Survei tiga tahunan oleh PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan terhadap pelajar sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas menempatkan Indonesia pada posisi tujuh dari bawah. Lebih baik dari Spanyol, Filipina, Republik Dominika, Kosovo, Lebanon, dan Moroko.Â
Tes PISA menempatkan Indonesia jauh dibawah dari negara tetangga seperti Cina, Korea, Jepang, bahkan Singapura. PISA sendiri bertugas melakukan survei evaluasi sistem pendidikan di dunia dengan mengukur kinerja pendidikan siswa.
Jika dibanding dengan Singapura, capaian angka membaca pelajar Indonesia hanya 370 jauh di bawah Singapura yang mencapai angka 549. Capaian angka matematika tak lebih dari angka 379 selisih 190 poin dengan Singapura. Sedangkan dalam kemampuan literasi saintifik Indonesia harus puas diangka 396 atau minus 155 dari negara tetangga.
 Tidak apple to apple jika membandingkan Indonesia dengan Singapura yang merupakan negara maju dengan jumlah penduduk 5,5 juta. Secara geografi dan ekonomi kedua negara jauh berbeda walau lokasi sepenggalah.
Survei PISA yang sudah berjalan sejak tahun 2000 tidak hanya menguji siswa pada materi hafalan tapi lebih kepada pemahaman, pengaplikasian dan bagaimana memproses hal-hal baru.Â
Kemampuan membaca dan berpikir kritis inilah yang masih minus dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang kontemporer dan komprehensif belum merata, soal-soal evaluasi berbasis sains nalaria realistik dan high order thinking skill (kemampuan berpikir tinggi) masih menjadi barang langka sebagai instrumen evaluasi peserta didik.Â
Kemampuan identifikasi, analisis dan sintesis siswa menghadapi soal-soal matematika hots masih kurang. Kemampuan memahami teks wacana (literasi) dan survei karakter dalam memahami diri sendiri dan lingkungan belajar sekitar sekolah belum bisa dikatakan baik pada asesmen nasional berbasis komputer (ANBK) September lepas.
ANBK merupakan instrumen baru pengganti ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang bertujuan menilai ulang akreditasi lembaga sekolah, pendidik dan peserta didik.Â
Kesiapan sekolah secara infrastruktur (komputer, jaringan internet dan server) dan unsur-unsur pendukung kognitif di tingkat pendidikan dasar masih belum siap, karena materi keahlian teknologi informasi dan komunikasi pada tingkat pendidikan dasar tidak ada. Sehingga pada saat pelaksanaan ANBK di tahun 2020 dan 2021 kemarin masih mengalami kendala teknis di lapangan.
Ada tiga aspek yang diukur dalam survei PISA, yaitu: abilitas literasi siswa untuk belajar, abilitas numerik matematika dan logika untuk berpikir, serta literasi saintifik peserta didik untuk memproses hal-hal baru. Rendahnya skor Indonesia dalam survei PISA dari ketiga aspek tersebut bukan berarti bangsa ini terperangkap di jurang disabilitas kognitif.Â
Tapi menandakan bahwa pelajar lulusan pendidikan Indonesia belum siap menghadapi kehidupan nyata di dunia industri kerja nantinya.
Laporan hasil survei PISA 2018 memang menjadi tamparan keras bagi para pemangku kepentingan. Membuat berpikir, apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia? Adakah cacat dalam kurikulum berjalan? Ataukah tenaga pendidik yang tidak kompeten dalam mengajar peserta didik? Barangkali bisa saja gerangan terjadi. Tapi hal itu tidak sepenuhnya tepat dikatakan.
Apakah perlu mengevaluasi pendidikan guru dan kurikulum? Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan pendidik dan perangkat kurikulum yang berlaku karena multifaktor yang mempengaruhi kondisi pendidikan saat ini. Penting melakukan evaluasi pendidikan terhadap semua unsur baik pemerintah, lembaga pendidikan, pendidik dan peserta didik.Â
Evaluasi pada siswa sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Perlu adanya tindakan partisipatif semua pemangku kepentingan seperti lembaga pemerintah terkait, masyarakat, guru, peserta didik, dan pihak swasta dalam upaya memajukan pendidikan tanah air. Karena tanggung jawab pendidikan tidak hanya dipegang oleh pemerintah dan sekolah tapi juga keluarga, masyarakat dan pihak swasta.
Terkait pihak swasta sebagai pengguna. Banyak perusahaan partikelir yang membuat perubahan-perubahan dalam dunia industri. Â Sebut saja market-place atau e-commerce, taxi-online, kemajuan teknologi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligent) dan sebagainya.Â
Hal ini yang menjadi tantangan revolusi industri 4.0 bagi generasi post-milenial. Di mana dunia kerja akan mengalami revolusi, kebutuhan pasar industri terhadap tenaga sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus berkaitan dengan ilmu pengetahuan terapan semakin tinggi peminat.
Keahlian bahasa pemrograman komputer menjadi kebutuhan utama di era ini, pekerjaan dapat dilakukan di mana saja secara jarak jauh (remote). Seorang tenaga TI mampu mengendalikan sebuah pertemuan bisnis secara online dari lokasi dibelahan dunia manapun.Â
Seorang yang memiliki kemampuan operasional perangkat keras dan lunak pun dibutuhkan dalam industri 4.0 sekarang. Tak hanya itu, bahkan youtuber maupun influencer di sosial media juga membutuhkan keahlian dibidangnya.Â
Apakah materi-materi keahlian itu diajarkan dalam pendidikan dasar dan menegah masa sekarang? Tentu saja tidak. Padahal, pasar industri memerlukan tenaga-tenaga muda kreatif berkompeten dalam bidang-bidang tersebut.
Jadi, ada tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam sistem pendidikan nasional kita, yaitu: pertama menyiapkan peserta didik yang mampu menghadapi kemajuan zaman.Â
Saat ini industri terus mengalami perubahan, banyak keahlian-keahlian baru yang dibutuhkan pasar seperti kemampuan dalam mengelola akun media sosial, operasional search engine optimization (SEO), editing video (youtuber dan influencer), web developer, code-programmer, dan sebagainya.Â
Sayangnya, pendidikan kita tidak menyiapkan tenaga-tenaga andal yang siap bersaing dalam industri. Sehingga tidak sedikit lulusan sarjana yang sulit mencari kerja. Kedua, melahirkan peserta didik yang mampu menganalisis dan menalar secara logika. Ketiga, menyiapkan siswa yang memiliki kapasitas belajar secara terus menerus life-long education.
Sebagai penutup, seorang sastrawan Taufik Ismail sekira tahun 1996 dalam buku antologi puisinya Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) mengatakan generasi muda Indonesia saat itu sebagai generasi NOL buku, yang artinya minat membaca orang Indonesia sangat rendah dibandingkan negara lain di dunia.Â
Di era digital, kemutakhiran teknologi dan akses internet yang terbuka luas membuat perpustakaan bukan lagi sebagai khazanah sumber pengetahuan satu-satunya yang harus disambangi.Â
Tapi tenaga pendidik seperti guru perlu mendorong, mengarahkan dan membimbing siswa untuk lebih bijak memakai gawai sebagai sumber informasi.Â
Guru perlu menjadi motor penggerak peserta didik untuk giat membaca buku digital (e-book) yang mudah diakses sehingga melahirkan generasi literasi informasi. Pendidik juga harus mampu memberikan pemahaman tentang perangkat lunak atau aplikasi berbasis android sesuai dengan pemanfaatannya.Â
Guru tidak lagi berperan sebagai kurir pembawa sumber ilmu pengetahuan, tapi menjembatani antara peserta didik dan sumber pengetahuan berbasis jaring digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H