investor untuk diinvestasikan bersama. Ada beberapa jenis reksadana yang dapat dipilih, seperti reksadana pasar uang, reksadana pendapatan tetap, reksadana saham, dan reksadana campuran. Namun, artikel ini akan lebih menyoroti risiko dan return yang terkait dengan investasi dalam reksadana saham. 

Secara konsep, berinvestasi di reksadana saham sama halnya ketika berinvestasi saham pada umumnya. Namun, ketika berinvestasi di reksadana saham, manajer investasi akan mengalokasikan dana yang dinvestasikan oleh investor ke dalam saham minimal 80%. Meski terdengar menjanjikan, sering dijumpai kalimat "high risk, no return" yang dituliskan oleh pelaku investasi reksadana saham di sosial media yang menunjukkan risiko yang lebih besar daripada keuntungan yang akan didapatkan. Return  dan risiko tentunya sudah tidak asing di telinga investor. Return merujuk pada hasil atau keuntungan yang akan didapatkan sedangkan risiko mengacu pada potensi kerugian yang akan diterima oleh si investor. Jika diibaratkan melalui analogi, seseorang yang membeli 1 kg buah dengan harga yang lebih murah dari biasanya akan mendapatkan keuntungan harga yang lebih terjangkau dengan berat yang sama, tetapi riskonya bisa saja buah tersebut busuk atau sudah tidak segar. Sama halnya dengan itu, reksadana saham juga memberikan return berupa deviden yang nantinya masih harus dibagi-bagi lagi dengan investor lain dan komisi bagi manajer investasi.

Reksadana saham memiliki ketidaktransparan dalam pengelolaannya. Pasalnya, investor hanya akan mengetahui 10 portofolio investasi terbesar dari sebuah produk reksadana saham, seperti yang telah diatur dalam Peraturan Otortitas Jasa Keuangan No. 17/POJK.04/2022 Tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi. Hal ini menyebabkan investor tidak dapat mengetahui uang yang ia investasikan itu dialokasikan terhadap saham apa saja. Selain itu, pencairan dalam reksadana saham memerlukan waktu yang lebih lama daripada instrumen reksadana yang lain, yaitu dalam kurun waktu 3 - 4 hari. Pada proses pencairan ini, risiko likuiditas bisa saja muncul jika para investor melakukan penarikan dana dalam jumlah yang besar dan secara bersamaan. Manajer investasi akan menghadapi situasi kesulitan dalam melakukan pembayaran ke investor. Biasanya, jika berada pada situasi ini, manajer investasi akan menjual sahamnya. Namun, tentunya proses penjualan saham memerlukan waktu yang cukup lama sehingga akan terjadi antrean pembayaran ke investor. Proses pencairan yang awalnya hanya memerlukan waktu 3 - 4 hari bisa saja menjadi berminggu- minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Perbedaan yang paling mencolok antara saham dan reksadana saham terletak pada harga pembelian saham. Ketika berinvestasi di saham secara mandiri, investor bisa membeli saham pada harga yang diincar atau harga saham yang real time. Namun, konsep yang terjadi di reksadana saham itu berbeda. Penentuan harga saham akan tergantung dari jam penutupan pasar oleh manajer investasi. Misalnya,  jika harga saham A untuk waktu sekaranag adalah Rp6.000/lembar saham, calon investor mungkin berharap mendapatkan harga tersebut. Namun, jika Ia lebih memilih menginvestasikan uangnya ke dalam reksadana saham maka konsekuensi atau risiko yang akan dia terima bisa saja ia mendapatkan harga yang lebih tinggi karena penentuan harga sahamnya akan tergantung dari jam penutupan pasar oleh si manajer investasi.

Tidak hanya itu, keuntungan yang akan diperoleh investor atas pembelian reksadana saham juga masih harus dipotong oleh biaya administrasi dan bagi hasil dengan manajer investasi. Keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan risiko yang tinggi membuat reksadana saham menjadi tidak menarik. Dengan segala ketidakpastian dan ketidaktransparan pada reksadana saham, bagi investor yang memiliki waktu lebih luang dan dana yang cukup sebaiknya melakukan investasi pada saham secara mandiri karena akan lebih mencerminkan kondisi pasar yang sebenarnya. Namun, bagi investor yang memiliki keterbatasan waktu dan uang serta masih tergolong dalam investor pemula sebaiknya memilih instrumen reksadana lain atau pilihan intsrumen investasi yang lain. Meskipun dapat menjadi alternatif bagi beberapa investor, penting untuk mempertimbangkan pilihan investasi yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing investor. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun