Mohon tunggu...
Sukron Abdilah
Sukron Abdilah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, yang lupa bahwa sebetulnya ia harus menuliskan realita dan gagasan. Akhirnya akun kompasiana ingat lagi sandinya. hehehe

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar Pada Induk Ayam (untuk Pemimpin Negeri)

6 September 2010   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:24 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu terik matahari menyengat kulitku yang tak seputih dan sehalus Luna Maya. Jalanan yang agak becek membuat saya agak menyingsingkan celana jeans belel ke betis, yang semirip betis Diego Armando Maradona. Kekar, berotot, dan padat berisi laiknya olahragawan. Di depan saya terlihat Mang Adang sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Saya pun terus berjalan melewati pekarangan rumah Mang Adang yang dikerubuti sekelompok Ayam itu. Tak jauh dari kerumunan mereka, sekitar setengah meter, berkumpul induk ayam sedang mengasuh putera-puterinya yang dia cintai dan sayangi.

"Assalamu'alaikum, nuju maraban hayam yeuh?" Itu saya yang bertanya basa-basi kepada Mang Adang. Dalam bahasa Indonesia, kalimat itu bernada: "Selamat siang sedang memberi makan ayam nih?". Sebetulnya pertanyaan itu tidak usah dilontarkan. Tetapi, karena saya asli orang Sunda, di daerah kami sudah menjadi kebiasaan untuk banyak berbasa-basi.

Mang Adang menjawab: "enya, kasep. Wangsul timana atuh meni angkaribung kitu?" Dalam bahasa Indonesia kalimat tadi bisa diartikan begini: "Iya nih, ganteng. Habis pulang dari mana kamu ini, bebawaanmu banyak sekali."

"Hehehe. Mulih ti dayeuh mang"! Saya menjawab, "Hehehe. Pulang dari kota nih."

Kemudian tanpa melihat kiri-kanan, saya pun berjalan melewati kelompok induk ayam yang sedang menjaga anak-anaknya. Tanpa disangka, induk ayam itu mengejar saya. Tanpa piker panjang, saya pun lari terbirit-birit. Bukan takut, karena menghargai Mang Adang sebagai si empunya. Di perjalanan saya berpikir dan merenung sejenak. Induk ayam itu memiliki "sense of responsibility" yang kuat dan kokoh.

Siapa pun orangnya - mau presiden, menteri, anggota DPR, bahkan tukang kuli seperti saya sekalipun - ketika mencoba mendekati wilayahnya akan segera dikejar. Kalau terkejar, insyaallah, orang tersebut dalam bahasa Sunda akan "dibintih". Kawan sepermainan ketika kecil, si Ende, di kampung saya pernah mengalaminya. Ia berkelahi dengan sekelompok ayam. Ia dikeroyok ayam Jantan dan induk ayam karena mencoba mencuri anak ayam yang sedang diasuh induknya. Wajahnya babak belur. Dari pelipis kirinya bercucuran darah karena "dibintih" oleh sekawanan ayam.

Kondisi wilayah Negara ayam berbalik 180 derajat dengan kondisi negeri ini. Para pemimpin tak lagi mengayomi seluruh rakyat. Kalau menurut aktivis jejaring sosial di facebook dan twitter, yang bias dilakukannya adalah curhat, curhat, dan cuuuurhat lagi. Ketika ada wacana ganyang Malaysia, mereka curhat. Ketika terjadi kemacetan di ibu kota Jakarta, mereka masih juga curhat. Bahkan, akhir-akhir ini survey kepercayaan publik kepada mereka menurun pun, mereka hanya bisa curhat.

Saya mempertanyakan tanggung jawab para pemimpin negeri ini. Kedaulatan RI harganya tidaklah mahal. Mayoritas warganya dibikin hidup dalam garis kemiskinan. Potensi alam di negeri ini dieksploitasi untuk menimbuni perut dengan makanan-makanan enak. Upah buruh pabrik pun dibikin murah untuk mendatangkan investor asing. Saya jadi berpikir, apakah mereka harus mulai menjadi siswa-siswi dari induk ayam itu, ya. Hehehe

Sebab, induk ayam itu masih bisa mengemban amanah yang diberikan Tuhan kepadanya dengan memberikan rasa aman kepada putera-puterinya. Andai ada universitas kepemimpinan ala ayam. Saya akan menyekolahkan diri ini di universitas tersebut. Karena ayam masih menyimpang idealism-nya sebagai induk ayam yang harus mengayomi, menjaga, dan memberi anak-anaknya makan. Lha negeri ini, kondisi tersebut sangat tidak terasa sekali oleh saya. Buktinya saya masih harus mencari sendiri dengan susah payah pekerjaan untuk menghidupi saya sendiri. Buktinya lagi, Jakarta akan macet kalau mereka lewat. Buktinya lagi, kekayaan sumber daya alam, mereka kasihkan kepada investor-investor asing dengan akad perjanjian yang merugikan rakyat seratus tahun ke depan. Buktinya lagi, saya dengar kalau pemimpin negeri ini curhat lagi.

Ah, pusing saya memikirkan negeri ini. Nggak bisa ngritik, nggak bisa "ngebintih" orang-orang yang mencoba mengancam keamanan negeri ini. Satu lagi, buktinya tabung gas banyak yang meledak. Harga mahal. Kualitas guru meskipun gajinya udah gede, masih tak sesuai dengan harapan. Di kampung saya, siswa kelas enam SD masih ada yang belum bisa membaca dan berhitung. Kasihan negeri ini. Ayam juga bertanggung jawab. Kenapa kita semua tidak bisa bertanggung jawab barang sedikit saja. Terima kasih hahahaha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun