Mohon tunggu...
Sukrisno Santoso
Sukrisno Santoso Mohon Tunggu... wiraswasta -

Guru Bahasa Indonesia di SMPIT Mutiara Insan Sukoharjo. Menyukai buku, kopi, dan puisi. Menulis "Catatan Kecil" di www.sukrisnosantoso.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilarang Membaca Novel Saat Belajar

16 Agustus 2016   21:49 Diperbarui: 16 Agustus 2016   21:52 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: www.desainrumahnya.com

Saya bukan orang yang benci dengan pelajaran eksakta semacam Matematika dan Fisika. Nilai pelajaran Matematika saya rata-rata bagus sejak SD, baik nilai ulangan harian maupun nilai ujian akhir. Nilai Ujian Nasional saya pun patut dibanggakan. Nilai sembilan pada UN SMP dan nilai sempurna pada UN SMA. Kalau Fisika, kadang bagus, kadang lumayan bagus. Saya akui, dengan pelajaran Fisika saya memang tidak terlalu akrab. Bahkan, saat SMP dan SMA saya kadang tidak mengikuti pelajaran Fisika tanpa izin.

Jika takdir mengantarkan saya menjadi guru Bahasa Indonesia –dan bukan guru Matematika—itu tidak terlalu saya risaukan. Saya berusaha menikmati apa peran saya.

Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah terkadang terasa “dipinggirkan”. Materinya dianggap mudah hingga tak ada orang tua yang memasukkan pelajaran Bahasa Indonesia dalam daftar bimbingan belajarnya. Matematika, Fisika, atau Bahasa Inggris lebih penting untuk diperhatikan.

Ada satu pengalaman yang menurut saya termasuk hal yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Salah satu materi Bahasa Indonesia di kelas delapan yaitu membuat sinopsis novel remaja. Tentu saja, materi tersebut saya ajarkan di kelas.

Setelah menjelaskan seluk beluk sinopsis novel remaja, saya memberikan tugas kepada siswa pada akhir pembelajaran. Tugas itu ialah membuat sinopsis novel remaja yang pernah dibaca. Untuk membuat sinopsis novel, tentu saja mereka –para siswa—harus membaca novelnya sampai selesai. Saya memberi waktu kepada mereka selama dua minggu untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Waktu selama dua minggu itu relatif --lama ataukah singkat—tergantung mereka memandangnya. Bagi siswa yang sudah terbiasa membaca novel, waktu dua minggu tersebut termasuk longgar untuk membuat sinopsis. Tapi, bagi yang belum terbiasa –atau yang belum pernah membaca satu novel pun—waktu dua minggu terasa sangat singkat.

Saya mengetahui secara umum bahwa setidaknya sepertiga siswa di kelas sudah terbiasa membaca novel. Sepertiganya sudah pernah membaca novel, tapi hanya terbilang satu sampai tiga judul. Terhadap mereka, saya yakin tugas ini tidak terlalu sulit dikerjakan.

Sepertiga sisanya belum pernah membaca novel, paling banter membaca cerpen, komik, dongeng, atau cerita anak. Kelompok terakhir inilah yang kiranya perlu saya perhatikan secara khusus.

Saya menyarankan bagi yang belum terbisa membaca agar membaca novel yang tidak terbal. Saya meminta mereka mencari novel di perpustakaan dan pinjam kepada teman, selain tentu saja saya membawakan beberapa novel tipis untuk mereka pinjam.

Setelah satu minggu berjalan sejak tugas membuat sinopsis itu saya berikan, saya mengecek hasil aktivitas membaca para siswa. Lebih dari setengah dari jumlah siswa di kelas sudah membaca satu judul novel. Sebagian malah sudah mulai membuat sinopsis. Setengah sisanya belum menyelesaikan. Ada yang baru sampai bab-bab awal, ada yang sudah hampir di bab-bab akhir.

Saya menanyakan kepada para siswa: bagaimana tanggapan orang tua saat kalian membaca novel?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun